Kamilus dan Keluarganya |
Siapakah Kamilus Tupen? Mungkin tak banyak orang yang
mengenalnya. Ia adalah petani dan warga Kampung (Lewo) Honihama, desa Tuwagoetobi, kecamatan Witihama, Adonara, NTT.
Namanya mulai dikenal di tingkat nasional setelah kelompok tani yang dibidani
dan dipimpinnya, yaitu Kelompok Tani Lewowerang (KTL), berhasil meraih
penghargaan Kusala Swadaya. Kusala Swadaya adalah penghargaan di bidang
kewirausahaan sosial yang diadakan Yayasan Bina Swadaya di Jakarta. KTL
anggotanya memang kebanyakan para petani, tetapi KTL bukanlah kelompok tani biasa sebagaimana yang kita
kenal. KTL adalah sebuah inovasi dari seorang Kamilus Tupen yang punya komitmen
kuat untuk memberikan solusi atas persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial
yang dihadapi masyarakat kampung. KTL merupakan badan usaha yang dimiliki
secara kolektif oleh masyarakat. Sebagai badan usaha rakyat, KTL menerapkan
sistem ekonomi yang dilandasi nilai-nilai kerjasama dan solidaritas antar
warga. Melalui dan bersama KTL, Kamilus mengoreksi sistem ekonomi modern yang
melahirkan banyak penderitaan dalam masyarakat. Dengan itu ia sekaligus membuktikan
bahwa sistem ekonomi alternatif itu mungkin.
Menjadi salah satu juri dalam penganugerahan Kusala
Swadaya, membuat saya beruntung dapat bertemu dan mengenal lebih jauh gagasan, kerja,
dan perjuangan Kamilus untuk masyarakatnya melalui kelompok tani yang dibidani
dan dipimpinnya. Banyak hal yang bisa ditulis dari kerja dan perjuangan seorang
Kamilus Tupen bersama KTL-nya. Dalam hal ini saya memilih untuk mengangkat sosok
Kamilus sebagai seorang mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sebab
apa yang diperjuangkan dan dikembangkan Kamilus dengan KTL-nya tidak terlepas
dari pengalaman dan pergulatan hidupnya sebagai mantan TKI. Sebagai mantan TKI,
apa yang dilakukan Kamilus sangatlah istimewa.
Ada banyak TKI yang sukses dan kembali ke tanah air
dengan membawa remitan. Ada juga mantan TKI yang sukses dalam memanfaatkan hasil
kerjanya untuk mengembangkan usaha produktif atau kegiatan sosial lainnya. Saya
menyebut para mantan TKI yang sukses dengan usaha produktif dan atau dengan
kegiatan sosial ini sebagai TKI “pembelajar”. Bila dibandingkan dengan jumlah TKI
“sukses”, TKI “pembelajar” ini masih sangat terbatas jumlahnya. Kondisi ini bisa
dipahami mengingat sistem penempatan dan perlindungan TKI yang dijalankan
pemerintah Indonesia tidak menyiapkan para TKI untuk menjadi TKI pembelajar.
Sistem penempatan dan perlindungan TKI – termasuk
sistem pendidikan bagi calon TKI –condong hanya menyiapkan TKI untuk menjadi
pelayan dan bahkan budak sang majikan. Sistem tersebut tidak menyiapkan TKI
untuk berani berhenti menjadi TKI dan mengubah diri menjadi “majikan”. TKI
tidak disiapkan untuk berani bermimpi dan merencanakan serta mencapai target
tertentu untuk diri, keluarga, dan komunitasnya. Pendek kata, sistem penempatan
dan perlindungan TKI tidak menyiapkan calon TKI untuk menjadi TKI pembelajar
yang siap dan mampu menyerap pengetahuan, informasi, ketrampilan, cara
berpikir, cara hidup, dan segala hal yang bisa dipelajari selama bekerja di
luar negeri. Sebaliknya, sistem
penempatan dan perlindungan TKI cenderung menciptakan TKI daur ulang dan
melahirkan generasi TKI dengan target untuk memperbanyak remitansi ekonomi dan memperbesar
devisa bagi negara. Pemerintah sendiri tak punya target dan rencana yang jelas untuk
memutus rantai daur ulang dan regenerasi TKI di desa-desa. Yang terjadi,
desa-desa semakin miskin dan kabupaten pengirim TKI meningkat lebih dari 300
persen dalam tiga tahun terakhir. Ada memang target pemerintah untuk
menghentikan pengiriman TKI di sektor domestik, tapi tidak jelas bagaimana target
itu hendak dicapai. Membebaskan rakyat dari jerat ekonomi perbudakan serasa
seperti pungguk merindukan bulan. Terlebih bila mengingat bagaimana Republik
ini dikelola dengan sistem ekonomi yang semakin eksploitatif terhadap bumi dan rakyatnya
sendiri.
Sementara dari kampung pedalaman di pulau Adonara, Kamilus
Tupen, 49 tahun, seorang petani berpendidikan SMA yang tidak pernah menikmati layanan
pendidikan bagi calon TKI – sebagaimana dialami para calon TKI asal NTT pada
umumnya – justru mampu menjadikan dirinya sebagai TKI pembelajar dan
membebaskan warga kampungnya dari ekonomi perbudakan. Bahkan Kamilus bukan
hanya menjadi TKI pembelajar. Ia juga adalah TKI pejuang yang turut membangun
peradaban bangsanya. Salah satu prestasinya adalah ia berhasil membuat banyak warga
di daerahnya berhenti menjadi TKI. Bersama kaum muda di kampungnya, ia membangun
usaha bersama yang dimiliki bersama dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama.
