Bila kita melakukan perjalanan dari kota Palangkaraya sampai kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, kita akan menyaksikan satu panorama tunggal dalam wujud perkebunan sawit. Kalau perjalanan itu kita lanjutkan sampai ke perbatasan Kalimantan Barat, kita akan temukan satu lingkup kecil wilayah adat yang hutannya relatif masih rapat. Di wilayah ini bermukim komunitas adat Delang, sebuah komunitas adat yang sejak lama bersepakat untuk menjaga keutuhan hutan dan wilayah adat mereka di tengah serbuan investasi perkebunan sawit dan pertambangan di Kalimantan Tengah.
Ada banyak alasan mengapa komunitas adat Delang memilih untuk menolak kehadiran pertambangan dan perkebunan sawit. Alasan utamanya adalah bahwa perkebunan sawit itu milik orang lain. Dengan menyerahkan tanah ke orang lain (investor) masyarakat nantinya hanya akan menjadi kuli. Sementara alasan mereka menolak pertambangan lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa pertambangan lebih banyak beroperasi di wilayah hulu. Ini tentu akan mengganggu kehidupan komunitas karena limbah tambang akan mencemari sungai. Padahal kehidupan mereka sangat bergantung pada sungai.
Dengan menolak perkebunan sawit dan pertambangan bukan berarti masyarakat Delang menolak investasi. Mereka bukanlah menolak investasi. Hanya saja mereka berharap, investasi yang masuk ke wilayah Delang bukanlah investasi yang berdampak pada rusaknya hutan dan lingkungan. Sebab Wilayah adat Delang, menurut mereka, adalah daerah penyangga, terutama bagi Kabupaten Lamandau. Masyarakat Delang menilai, investasi yang sesuai dengan kondisi Delang adalah investasi yang menjadikan Delang sebagai daerah wisata alam, wisata adat dan budaya.
Selain potensi wisata budaya, Delang juga berpotensi menjadi daerah wisata alam. Selain bukit Sebayan yang dikenal sebagai tempat keramat dan surganya orang Kaharingan, juga ada banyak air terjun, riam, dan sungai. Di bukit Sebayan ada daerah namanya “Tanah Seribu” yang selama ini dijadikan sebagai tempat ritual. Di Delang ada sekitar 30-an air terjun yang ketinggiannya bisa mencapai 40 meter, di antaranya adalah air terjun Silikan, Siukam, Pangrawan, Rouk, Silingan 33, dan lainnya. Ada juga mata air yang menjadi sumber air minum utama masyarakat Delang, yaitu mata air Sempangoan yang berada di Desa Kudangan dan mata air Bukit Tunggal. Selain air terjun, juga ada banyak riam, seperti Riam Tinggi, Riam Pengolian, dan Riam Pelabuhan. Selain air terjun dan riam, juga ada banyak sungai yang airnya masih sangat jernih.
Setiap desa di wilayah Delang memiliki sungai. Tercatat ada 10 desa di wilayah Kecamatan Delang, yaitu Desa Kubung dengan Sungai Mencara; Desa Sekombulan dengan Sungai Delang dan Mengkalat; Desa Kudangan dengan Sungai Delang dan Kungkung; Desa Panyombakan dengan Sungai Kediu; Desa Lopus dengan Sungai Delang dan Sekakat; Desa Nyalang dengan Sungai Delang dan Pekawan; Desa Lando Kantu dengan Sungai Delang dan Kantu; Desa Riam Tinggi dengan Sungai Delang dan Setungkap; Desa Sepoyu dengan Sungai Delang dan Magin; dan Desa Riam Panahan dengan Sungai Delang. Setiap sungai memiliki air terjunnya sendiri. Di sungai-sungai tersebut hidup beragam ikan yang menjadi sumber protein masyarakat. Sedikitnya ada 27 jenis ikan yang hidup di sungai-sungai tersebut, di antaranya adalah ikan somah (ikan jelawat), adungan, bahau, arwan, pangkulan (sejenis bandeng), kilatan, berombang, paran, berakas, ikan duri, kontongir, rario, kontuko, kerang, dan lainnya.
