Menerapkan
Gagasan
Kegelisahan
untuk menjadi dirinya dan menjalani hidup yang sejati membawanya kembali ke
kampung setelah 10 tahun menjadi TKI dan dua tahun bekerja di Larantuka. Mimpi
membuat badan usaha rakyat dan mengembangkan sistem ekonomi berbasis
solidaritas terus bergaung dalam benaknya. Mulailah ia menerapkan gagasannya
itu dalam organisasi “Gemohing” yang sudah berjalan di kampungnya. Namun idenya
ini mendapat tantangan dari para tua-tua dan kepala desa. Mereka menolak sistem
yang ia bangun. Mereka merasa sudah nyaman dengan sistem yang ada. Kamilus
dianggap telah mengobrak-abrik sistem yang sudah mapan itu. Menghadapi tantangan para tua-tua dan kepala
desa, Kamilus memilih mundur agar organisasi yang sudah berjalan lama itu tidak
hancur. Saat itu ia merasa idenya untuk membangun badan usaha rakyat dan
mengembangkan ekonomi berbasis solidaritas belum saatnya untuk dijalankan.
Kerja Gemohing anggota KTL 2 |
Tahun 2004
Kamilus memutuskan untuk fokus menggarap lahan dan menjadi petani. Ia menanam
ubi kayu dan kacang tanah. Oleh para warga di kampungnya ia diejek dan dianggap
tidak tahu cara bertani. Namun pada saat panen, warga berubah pikiran dalam
menilai Kamilus. Kamilus mampu menunjukkan bahwa hasil produksi ubi kayunya jauh
di atas produksi ubi kayu yang dihasilkan warga.
Pada Maret 2010,
sekelompok anak muda mendatangi Kamilus dan mengajaknya mengembangkan gagasan
yg dulu pernah disampaikan Kamilus pada mereka. Saat itu Kamilus tidak menganggap
serius permintaan anak-anak muda itu. Ia merespon ajakan anak-anak muda itu
dengan meminta mereka mengumpulkan sedikitnya 30 orang. Kalau mereka berhasil
mengumpulkan 30 orang, ia bersedia memenuhi ajakan mereka. Kalau tidak tersedia
30 orang yang ia persyaratkan, maka ia menganggap ide tentang badan usaha
rakyat dan sistem ekonomi solidaritas
belum waktunya untuk dijalankan.
Di luar dugaan,
malam harinya datanglah 32 anak muda yang meminta Kamilus memaparkan kembali gagasannya.
Saat itulah ia memaparkan ide tentang kekuatan rakyat sebagai modal dan rakyat
sebagai majikan. Idenya adalah badan usaha rakyat yang dijalankan dengan sistem
simpan pinjam tenaga kerja. Ia mengajak setiap orang mengumpulkan Rp 100 ribu
untuk simpanan pokok. Dalam waktu dua minggu, ada 70 orang yang mendaftar untuk
bergabung dan terkumpullah tujuh juta rupiah sebagai modal. Sejak saat itu pula
terbentuklah Badan Usaha Rakyat dengan nama “Kelompok Tani Lewowerang” (KTL),
yang menjalankan usaha simpan pinjam tenaga kerja.
Usaha simpan
pinjam tenaga kerja dijalankan dengan memadukan antara tradisi gemohing (kerja saling membantu/tolong
menolong) dan koperasi kredit. Para anggota KTL membayar simpanan pokok sebesar
Rp 100.000 dan simpanan wajib sebesar Rp 10.000 per bulan. Simpanan pokok dan
simpanan wajib ini bisa dibayar dengan uang tunai atau dengan tenaga kerja. Warga
yang menjadi anggota dapat meminjam dana dari KTL untuk memenuhi kebutuhannya,
misalnya untuk mengolah lahan, membangun rumah, mengurus kebun, dan berbagai
bentuk kegiatan ekonomi yang membutuhkan dana dan tenaga kerja. Dana yang
dipinjam anggota dari KTL dikembalikan dalam waktu empat bulan. Peminjam dikenakan
bunga sebesar 2 (dua) persen.
Bedanya dengan
koperasi kredit, pinjaman anggota pada KTL tidak diberikan dalam bentuk uang
tunai melainkan dalam bentuk voucher.
Sekadar contoh, seorang anggota KTL meminjam dana untuk membangun rumah. KTL
memberikan voucher pada anggota
tersebut senilai jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun rumah. Dalam hal
ini anggota yang meminjam dana untuk membangun rumah tersebut berperan sebagai
“majikan”, yang akan membayar para buruh yang melakukan kerja gemohing membangun rumahnya. Para buruh yang
dipekerjakan ini adalah sesama anggota KTL. Para buruh ini dibayar oleh majikan
tidak dengan uang tunai melainkan dengan voucher
yang diterimanya dari KTL. Para buruh selanjutnya akan menukarkan voucher tersebut dengan uang tunai pada
KTL. Penukaran voucher dilakukan pada
saat pertemuan KTL, yang diadakan pada setiap hari minggu.
