23 January 2014

Kamilus Tupen Jumat: Mantan TKI yang Tengah Membangun Peradaban (bagian 1)


Kamilus dan Keluarganya
Siapakah Kamilus Tupen? Mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Ia adalah petani dan warga Kampung (Lewo) Honihama, desa Tuwagoetobi, kecamatan Witihama, Adonara, NTT. Namanya mulai dikenal di tingkat nasional setelah kelompok tani yang dibidani dan dipimpinnya, yaitu Kelompok Tani Lewowerang (KTL), berhasil meraih penghargaan Kusala Swadaya. Kusala Swadaya adalah penghargaan di bidang kewirausahaan sosial yang diadakan Yayasan Bina Swadaya di Jakarta. KTL anggotanya memang kebanyakan para petani, tetapi KTL bukanlah  kelompok tani biasa sebagaimana yang kita kenal. KTL adalah sebuah inovasi dari seorang Kamilus Tupen yang punya komitmen kuat untuk memberikan solusi atas persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dihadapi masyarakat kampung. KTL merupakan badan usaha yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat. Sebagai badan usaha rakyat, KTL menerapkan sistem ekonomi yang dilandasi nilai-nilai kerjasama dan solidaritas antar warga. Melalui dan bersama KTL, Kamilus mengoreksi sistem ekonomi modern yang melahirkan banyak penderitaan dalam masyarakat. Dengan itu ia sekaligus membuktikan bahwa sistem ekonomi alternatif itu mungkin.
Pergulatan Hidup sebagai TKI

Menjadi salah satu juri dalam penganugerahan Kusala Swadaya, membuat saya beruntung dapat bertemu dan mengenal lebih jauh gagasan, kerja, dan perjuangan Kamilus untuk masyarakatnya melalui kelompok tani yang dibidani dan dipimpinnya. Banyak hal yang bisa ditulis dari kerja dan perjuangan seorang Kamilus Tupen bersama KTL-nya. Dalam hal ini saya memilih untuk mengangkat sosok Kamilus sebagai seorang mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sebab apa yang diperjuangkan dan dikembangkan Kamilus dengan KTL-nya tidak terlepas dari pengalaman dan pergulatan hidupnya sebagai mantan TKI. Sebagai mantan TKI, apa yang dilakukan Kamilus sangatlah istimewa. 

Ada banyak TKI yang sukses dan kembali ke tanah air dengan membawa remitan. Ada juga mantan TKI yang sukses dalam memanfaatkan hasil kerjanya untuk mengembangkan usaha produktif atau kegiatan sosial lainnya. Saya menyebut para mantan TKI yang sukses dengan usaha produktif dan atau dengan kegiatan sosial ini sebagai TKI “pembelajar”. Bila dibandingkan dengan jumlah TKI “sukses”, TKI “pembelajar” ini masih sangat terbatas jumlahnya. Kondisi ini bisa dipahami mengingat sistem penempatan dan perlindungan TKI yang dijalankan pemerintah Indonesia tidak menyiapkan para TKI untuk menjadi TKI pembelajar.

Sistem penempatan dan perlindungan TKI – termasuk sistem pendidikan bagi calon TKI –condong hanya menyiapkan TKI untuk menjadi pelayan dan bahkan budak sang majikan. Sistem tersebut tidak menyiapkan TKI untuk berani berhenti menjadi TKI dan mengubah diri menjadi “majikan”. TKI tidak disiapkan untuk berani bermimpi dan merencanakan serta mencapai target tertentu untuk diri, keluarga, dan komunitasnya. Pendek kata, sistem penempatan dan perlindungan TKI tidak menyiapkan calon TKI untuk menjadi TKI pembelajar yang siap dan mampu menyerap pengetahuan, informasi, ketrampilan, cara berpikir, cara hidup, dan segala hal yang bisa dipelajari selama bekerja di luar negeri. Sebaliknya,  sistem penempatan dan perlindungan TKI cenderung menciptakan TKI daur ulang dan melahirkan generasi TKI dengan target untuk memperbanyak remitansi ekonomi dan memperbesar devisa bagi negara. Pemerintah sendiri tak punya target dan rencana yang jelas untuk memutus rantai daur ulang dan regenerasi TKI di desa-desa. Yang terjadi, desa-desa semakin miskin dan kabupaten pengirim TKI meningkat lebih dari 300 persen dalam tiga tahun terakhir. Ada memang target pemerintah untuk menghentikan pengiriman TKI di sektor domestik, tapi tidak jelas bagaimana target itu hendak dicapai. Membebaskan rakyat dari jerat ekonomi perbudakan serasa seperti pungguk merindukan bulan. Terlebih bila mengingat bagaimana Republik ini dikelola dengan sistem ekonomi yang semakin  eksploitatif terhadap bumi dan rakyatnya sendiri.

Sementara dari kampung pedalaman di pulau Adonara, Kamilus Tupen, 49 tahun, seorang petani berpendidikan SMA yang tidak pernah menikmati layanan pendidikan bagi calon TKI – sebagaimana dialami para calon TKI asal NTT pada umumnya – justru mampu menjadikan dirinya sebagai TKI pembelajar dan membebaskan warga kampungnya dari ekonomi perbudakan. Bahkan Kamilus bukan hanya menjadi TKI pembelajar. Ia juga adalah TKI pejuang yang turut membangun peradaban bangsanya. Salah satu prestasinya adalah ia berhasil membuat banyak warga di daerahnya berhenti menjadi TKI. Bersama kaum muda di kampungnya, ia membangun usaha bersama yang dimiliki bersama dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Ia juga berhasil mengembangkan sistem ekonomi berbasis kerjasama dan solidaritas, dengan bertolak dari tradisi gemohing (tolong menolong) yang berlaku di kampungnya. Berangkat dari kearifan lokal itulah ia mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi para petani di kampungnya. Ia juga mengoreksi sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern yang melahirkan ketimpangan dan penderitaan bagi banyak orang. Ide dan kerja besar yang dilakukan Kamilus lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup sebagai buruh migran di Malaysia dan dipicu oleh kehendak kuat untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup yang dihadapi warga di kampungnya.