Hal lain yang menjadi aset dan mendukung wilayah Delang sebagai daerah wisata adalah potensi buah-buah langka yang banyak ragamnya. Ada buah durian, rambutan, kapul, kusi, pekawai, torotukan, malowi, sedawak, mentawa, rambai, limad, rangkung, linang, idur, sembawang, kalimantan (asam putar), berbagai jenis langsat (langsat, kihu, tanggulan, duku, bronang), dan lainnya. Setidaknya ada tujuh jenis durian yang ada di sana, di antaranya adalah durian biasa, kusi, pekawai, sedawa, sini, dan lainnya. Satu kepala keluarga (KK) di Delang minimal memiliki lima pohon durian.
Bukan tanpa sebab masyarakat Delang bersikeras untuk mempertahankan keutuhan hutan dan lingkungannya. Selama ini masyarakat menyaksikan bagaimana kualitas hidup komunitas-komunitas yang tinggal di sekitar area perkebunan sawit yang hutannya sudah dibabat habis. Sungai-sungai mereka kotor dan tercemar, masyarakat kehilangan sumber air bersih dan tidak bisa lagi memanfaatkan air sungai untuk mandi, hilangnya beragam sumber penghidupan dan bergantung sepenuhnya dari sawit. Itulah mengapa masyarakat tidak berdiam diri saat melihat percepatan gerak investasi perkebunan sawit yang terus merambah desa-desa tetangga mereka. Mereka berkonsolidasi diri membangun kesepakatan. Pada tahun 2003 semua kepala desa, LKMD, dan mantir adat dari 19 desa (di kecamatan Delang dan Batang Kawa) menandatangani kesepakatan dan pernyataan bersama untuk menolak sawit dan tambang. Pada saat pelantikan DPRD Kabupaten Lamandau, mereka menuntut DPRD yang baru dilantik untuk menyatakan komitmen agar wilayah Delang dan Batang Kawa tidak disawit dan ditambang.
Masyarakat Delang menolak sawit bukan hanya sekedar menolak tanpa pertimbangan untung dan rugi. Mereka benar-benar berhitung, membandingkan keuntungan dan kerugian antara menerima sawit dan tidak menerima sawit, termasuk membandingkan antara sawit dan karet. Menurut perhitungan mereka, bila menerima sawit maka masyarakat akan bergantung pada investor besar. Sebab masyarakat tidak bisa bertanam sawit tanpa ada peran investor yang menampung hasilnya. Tidak seperti karet, sawit tidak bisa disimpan lama. Sehabis panen harus segera dikirim ke pabrik untuk diolah. Dalam waktu 1X24 jam tidak sampai pabrik, maka sawit akan membusuk. Sementara karet, makin lama disimpan justru semakin baik. Mereka mendapatkan informasi dari pihak perkebunan sawit yang pernah mendatangi mereka bahwa untuk menanam sawit butuh biaya yang cukup besar dan butuh lahan yang luas. Itulah mengapa bertanam sawit butuh peranan investor. Sedangkan untuk bertanam karet modalnya hanya tenaga.
Warga Delang yang pernah bekerja di perkebunan sawit melihat sendiri bagaimana perkebunan sawit sangat rakus air. Bahkan mereka meyakini, danau bisa kering karena airnya disedot sawit. Selain itu, sawit juga rakus pupuk kimia. Dari perusahaan perkebunan sawit, warga Delang juga mendapatkan informasi bahwa dalam setahun kebun sawit minimal memerlukan tiga kali pemupukan agar berproduksi baik. Mereka tidak bisa membayangkan apabila saat musim hujan tiba, di mana pupuk kimia itu akan terbawa air hujan dan mengalir ke sungai-sungai yang menjadi sumber air bersih warga. Terlebih lagi, sawit butuh lahan yang sangat luas, sehingga dampaknya adalah pembabatan hutan. Kalau hutan dibabat maka daerah resapan air semakin berkurang. Sungai-sungai akan semakin kering di musim kemarau dan timbul banjir di musim penghujan. Bila hutan di wilayah Delang dibabat, maka daerah yang merupakan dataran rendah, seperti Nangabulik, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kecamatan Kotawaringin Lama, akan terkena dampaknya dan akan menjadi daerah banjir.
