11 March 2013

Gundah Sang Nenek Pemintal Benang

Satu tangannya memegang gulungan kapas dan bergerak seirama dengan putaran roda pada alat pintal benang. Sorot matanya bergerak dari kumparan benang di ujung alat pintal ke ujung kapas yang ada di tangan kirinya. Tangan kanannya memutar roda alat pintal dengan gerakan lambat, dengan irama tetap.  Raganya yang renta dan bongkok tak menghalanginya untuk duduk berjam-jam mengubah kapas menjadi gulungan benang. Itulah sosok nenek Panggao, 83 tahun, satu-satunya pemintal benang yang masih tersisa di tanah Toraja. Melihat nenek Panggao memintal benang mengingatkanku pada sosok Mahatma Gandhi, yang sama renta dan bongkoknya dengan sang nenek. Aku pernah melihat foto Gandhi saat  memintal benang dengan alat pintal sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu, persis seperti alat pintal yang dimiliki nenek Panggao.


nenek Panggao, 83 tahun, Memintal benang

Memintal benang tak ubahnya seperti menari. Tangan, mata, dan rasa, mesti bergerak seirama dengan putaran roda alat pintal agar serat kapas dapat terpintal tanpa terputus. Berjam-jam aku memperhatikan nenek Panggao memintal kapas menjadi benang. Sepertinya tidak sulit. Pertama, kapas yang dipegang dengan tangan kiri ditarik sedikit ujungnya dan dikaitkan pada tuas bambu yang ada diujung kiri alat pintal. Roda diputar perlahan searah jarum jam dengan tangan kanan. Serat kapas akan tertarik dan tergulung pada tuas bambu yang terus berputar seturut perputaran roda.
Tangan kiri bergerak ke kiri mengikuti tarikan benang. (Lihat gambar 1). Kedua, ketika serat benang yang tergulung pada tuas sudah cukup panjang, tangan kiri berhenti bergerak dan menahan benang yang ada di ujung kapas. Sementara tangan kanan tetap memutar roda dengan kecepatan tetap. Putaran ini akan memadatkan benang yang sudah tergulung pada kumparan bambu. (Lihat gambar 2). Ketiga, tangan kiri mengendorkan tarikan benang dan tangan kanan memutar roda dengan arah putar berlawanan dengan arah jarum jam. Putaran ini akan memindahkan dan menata benang yang sudah terpintal ke sebelah kanan tuas. (Lihat gambar 3)

Melihat keasyikan nenek Panggao memintal benang, menggerakkan aku untuk mencobanya. Aku mengikuti arahan nenek. Berulangkali aku mencoba, serat kapas selalu saja putus. Tak mudah menyatukan irama tangan kiri yang memegang kapas, fokus pandangan mata, rasa hati, dan gerakan tangan kanan yang memutar roda. Tanpa kesaturan irama, serat kapas akan selalu putus. Akibatnya, hasil pintalan benang tidak semulus kalau serat kapas terpintal tanpa putus. Aku menyerah setelah berulangkali mencoba dan serat kapas selalu putus, lagi dan lagi. Pada nenek Panggao aku mengatakan, memintal benang ternyata tidak semudah yang kupikirkan. Nenek Panggao meyakinkanku bahwa memintal benang tidaklah sulit. Hanya butuh kesabaran. Masalahnya, menurutnya, orang-orang jaman sekarang tak punya kesabaran. Itulah mengapa tradisi memintal benang begitu cepat ditinggalkan. Benar apa yang dikatakan nenek, aku tak punya cukup kesabaran.

Aku menjumpai nenek Panggao di kios tenunnya, yang ada di kawasan wisata budaya  di kampung To’barana, kecamatan Sa’dan, kabupaten Toraja Utara. Sangat mudah menemukannya karena wajahnya banyak menghiasi brosur-brosur wisata di tanah Toraja. Dialah satu-satunya pemintal benang yang masih tersisa. Nenek Panggao yang punya nama kecil Ritpang, lahir dan besar di Sa’dan. Sa’dan dikenal sebagai daerah sentra kerajinan tenun di kabupaten Toraja Utara. Nenek Panggao yang lulusan sekolah rakyat (SR) dan pensiunan PNS itu tidak hanya mahir dalam memintal benang, tetapi juga menenun. Ia bisa menenun kain motif pa’miring dan pa’rambak, motif yang banyak dikerjakan para penenun di Sa’dan. Tapi itu dulu, ketika kakinya masih kuat. Sudah puluhan tahun nenek meninggalkan kerja menenun karena kakinya sudah tak kuat lagi menghentak alat tenun. Untuk menenun dibutuhkan kaki yang kuat agar hasil tenun berkualitas bagus, padat dan rapi. Meski tak kuat lagi menenun, nenek masih produktif dalam memintal benang. Dalam satu hari ia bisa menghasilkan empat gulung benang.