Ia juga berhasil mengembangkan sistem ekonomi berbasis kerjasama dan
solidaritas, dengan bertolak dari tradisi gemohing
(tolong menolong) yang berlaku di kampungnya. Berangkat dari kearifan lokal
itulah ia mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi para petani di kampungnya.
Ia juga mengoreksi sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern yang melahirkan
ketimpangan dan penderitaan bagi banyak orang. Ide dan kerja besar yang
dilakukan Kamilus lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup sebagai buruh
migran di Malaysia dan dipicu oleh kehendak kuat untuk mengatasi kemiskinan dan
kesulitan hidup yang dihadapi warga di kampungnya.
Selama sepuluh
tahun menjadi TKI di Malaysia dan puluhan tahun menjadi warga daerah NTT yang
distigma sebagai daerah miskin, Kamilus menyaksikan dan merasakan ada yang
tidak beres dengan sistem ekonomi yang dijalankan dan dikembangkan masyarakat
modern sekarang. Ia melihat bagaimana seorang toke (majikan) pemilik modal bisa
kaya raya hanya dengan mempekerjakan seorang manajer dan merekrut banyak orang
miskin sebagai buruh untuk menjalankan usaha. Sang majikan tidak perlu bekerja
keras karena kerja keras itu kewajibannya buruh. Ia juga tidak perlu memiliki
kecakapan manajemen karena ada manajer yang mengurus segalanya. Ia mempelajari bagaimana
majikannya di Malaysia bangun tidur buka usaha, panggil manajer dan cari
orang-orang miskin dari NTT. Majikan pinjam uang dari bank dan kemudian
diserahkan pada sang manajer untuk dikelola. Setelah itu majikan tidur lagi.
Ketika bangun, sang majikan tinggal bertanya berapa keuntungan yang didapatnya.
Sistem ekonomi
yang tidak beres itu ia rasakan juga dalam kehidupan masyarakat di kampungnya.
Banyak orang meninggalkan kampung karena sistem pengelolaan kampung tidak
membuat orang berdaya. Orang beramai-ramai meninggalkan kampung dan mencari
penghidupan di tempat lain, entah di kota-kota besar atau di negara lain.
Kehidupan di kampung dirasa semakin berat. Untuk mendapatkan satu kilogram
beras saja sangatlah sulit. Sementara anak-anak muda usia sekolah juga tidak
bisa melanjutkan sekolah.
Menurut Kamilus,
bukan hanya sistem pengelolaan kampung yang tidak beres, sistem pengelolaan
negara ini juga tidak beres. Sistem pendidikan dan sistem ekonomi yang dijalankan
negara ini membuat rakyat tidak berdaya. Negara dikelola dengan sistem yang cenderung
menguntungkan para pemodal dan kelompok kaya. Padahal menurut Kamilus, negara
ini tidak miskin. Negara ini kaya, sistem pengelolaan negara inilah yang
menjadikan rakyatnya miskin. Orang-orang di Jawa, misalnya, yang menjadi pusat
pengembangan kapitalisme mendapatkan keuntungan dengan menanggung biaya
transportasi yang lebih rendah dibandingkan rakyat yang di pedalaman.
Akibatnya, orang-orang di kampung dipaksa menjual murah hasil taninya dan membayar
mahal barang-barang non pertanian yang tidak mereka hasilkan. Di Malaysia,
ketimpangan seperti ini tidak ia temukan. Sebab pemerintah Malaysia menyediakan
sistem transportasi dan memberikan subsidi kontainer yang membuat harga barang di
pedalaman sama dengan di kota.
Tahun 2001
Kamilus memutuskan berhenti menjadi TKI. Ia merasa, selama bekerja sebagai TKI ia
menjalani kehidupan yang palsu. Hidupnya hanya terfokus untuk mengejar uang. Potensinya
sebagai pribadi, sebagai manusia utuh sama sekali tidak tergali. Ia tidak mengenali
siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan
palsu yang ditawarkan sistem ekonomi kapitalis. Ia melihat dan merasakan bagaimana
sistem ekonomi ini mengajarkan orang untuk bersaing dan menerapkan hukum rimba.
Menurutnya, sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern ini sangatlah jahat
karena mengubah manusia menjadi hamba uang dan menjadikan uang lebih bernilai
daripada kehidupan. Ibaratnya, untuk minum kopi saja orang harus bertikai.
Orang baru bisa menjadi kaya dengan mempermiskin orang lain, dengan mengambil
sebanyak-banyaknya dari alam.
Dalam kesadaran
Kamilus, sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern tidak melihat orang lain
sebagai dirinya sendiri. Ini yang membuat banyak pemilik perusahaan tega mematikan
perusahaan pesaing agar semakin banyak konsumen beralih padanya. Ia pun
menyaksikan, banyak majikan dan pemilik perusahaan tega mengeksploitasi buruh, merampas
lahan warga, dan melakukan kejahatan lain demi memperbesar keuntungan. Sistem
ekonomi yang dianut masyarakat modern juga tidak melihat alam ini sebagai ibu
yang memberikan kehidupan bagi semua makhluk. Itulah mengapa para pengusaha bisa
berebut untuk sebanyak-banyaknya menguasai dan mengeksploitasi alam demi uang. Padahal,
menurut Kamilus, leluhur mengajarkan bahwa alam ini untuk dipelihara dan
dikelola demi keberlangsungan kehidupan, bukan untuk dimiliki dan dieksploitasi. Kamilus mengaku, kesadaran ini benar-benar
membuatnya gelisah karena ia telah menjalani dan turut mendukung berlangsungnya
kehidupan palsu.
No comments:
Post a Comment