Selain persoalan air, sawit oleh masyarakat Delang juga dilihat sebagai tanaman yang tidak bisa ditanam secara tumpangsari. Mereka yakin bahwa dengan memilih sawit maka pertanian akan terganggu oleh hama, di antaranya adalah hama belalang dan tikus. Sebab menurut mereka, pertanian yang tidak tumpangsari akan mengundang datangnya hama.
Penolakan masyarakat Delang terhadap sawit juga ada kaitannya dengan tradisi. Masyarakat Delang selama ini memegang teguh tradisi bertani secara tumpangsari. Dalam hal ini sawit bukan bagian dari tradisi masyarakat Dayak. Tradisi masyarakat Dayak, termasuk Delang, adalah berkebun karet. Masyarakat sudah menguasai bagaimana memproduksi karet. Lagipula dengan karet mereka merasa tidak dikejar oleh waktu. Kalau mereka mau atau butuh uang, mereka pergi menyadap. Kalau tidak, ya mereka tidak perlu pergi ke kebun. Sebaliknya dengan sawit, mereka merasa akan dikejar terus oleh pekerjaan. Tidak ada lagi kebebasan untuk bekerja dan memilih. Dengan sawit, masyarakat juga akan menjadi sangat bergantung pada investor karena sawit butuh modal besar dan tidak mungkin itu dilakukan tanpa dukungan investor.
Kelebihan lain karet dibandingkan sawit adalah adanya unsur pendidikan bagi anak-anak. Dengan karet anak-anak sudah bisa belajar mandiri kerja dan berproduksi. Dalam tradisi masyarakat Delang, anak-anak sudah diajarkan kerja menyadap karet sejak kecil. Pendidikan semacam ini tidak akan bisa lagi mereka lakukan apabila mereka menerima sawit. Pekerjaan di sawit, menurut mereka, sangat berat dan banyak resikonya sehingga tidak mungkin dilakukan oleh anak-anak.
Dalam perhitungan masyarakat Delang, menanam sawit justru akan membuat mereka secara ekonomi merugi. Dengan sawit masyarakat hanya bergantung pada satu hasil saja. Padahal selama ini ada banyak sumber penghasilan yang bisa didapat masyarakat. Selain padi ladang, masyarakat juga mendapatkan hasil dari karet dan buah-buahan. Setiap kepala keluarga (KK) minimal memiliki 400 – 500 pohon karet. Bahkan ada warga Delang yang memiliki pohon karet sampai 2.500 batang. Berikut adalah perbandingan perhitungan ekonomi antara karet dan sawit, masing-masing dalam lahan seluas dua hektar:
A.1 kapling sawit (2 hektar)
- Jumlah pohon : 274 batang
- Produksi per pohon: 1 pohon dalam satu bulan dipanen dua kali, dengan produksi buah rata-rata 80 kg per bulan, dengan harga jual Rp 1000/kg
- Nilai ekonomi sawit per pohon: 80 X Rp 1.000 = Rp 80.000/bulan
- Total nilai ekonomi sawit per kapling: Rp 80.000 X 274 = Rp 21.920.000/bulan
B.1 kapling karet (2 hektar)
- Jumlah pohon : 1.000 batang
- Produksi per pohon: 1 pohon bisa disadap maksimal 20 kali dalam sebulan, dengan produksi rata-rata 1 ons per pohon setiap kali sadap dengan harga jual Rp 10.000/kg
- Nilai ekonomi karet per pohon: Rp 10.000 X 0,1 X 20 = Rp 20.000/bulan
- Total nilai ekonomi karet per kapling: Rp 20.000 X 1000 = Rp 20.000.000/bulan
Perbandingan itu belum memperhitungkan biaya produksi dan intensitas pekerjaan. Sawit membutuhkan pemupukan dan pestisida. Untuk mendapatkan hasil yang tinggi, sawit perlu dipupuk minimal 3X setahun. Belum lagi biaya pestisida dan biaya tenaga kerja untuk pemanenan, pemupukan, penyemprotan, pembersihan lahan, pengangkutan, dan biaya lainnya. Untuk menanam sawit dengan sistem plasma memang bibit tidak membeli, namun biasanya kualitas bibit yang diterima petani plasma tidak sebaik kualitas bibit yang ditanam oleh pihak perkebunan sawit. Akibatnya, produksi buah sawit juga tidak setinggi sebagaimana perhitungan di atas. Informasi yang mereka terima dari petani plasma di desa lain menyatakan, hasil yang diterima petani plasma dalam setiap bulannya paling tinggi hanya tiga sampai empat juta rupiah. Sementara karet tidak banyak membutuhkan biaya karena bisa dikerjakan sendiri, bibit juga tidak beli, dan tidak membutuhkan biaya perawatan.