Selama sepuluh tahun menjadi TKI di Malaysia dan puluhan tahun menjadi warga daerah NTT yang distigma sebagai daerah miskin, Kamilus menyaksikan dan merasakan ada yang tidak beres dengan sistem ekonomi yang dijalankan dan dikembangkan masyarakat modern sekarang. Ia melihat bagaimana seorang toke (majikan) pemilik modal bisa kaya raya hanya dengan mempekerjakan seorang manajer dan merekrut banyak orang miskin sebagai buruh untuk menjalankan usaha. Sang majikan tidak perlu bekerja keras karena kerja keras itu kewajibannya buruh. Ia juga tidak perlu memiliki kecakapan manajemen karena ada manajer yang mengurus segalanya. Ia mempelajari bagaimana majikannya di Malaysia bangun tidur buka usaha, panggil manajer dan cari orang-orang miskin dari NTT. Majikan pinjam uang dari bank dan kemudian diserahkan pada sang manajer untuk dikelola. Setelah itu majikan tidur lagi. Ketika bangun, sang majikan tinggal bertanya berapa keuntungan yang didapatnya.

Sistem ekonomi yang tidak beres itu ia rasakan juga dalam kehidupan masyarakat di kampungnya. Banyak orang meninggalkan kampung karena sistem pengelolaan kampung tidak membuat orang berdaya. Orang beramai-ramai meninggalkan kampung dan mencari penghidupan di tempat lain, entah di kota-kota besar atau di negara lain. Kehidupan di kampung dirasa semakin berat. Untuk mendapatkan satu kilogram beras saja sangatlah sulit. Sementara anak-anak muda usia sekolah juga tidak bisa melanjutkan sekolah.

Menurut Kamilus, bukan hanya sistem pengelolaan kampung yang tidak beres, sistem pengelolaan negara ini juga tidak beres. Sistem pendidikan dan sistem ekonomi yang dijalankan negara ini membuat rakyat tidak berdaya. Negara dikelola dengan sistem yang cenderung menguntungkan para pemodal dan kelompok kaya. Padahal menurut Kamilus, negara ini tidak miskin. Negara ini kaya, sistem pengelolaan negara inilah yang menjadikan rakyatnya miskin. Orang-orang di Jawa, misalnya, yang menjadi pusat pengembangan kapitalisme mendapatkan keuntungan dengan menanggung biaya transportasi yang lebih rendah dibandingkan rakyat yang di pedalaman. Akibatnya, orang-orang di kampung dipaksa menjual murah hasil taninya dan membayar mahal barang-barang non pertanian yang tidak mereka hasilkan. Di Malaysia, ketimpangan seperti ini tidak ia temukan. Sebab pemerintah Malaysia menyediakan sistem transportasi dan memberikan subsidi kontainer yang membuat harga barang di pedalaman sama dengan di kota.  

Ketidakberesan yang dilihat dan dirasakan Kamilus dalam sistem ekonomi kapitalis membuat Kamilus berpikir, jika rakyat bisa menghimpun modal dan berusaha bersama maka rakyat juga bisa menjadi majikan perusahaan. Dengan cara demikian, kekayaan yang selama ini mengalir ke segelintir pemilik modal bisa terbagi merata pada rakyat. Ide membangun badan usaha rakyat terus mengental di benak Kamilus. Saat itu ia belum tahu bagaimana ide ini dijalankan. 


Tahun 2001 Kamilus memutuskan berhenti menjadi TKI. Ia merasa, selama bekerja sebagai TKI ia menjalani kehidupan yang palsu. Hidupnya hanya terfokus untuk mengejar uang. Potensinya sebagai pribadi, sebagai manusia utuh sama sekali tidak tergali. Ia tidak mengenali siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan palsu yang ditawarkan sistem ekonomi kapitalis. Ia melihat dan merasakan bagaimana sistem ekonomi ini mengajarkan orang untuk bersaing dan menerapkan hukum rimba. Menurutnya, sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern ini sangatlah jahat karena mengubah manusia menjadi hamba uang dan menjadikan uang lebih bernilai daripada kehidupan. Ibaratnya, untuk minum kopi saja orang harus bertikai. Orang baru bisa menjadi kaya dengan mempermiskin orang lain, dengan mengambil sebanyak-banyaknya dari alam.


Dalam kesadaran Kamilus, sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern tidak melihat orang lain sebagai dirinya sendiri. Ini yang membuat banyak pemilik perusahaan tega mematikan perusahaan pesaing agar semakin banyak konsumen beralih padanya. Ia pun menyaksikan, banyak majikan dan pemilik perusahaan tega mengeksploitasi buruh, merampas lahan warga, dan melakukan kejahatan lain demi memperbesar keuntungan. Sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern juga tidak melihat alam ini sebagai ibu yang memberikan kehidupan bagi semua makhluk. Itulah mengapa para pengusaha bisa berebut untuk sebanyak-banyaknya menguasai dan mengeksploitasi alam demi uang.   Padahal, menurut Kamilus, leluhur mengajarkan bahwa alam ini untuk dipelihara dan dikelola demi keberlangsungan kehidupan, bukan untuk dimiliki dan dieksploitasi.  Kamilus mengaku, kesadaran ini benar-benar membuatnya gelisah karena ia telah menjalani dan turut mendukung berlangsungnya kehidupan palsu.  

No comments:

Post a Comment