21 May 2013

Meninggalkan Rakyat



Oleh Sri Palupi
Enggak level” adalah jawaban seorang direktur PT Kereta Api Indonesia yang saya terima melalui pesan singkat. Kala itu, saya bertanya mengapa direktur PT KAI tidak mau berdialog dengan para pedagang kecil yang diusir dari seluruh lahan stasiun. Mereka pun merasa diperlakukan tidak adil.
Sebagai pedagang kecil, mereka disingkirkan dari seluruh lahan stasiun. Namun, pemodal besar yang berdagang di area yang sama tak digusur, bahkan mendapat tempat istimewa. Padahal, para pedagang kecil membayar sewa kepada pihak stasiun hingga puluhan juta rupiah setahun.
Di mata PT KAI, besarnya sewa yang dibayar pedagang kecil enggak level jika dibandingkan dengan pedagang pemodal besar lain. Direktur PT KAI menyatakan, para pedagang menempati lahan stasiun dengan bayar sewa murah dan PT KAI tidak punya urusan dengan pedagang.
Sikap merasa rugi memberikan ruang hidup bagi rakyat, bukan monopoli PT KAI, tetapi merupakan konsekuensi dari arah kebijakan pemerintahan SBY yang cenderung meninggalkan rakyat.

Memeras rakyat
Penggusuran pedagang kecil dan pemberian tempat istimewa bagi pemodal besar dilakukan PT KAI dalam rangka melaksanakan perintah presiden. Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2011 tentang Penugasan kepada PT KAI untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pasal 4 menegaskan, pendanaan penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian tak bersumber dari APBN dan APBD, tetapi dari dan diusahakan PT KAI. Konsekuensinya, PT KAI membebankan pembiayaan pembangunan infrastruktur dan operasional perkeretaapian kepada rakyat.
Rakyat dipaksa membayar tiket yang naik berlipat-lipat. Pedagang kecil diusir dari lahan stasiun. Perannya digantikan oleh pemodal besar. Kereta ekonomi yang tak memberikan keuntungan besar perlahan dihapus. Rakyat miskin dipaksa menggunakan kereta AC yang harga tiketnya empat kali lebih tinggi.
Bahkan, tukang ojek yang melayani penumpang di Stasiun Bojonggede dipaksa membayar retribusi Rp 100.000 per bulan. Retribusi akan dinaikkan menjadi Rp 250.000. Sungguh memalukan, negara yang ekonominya dipuji-puji asing ternyata membiayai pembangunan infrastrukturnya dengan memeras rakyat miskin.
Hampir di semua sektor kebijakan publik, kepentingan rakyat ditinggalkan. Mayoritas penduduk miskin berada di pedesaan yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Namun, sektor pertanian justru ditinggalkan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014), ketahanan pangan bukan lagi prioritas pembangunan. Karena itu, keran impor dibuka luas, subsidi bagi petani dihapus, anggaran untuk sektor pertanian berada pada urutan terbawah. Pada 2012, anggaran sektor pertanian jauh lebih kecil daripada sektor agama. Aliansi untuk Desa Sejahtera mencatat, anggaran untuk sektor pertanian Rp 18 triliun, sektor kelautan Rp 5 triliun, dan agama Rp 37 triliun.
Konversi lahan pertanian dibiarkan tanpa kendali. Laju konversi meningkat cepat, dari 110.000 hektar per tahun dalam rentang 1992-2002 menjadi 145.000 hektar per tahun dalam kurun 2002-2006, dan meningkat lagi menjadi 200.000 hektar per tahun dalam rentang 2007-2010. Lahan pertanian menyempit, sedang jumlah petani gurem dan buruh tani meningkat. Data BPS tahun 2009 menunjukkan, lahan sawah di Indonesia tinggal 8,06 juta hektar dan tegalan 12,28 juta hektar. Insentif bagi petani dalam bentuk bibit unggul, harga jual, pasar, penyuluhan, dan lainnya sulit didapatkan. Profesi sebagai petani kian ditinggalkan.
Nasib petani dan sektor pertanian di era Orde Baru tal ada bedanya dengan era Susilo Bambang Yudhoyono, sama-sama memperlakukan pertanian bukan sebagai perkara budaya yang sarat kearifan lokal, solidaritas, dan kerja sama, melainkan perkara bisnis yang individualis. Posisi petani tak lebih sebagai kuli di tanahnya sendiri. Bedanya, di zaman Orde Baru petani dipaksa tunduk kepada penguasa, di era SBY petani dipaksa tunduk kepada kuasa korporasi.
Benar pemerintahan SBY mencanangkan program revitalisasi pertanian. Namun, SBY memaknai revitalisasi sebagai gerakan meninggalkan komunitas petani dan memercayakan pengelolaan pertanian kepada korporasi. Itu tampak dari program food estate dan peningkatan produksi pangan berbasis korporasi (BUMN) yang dikembangkan pemerintahan SBY.
Meski petani terus dipaksa jadi kuli di lahan sendiri, anak-cucu mereka didorong jadi kuli di luar negeri. Namun, masih banyak petani yang punya harga diri. Di sejumlah daerah tumbuh gerakan petani untuk mengembalikan pertanian sebagai pilar budaya bangsa sekaligus melawan mentalitas kuli yang mewabah di negeri ini. Di Yogyakarta, misalnya, ada gerakan Joglo Tani yang memperjuangkan kebebasan petani untuk mengelola ekonomi dan berinteraksi dengan alam. Mereka menyediakan ruang dan lahan yang menjadi laboratorium alam tempat para siswa dari TK hingga mahasiswa, dan kelompok lainnya, belajar pertanian. Anak-anak dilatih bekerja, produktif, dan mandiri. Ini mengoreksi sistem pendidikan nasional yang mendidik anak bermental kuli.
Di Kabupaten Manggarai, NTT, gerakan ekopastoral untuk pertanian organik berhasil mengembalikan tradisi dodo (gotong royong), merehabilitasi lahan kritis, menyelamatkan mata air, melestarikan kayu lokal, dan menjadikan pertanian sebagai muatan lokal di sekolah SD sampai SMA.
Di Lampung, Serikat Tani Indonesia berhasil menemukan benih unggul ”Sertani”. Meski tak dilirik pemerintah, benih Sertani sudah ditanam petani di sejumlah daerah. Produktivitasnya terbukti jauh melebihi benih impor andalan pemerintah. Benih unggul Sertani tahan banjir dan kekeringan sehingga cocok merespons perubahan iklim.
Akhir kata, kekuatan rakyat yang bermodal kecil bisa jadi memang tidak level dengan kekuatan korporasi. Namun, meninggalkan kekuatan rakyat dalam membangun bangsa ini sama artinya dengan memilih jalan bunuh diri.
Sri Palupi 
Peneliti Institute for Ecosoc Rights

Sumber : Opini Kompas cetak, 21 Mei 2013

No comments:

Post a Comment