Oleh Sri Palupi
Sebagai pedagang kecil, mereka
disingkirkan dari seluruh lahan stasiun. Namun, pemodal besar yang berdagang di
area yang sama tak digusur, bahkan mendapat tempat istimewa. Padahal, para
pedagang kecil membayar sewa kepada pihak stasiun hingga puluhan juta rupiah
setahun.
Di mata PT KAI, besarnya sewa
yang dibayar pedagang kecil enggak level jika dibandingkan dengan pedagang
pemodal besar lain. Direktur PT KAI menyatakan, para pedagang menempati lahan
stasiun dengan bayar sewa murah dan PT KAI tidak punya urusan dengan pedagang.
Sikap merasa rugi memberikan ruang
hidup bagi rakyat, bukan monopoli PT KAI, tetapi merupakan konsekuensi dari
arah kebijakan pemerintahan SBY yang cenderung meninggalkan rakyat.
Penggusuran pedagang kecil dan
pemberian tempat istimewa bagi pemodal besar dilakukan PT KAI dalam rangka
melaksanakan perintah presiden. Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 83 Tahun
2011 tentang Penugasan kepada PT KAI untuk Menyelenggarakan Prasarana dan
Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pasal 4 menegaskan, pendanaan penyelenggaraan
prasarana dan sarana perkeretaapian tak bersumber dari APBN dan APBD, tetapi
dari dan diusahakan PT KAI. Konsekuensinya, PT KAI membebankan pembiayaan
pembangunan infrastruktur dan operasional perkeretaapian kepada rakyat.
Rakyat dipaksa membayar tiket
yang naik berlipat-lipat. Pedagang kecil diusir dari lahan stasiun. Perannya
digantikan oleh pemodal besar. Kereta ekonomi yang tak memberikan keuntungan
besar perlahan dihapus. Rakyat miskin dipaksa menggunakan kereta AC yang harga
tiketnya empat kali lebih tinggi.
Bahkan, tukang ojek yang melayani penumpang di Stasiun
Bojonggede dipaksa membayar retribusi Rp 100.000 per bulan. Retribusi akan
dinaikkan menjadi Rp
250.000. Sungguh memalukan, negara
yang ekonominya dipuji-puji asing ternyata membiayai pembangunan
infrastrukturnya dengan memeras rakyat miskin.
Hampir di semua sektor kebijakan
publik, kepentingan rakyat ditinggalkan. Mayoritas penduduk miskin berada di
pedesaan yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Namun, sektor
pertanian justru ditinggalkan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (2010-2014), ketahanan pangan bukan lagi prioritas
pembangunan. Karena itu, keran impor dibuka luas, subsidi bagi petani dihapus,
anggaran untuk sektor pertanian berada pada urutan terbawah. Pada 2012,
anggaran sektor pertanian jauh lebih kecil daripada sektor agama. Aliansi untuk
Desa Sejahtera mencatat, anggaran untuk sektor pertanian Rp 18 triliun, sektor
kelautan Rp 5 triliun, dan agama Rp 37 triliun.
Konversi lahan pertanian
dibiarkan tanpa kendali. Laju konversi meningkat cepat, dari 110.000 hektar per
tahun dalam rentang 1992-2002 menjadi 145.000 hektar per tahun dalam kurun
2002-2006, dan meningkat lagi menjadi 200.000 hektar per tahun dalam rentang
2007-2010. Lahan pertanian menyempit, sedang jumlah petani gurem dan buruh tani
meningkat. Data BPS tahun 2009 menunjukkan, lahan sawah di Indonesia tinggal
8,06 juta hektar dan tegalan 12,28 juta hektar. Insentif bagi petani dalam
bentuk bibit unggul, harga jual, pasar, penyuluhan, dan lainnya sulit
didapatkan. Profesi sebagai petani kian ditinggalkan.
Nasib petani dan sektor pertanian
di era Orde Baru tal ada bedanya dengan era Susilo Bambang Yudhoyono, sama-sama
memperlakukan pertanian bukan sebagai perkara budaya yang sarat kearifan lokal,
solidaritas, dan kerja sama, melainkan perkara bisnis yang individualis. Posisi
petani tak lebih sebagai kuli di tanahnya sendiri. Bedanya, di zaman Orde Baru
petani dipaksa tunduk kepada penguasa, di era SBY petani dipaksa tunduk kepada
kuasa korporasi.
Benar pemerintahan SBY
mencanangkan program revitalisasi pertanian. Namun, SBY memaknai revitalisasi
sebagai gerakan meninggalkan komunitas petani dan memercayakan pengelolaan
pertanian kepada korporasi. Itu tampak dari program food estate dan peningkatan
produksi pangan berbasis korporasi (BUMN) yang dikembangkan pemerintahan SBY.
Meski petani terus dipaksa jadi
kuli di lahan sendiri, anak-cucu mereka didorong jadi kuli di luar negeri.
Namun, masih banyak petani yang punya harga diri. Di sejumlah daerah tumbuh
gerakan petani untuk mengembalikan pertanian sebagai pilar budaya bangsa
sekaligus melawan mentalitas kuli yang mewabah di negeri ini. Di Yogyakarta,
misalnya, ada gerakan Joglo Tani yang memperjuangkan kebebasan petani untuk
mengelola ekonomi dan berinteraksi dengan alam. Mereka menyediakan ruang dan
lahan yang menjadi laboratorium alam tempat para siswa dari TK hingga
mahasiswa, dan kelompok lainnya, belajar pertanian. Anak-anak dilatih bekerja,
produktif, dan mandiri. Ini mengoreksi sistem pendidikan nasional yang mendidik
anak bermental kuli.
Di Kabupaten Manggarai, NTT,
gerakan ekopastoral untuk pertanian organik berhasil mengembalikan tradisi dodo
(gotong royong), merehabilitasi lahan kritis, menyelamatkan mata air,
melestarikan kayu lokal, dan menjadikan pertanian sebagai muatan lokal di
sekolah SD sampai SMA.
Di Lampung, Serikat Tani
Indonesia berhasil menemukan benih unggul ”Sertani”. Meski tak dilirik
pemerintah, benih Sertani sudah ditanam petani di sejumlah daerah.
Produktivitasnya terbukti jauh melebihi benih impor andalan pemerintah. Benih
unggul Sertani tahan banjir dan kekeringan sehingga cocok merespons perubahan
iklim.
Akhir kata, kekuatan rakyat yang
bermodal kecil bisa jadi memang tidak level dengan kekuatan korporasi. Namun,
meninggalkan kekuatan rakyat dalam membangun bangsa ini sama artinya dengan
memilih jalan bunuh diri.
Peneliti Institute for Ecosoc Rights
Sumber : Opini Kompas cetak, 21 Mei 2013
No comments:
Post a Comment