Setiap hari aku melihat nenek membuka bunga kapas, mengeluarkan isinya, menatanya menjadi tumpukan serat dan kemudian memintalnya. Hasil pintalan itu ia kumpulkan dalam kardus. Kalau kardus itu sudah penuh, berarti ada seratusan lebih gulungan benang yang sudah nenek hasilkan. Benang ini biasanya ia tukarkan dengan kain tenun motif kalumpang yang dibuat secara tradisional oleh masyarakat Toraja Barat. Ada pedagang dari Toraja Barat yang rutin datang ke kiosnya membawa tenun ikat motif kalumpang.  Biasanya satu lembar kain tenun ikat motif kalumpang ia tukar dengan satu kardus benang yang berisi lebih dari seratus gulung benang pintal. Barter seratusan lebih gulungan benang pintal dengan satu lembar kain tenun kalumpang ini bagi nenek sangatlah menguntungkan. Sebab kain tenun motif kalumpang bisa ia jual dengan harga Rp 2 juta. Pertukaran yang menurutnya adil karena proses memproduksi tenun ikat juga tidak mudah, butuh waktu lama.


Pilihan nenek Panggao untuk terus memintal benang bukan semata-mata dilatari motif ekonomi. Dengan memintal benang, nenek Panggao serasa menghidupkan kembali kenangan akan masa kecilnya bersama sang bunda tercinta. Alat pintal benang itu ia warisi dari ibundanya. Ia mengaku, alat pintal itu umurnya sudah ratusan tahun, diwariskan secara turun temurun. Dengan alat pintal itulah ibundanya memintal benang. Dengan alat itu pula sang bunda mengajarkannya menyulap serat kapas menjadi benang. Setiap kali nenek  menggunakan alat pintal itu, sosok ibundanya serasa hidup kembali dan ia dapat merasakan kasih sang bunda yang tak pernah lekang dari ingatannya. Itulah mengapa nenek tak pernah mau melepaskan alat pintal satu-satunya itu kepada orang lain meskipun ditukar dengan uang berjuta-juta rupiah. Padahal banyak wisawatan yang berminat untuk membeli alat pintalnya. Tidak ada toko yang menjual alat pintal benang. Semuanya harus dipesan dan dibuat oleh tukang kayu. Demikian juga alat pintal milik nenek, dibuat oleh tukang kayu. Sudah berulangkali alat itu rusak dan nenek tinggal memanggil tukang untuk memperbaikinya. Paling-paling yang diganti hanya bagian alat pintal yang terbuat dari bambu. 

Sambil tangannya terus bergerak, nenek berkisah tentang bagaimana masyarakat di kampungnya dulu semuanya memintal benang, menenunnya menjadi kain dan membuat sendiri pakaian mereka. Hasil tenunan masyarakat di kampungnya dulu tidak dijual. Mereka menenun untuk dipakai sendiri. Semua pakaian yang dipakai nenek dan keluarganya dulu hasil kerja tangan sendiri, termasuk selimut. Nenek membuat selimut dari benang hasil pintalannya sendiri. Sekarang pertenunan di kampungnya semakin maju. Banyak orang menenun untuk dijual karena permintaan terhadap kain tenun meningkat. Sekarang ini seragam pegawai juga menggunakan kain tenun. Hanya saja di tengah kemajuan itu nenek Panggao yang memiliki dua orang anak, 10 orang cucu dan empat cicit ini tetap saja merasa gundah. Pasalnya, anak-anak muda di kampungnya tidak lagi mau menenun. Banyak wisatawan yang datang ke kampungnya kecewa karena tidak ada lagi yang menenun. Padahal di kampung lain masih banyak yang menenun. Mereka menenun di bawah kolong rumah, di kios-kios, dan di tempat lain. Selain itu, nenek juga gundah dengan tidak adanya perempuan yang mau belajar memintal benang. Ada banyak perempuan di kampungnya yang mahir menenun. Namun tidak satupun yang mau belajar memintal benang sendiri. Mereka lebih suka menggunakan benang buatan pabrik, yang memang lebih halus dari benang hasil pintalan sendiri. Anak perempuan nenek Panggao sebenarnya bisa memintal benang dan dialah satu-satunya yang masih mau belajar memintal. Sayangnya, anak perempuannya tidak mau melakukan kerja memintal benang.  

Kecintaan nenek pada kerja memintal benang bukan hanya ia buktikan dengan kesetiaannya untuk terus melakukan kerja memintal, tetapi juga menanam sendiri tanaman kapasnya. Sebab tanaman kapas di kampungnya sudah nyaris punah. Padahal dulu, menurutnya, banyak tumbuh kapas di sekitar kiosnya. Tapi semua sudah ditebang karena orang banyak bikin pesta. Itulah mengapa nenek menanam sendiri kapas-kapas itu di halaman rumahnya. Biji-biji kapas itu ia tanam dan tiga bulan kemudian sudah berbunga. Kapas mudah tumbuh dan cepat berbunga. Di rumahnya hanya ada empat pohon kapas yang tak pernah berhenti berbunga.  Mendengarkan kisah nenek Panggao ini aku jadi malu sendiri. Betapa tidak. Dengan tubuhnya yang sudah renta dan bongkok, ia tahu menghargai dan menjaga kekayaan dan warisan leluhur. (sri palupi) ***

No comments:

Post a Comment