Anggota yang
meminjam dana dari KTL bisa mengembalikan pinjamannya dalam bentuk uang tunai
atau bisa juga dengan tenaga kerja. Ini berarti, semua anggota KTL bisa
berperan sebagai majikan dan sekaligus buruh. Di satu kegiatan (membangun rumah
misalnya), seorang anggota KTL bisa berperan sebagai majikan yang membayar
buruh dengan voucher, dan di kegiatan
lain (mengolah lahan, misalnya) anggota yang sama bisa berperan sebagai buruh
yang menerima voucher. Voucher yang diterima saat anggota
tersebut menjadi buruh bisa digunakan untuk membayar pinjaman. Para anggota KTL
yang berperan sebagai buruh dan melakukan kerja gemohing dihargai atau dibayar sebesar Rp 5.000 per jam untuk pekerja
biasa dan Rp 6.000 per jam untuk pekerja trampil. Sesuai kesepakatan, para
pekerja perempuan dihargai Rp 4.000 per jam. Sebab dalam kerja gemohing, perempuan melakukan
kerja-kerja yang dinilai lebih ringan dari kerja-kerja yang dilakukan para
lelaki. Dalam hal ini KTL menerapkan sistem upah imbang kerja, di mana
pekerjaan yang sama mendapatkan upah yang sama.
Pertanyaannya,
darimana Kamilus mendapatkan ide tentang sistem simpan pinjam tenaga kerja dan
sistem pembayaran dengan voucher? Ide
ini muncul setelah Kamilus melihat dan merasakan berbagai kesulitan hidup yang
dialami warga di kampungnya. Beberapa di antaranya adalah pertama, kesulitan
yang dialami seorang mama yang datang padanya untuk meminta pekerjaan di kebun untuk
mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhannya. Mama ini punya kebun luas namun
tidak ada tenaga yang dapat membantunya menggarap lahan. Ia janda dan dua
anaknya menjadi TKI di Malaysia. Kedua, seorang tante yang hidup bersama
ibu dan beberapa saudara perempuannya merasa kesulitan membeli seng untuk
mengatap rumah, padahal ia memiliki ternak babi. Ternak babi belum ada
pembelinya. Ketiga, para petani di lahan tadah hujan mempunya banyak
waktu luang yang tidak dimanfaatkan. Tanaman padi, jagung, umbi-umbian dan
kacang-kacangan membutuhkan waktu kerja efektif empat bulan, kerja kebun untuk
pemeliharaan jambu mete butuh waktu efektif tiga bulan. Kerja mengurus ternak
juga tidak butuh banyak waktu. Praktis masih ada banyak waktu dalam satu tahun
di mana para petani menjadi pengangguran terselubung. Keempat, celetukan
para petani yang mengatakan “saat musim kemarau dan cuaca panas begini sangat
rajin ke kebun untuk apa? Kalau ada uang banyak yang tersedia di kebun .... nah
kita rajin pergi ke kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.” Kelima, pengalaman
para anggota di salah satu koperasi kredit di daerahnya yang terpaksa menjual
tanah untuk membayar pinjaman atau pergi merantau menjadi TKI. Saat itu Kamilus
yang tahu menggunakan komputer dimintai bantuan membuat laporan keuangan oleh
salah satu koperasi kredit di daerahnya. Dari situ ia jadi tahu bagaimana
koperasi itu dikelola. Ia jadi tahu
siapa saja warga yang memiliki pinjaman di koperasi itu. Ia kemudian mendatangi para
warga tersebut dan mendapati kenyataan bahwa warga yang meminjam pada koperasi
kredit itu terpaksa harus jual tanah untuk bayar utangnya ke koperasi atau
terpaksa pergi merantau menjadi TKI. Kamilus menyimpulkan, koperasi kredit yang
ada di kampungnya tidak menyejahterakan anggotanya. Koperasi itu tidak peduli pada
nasib anggotanya. Koperasi itu tidak menggali ke dalam terkait nasib anggotanya
dan juga tidak peduli untuk apa anggotanya meminjam uang dari koperasi. Koperasi
kredit yang ditemuinya itu – disadari atau tidak – cenderung fokus pada “memperbesar
aset” koperasi alias “menimbun uang”.
Menghadapi
berbagai persoalan yang dihadapi warga di kampungnya itu, Kamilus tidak mencari
pemecahannya dari luar. Ia menggalinya dari dalam masyarakatnya sendiri. Ia menggunakan
kearifan lokal warisan leluhur, yaitu tradisi gemohing sebagai jalan keluar. Gemohing
dalam budaya Lamaholot berarti semangat dan tekad untuk bersama-sama
membantu memecahkan masalah yang dihadapi orang lain. Dalam hal ini Kamilus
memadukan tradisi gemohing dengan
sistem koperasi kredit sebagai spirit untuk menjalankan badan usaha rakyat
dalam wadah KTL. Sementara untuk mengatasi kelemahan yang ada pada sistem
koperasi kredit, Kamilus mengelola koperasi KTL dengan tidak memberikan
pinjaman pada anggota dalam bentuk uang tunai tetapi dalam bentuk tenaga kerja.