Selain nilai ekonominya yang lebih rendah dari karet, umur pohon sawit juga terbatas sampai paling tinggi 25 tahun dan pohon harus diganti. Sementara karet – terutama karet alam umurnya bisa mencapai ratusan tahun. Kalau menggunakan karet okulasi (karet unggul) umurnya bisa mencapai 30 tahun. Sawit sudah bisa dipanen di usia 3-4 tahun, sementara karet baru bisa disadap pada umur 6-7 tahun. Hanya saja, tanpa pemupukan sawit tidak bisa berproduksi. Sedangkan karet bisa terus menghasilkan tanpa dipupuk dan dirawat.
Dengan tidak memilih sawit, masyarakat Delang memiliki beragam sumber ekonomi. Bukan hanya dari karet dan padi ladang, tetapi juga dari hasil kebun dan hasil hutan. Pada musim buah, misalnya, setiap hari minimal warga mendapatkan 30-40 buah durian dengan harga Rp 5.000 – 10.000 per butir. Belum lagi dari buah-buah lain seperti langsat, manggis, cempedak, dan lainnya. Selain buah, hasil kebun lain yang nilai ekonominya tinggi adalah jengkol. Sekali panen warga bisa memperoleh 50 – 60 kg buah jengkol dengan harga Rp 15.000/kg. Saat musim jengkol, masyarakat Delang bisa mengirim jengkol ke daerah lain sampai 20 ton setiap harinya. Ini baru bicara hasil kebun. Belum lagi hasil dari hutan, seperti buah, madu, dan lainnya.
Meskipun masyarakat Delang sudah bersepakat untuk mempertahankan wilayah mereka dari serbuan investasi tambang dan sawit, namun perjuangan mereka tidaklah bebas dari tantangan. Kepala desa dan tokoh adat setempat berulangkali didatangi pihak perusahaan sawit yang mencoba untuk berinvestasi di daerah mereka. Pada mereka ditawarkan posisi di perkebunan sawit, mobil, rumah, dan lapangan kerja bagi warga. Ada juga kepala desa yang ditawari uang cash sebesar Rp 50 juta dan ada yang ditawari mobil ranger (strada) yang siap diantar langsung ke rumah apabila menerima kehadiran sawit. Bujukan untuk menerima sawit datang setiap saat. Pernah juga anggota DPR dari provinsi datang ke desa mereka untuk menawarkan sawit. Namun sampai saat ini para tokoh adat dan kepala desa tetap bertahan dengan kesepakatan yang sudah mereka buat. Mereka mengaku tidak mau menjilat ludah mereka sendiri. Bahkan tokoh adat setempat memutuskan untuk menolak bekerja di kebun sawit. Menurutnya, bagaimana mungkin mereka menyatakan menolak kehadiran sawit sementara mereka sendiri bekerja di perkebunan sawit. Mereka menyadari bahwa dengan kondisi pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki warga sekarang, menerima sawit hanya akan menjadikan warga tersingkir dari tanahnya sendiri.
Kini masyarakat Delang berharap, pemerintah Kabupaten Lamandau benar-benar memperhatikan aspirasi masyarakat dengan tetap mempertahankan Delang sebagai daerah penyangga dan daerah wisata alam, wisata adat dan budaya. Dengan itu, masyarakat Delang akan tetap menjadi tuan di tanah sendiri sekaligus mempertahankan sistem adat dan budaya warisan leluhur. (Sri Palupi)
No comments:
Post a Comment