Selain
menyediakan layanan simpan pinjam tenaga kerja, KTL juga memberikan beberapa
layanan lain, di antaranya: 1) penyertaan modal usaha. KTL tidak
memberikan pinjaman untuk investasi. Apabila ada anggota KTL yang membuka usaha
dan membutuhkan tambahan modal, KTL memberikan dukungan dalam bentuk modal
penyertaan dan asistensi manajemen agar usaha anggota ini lebih berpeluang
untuk sukses. Dengan sistem modal penyertaan ini, maka usaha seorang anggota KTL
menjadi usaha kolektif; 2) pembelian komoditi anggota. Anggota KTL kini
tidak memiliki kesulitan untuk menjual hasil produksinya dengan harga pantas.
Mereka bisa menjualnya langsung pada KTL, dengan harga lebih tinggi dari harga yang
ditawarkan tengkulak. Keuntungan dari penjualan komoditi anggota oleh KTL ini
dibagi dua, 75 persen untuk pemilik komoditi dan 25 persen untuk KTL. Dengan
cara ini anggota KTL mendapatkan keuntungan ganda. Selain memperoleh harga lebih tinggi, mereka juga mendapatkan
pembagian keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual; 3) Kios
koperasi. Apabila ada anggota KTL yang kesulitan
uang untuk membeli barang-barang kebutuhan, anggota tersebut dapat membuka
pinjaman di koperasi dan mengambil barang di kios KTL; 4) Tabungan
pendidikan. KTL memfasilitasi anggota untuk mempersiapkan biaya bagi pendidikan
anak dengan cara menyisihkan sebagian hasil kerjanya untuk ditabung di KTL.
KTL yang
dibidani dan dipimpin Kamilus kini beranggotakan 325 orang dan jumlah simpanan
anggota tak kurang dari Rp 197 juta. Jumlah simpanan KTL yang baru tiga tahun
beroperasi ini bisa jadi terbilang kecil bila dibandingkan simpanan koperasi
kredit di kampungnya. Namun manfaat dan efektivitas sistem KTL dirasakan secara
luas oleh masyarakat kampung. Bahkan warga dari kampung-kampung lain tergerak mengikuti
jejak KTL setelah mereka melihat keluasan manfaat dan efektivitas sistem KTL.
Mereka kemudian membentuk kelompok dan menerapkan sistem yang sama seperti KTL.
Setidaknya sudah ada 8 (delapan) kampung yang sudah membentuk badan usaha
rakyat dan menerapkan sistem ekonomi solidaritas sebagaimana yang dijalankan KTL.
Dalam hal ini Kamilus membantu proses pendirian badan usaha rakyat dan penerapan
sistem ekonomi solidaritas di delapan kampung tersebut.
Melalui KTL, Kamilus
tidak hanya berhasil merevitalisasi tradisi gemohing
tetapi juga membuat tradisi tersebut memberi nilai tambah bagi
kesejahteraan warga kampung. Warga yang
tak memiliki tanah dan tak memiliki pekerjaan bisa bekerja pada warga lain yang
membutuhkan tenaga kerja, sehingga mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Warga yang memiliki lahan luas bisa mengelola lahannya secara lebih
produktif karena adanya dukungan tenaga kerja dari warga lain. Para petani bisa
menjual hasil produksinya dengan harga lebih tinggi. Warga juga mendapatkan
manfaat dari usaha yang dibuat warga lain. Warga dapat memanfaatkan waktu
luangnya untuk melakukan berbagai kegiatan bernilai ekonomis, seperti membangun
rumah, mengolah hasil pertanian, mengolah lahan, mengerjakan proyek-proyek
pemerintah, seperti membuat jalan, membangun sekolah, dan pekerjaan-pekerjaan
lainnya yang dikoordinir dan dikelola KTL. Kerjasama dan solidaritas menjadi
kunci bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kampung. Semua mendapatkan
manfaat dari apa yang dimiliki dan diusahakan oleh warga.
Selain berdampak
pada peningkatan ekonomi warga kampung, KTL yang menerapkan sistem ekonomi
solidaritas juga mengubah secara mendasar kehidupan warga dan masyarakat. Keharmonisan
hidup dalam masyarakat kampung kini sangat terasa. Ada peningkatan juga dalam
kualitas pendidikan anak. Tak ada lagi konflik dan perang antar kampung yang selama
ini sering terjadi di Adonara akibat persoalan kepemilikan tanah. Kehidupan
harmonis ini bisa terwujud karena setelah menjadi anggota KTL tidak ada lagi
rasa individual dalam kepemilikan tanah. Semua serasa jadi milik bersama karena
dalam satu kesatuan lahan semuanya mendapatkan keuntungan dalam berbagai
bentuk.
No comments:
Post a Comment