30 Agustus 2014
DI BAWAH INI adalah foto kebun karet milik PT Sandabi Indah Lestari (SIL) yang adadi desa Janah Jari, kecamatan Awang, kabupaten Barito Timur,
Kalimantan Tengah. Kebun karet ini bukanlah kebun karet biasa. Ia
menyimpan narasi tentang peristiwa berdarah yang merenggut nyawa warga.
Kehadiran kebun karet ini merampas tak kurang dari 220 hektar tanah
ulayat desa Janah Jari. Belum terhitung lahan individu dan lahan
keluarga. Perjuangan warga desa untuk mempertahankan tanahnya membuat
empat orang kehilangan nyawa. Dua di antaranya dibunuh secara sadis oleh
orang-orang yang bekerja untuk perusahaan. Konflik antara perusahaan
dan warga masih berlanjut sampai sekarang. Tak ada penyelesaian yang
memberikan keadilan bagi warga. Beberapa waktu lalu warga desa Janah
Jari dipanggil polisi karena aktivitasnya dinilai mengganggu pihak
perkebunan.Sebelum dikuasai PT SIL, ijin operasional perkebunan karet dulunya dimiliki PT Hasfarms, yang merupakan anak perusahaan dari PT Hasfarm International – perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan (karet, sawit, kakao, kopi, teh, dan lainnya) dan pengolahan hasil kebun. Pasca peristiwa berdarah di tahun 1993, perkebunan karet itu dikelola PT Polymers yang masih satu grup dengan PT Hasfarm. Dari PT Hasfarm perkebunan itu kemudian diambil alih oleh PT Sandabi Indah Lestari (SIL). Aku belum tahu adakah relasi antara PT Hasfarm International Corp dengan PT SIL.
Peristiwa berdarah di perkebunan karet itu terjadi pada Oktober 1993. Tanggal pastinya sudah tak diingat lagi oleh warga. Peristiwanya berawal dari protes warga atas pengambilalihan lahan oleh PT Hasfarm. Tanpa menghiraukan protes warga, pihak PT Hasfarm tetap mengerahkan alat berat untuk mempercepat penggarapan dan penanaman karet. Tak ada dialog dengan warga, tak ada pula ganti rugi. Hak warga atas lahan individu, lahan keluarga, dan tanah ulayat sama sekali tak diakui. Saat itu perusahaan juga membayar tentara untuk mengamankan kegiatan perusahaan. Ketika warga tengah bekerja di kebun, di saat yang sama alat berat merusak dan menghancurkan kebun-kebun mereka.
Seorang bapak – sebut saja Kanis, dan dua anak lelakinya, pada Oktober 1993 itu tengah bekerja di kebun. Ia menyaksikan bagaimana pihak perusahaan melakukan aktivitas garap tanam di area kebun miliknya. Kanis menegur para pekerja perusahaan agar menghentikan aktivitas garap tanam di lahan miliknya. Bukannya mundur, orang dari pihak perusahaan justru menantang warga. Arogansi orang-orang perusahaan ini membuat warga marah. Apalagi pada saat itu warga sudah dibuat kesal dengan perilaku para karyawan perusahaan yang seenaknya mengambil ayam, babi, dan hasil kebun milik warga tanpa seijin pemiliknya. Pada akhirnya terjadi kontak fisik antara warga dengan pihak pekerja perkebunan. Akibat kontak fisik ini, dua orang karyawan perusahaan terluka.
Terlukanya dua karyawan itu berbuntut panjang. Esok harinya para karyawan perusahaan melakukan penyerbuan. Warga mengaku, ada dua kelompok penyerbu dari pihak perusahaan. Satu kelompok menyerbu rumah Kanis yang ada di desa Karang Langit, dan satu kelompok lagi menyerbu warga yang ada di kebun mereka. Meskipun kebun Kanis berada di desa Janah Jari, namun Kanis tinggal di desa Karang Langit. Untuk menunjukkan rumah Kanis, pimpinan proyek perusahaan menjemput paksa salah seorang warga – sebut saja Darson, warga desa Karang Langit yang bekerja sebagai mandor tanam di kebun karet. Pimpinan proyek tahu, Darson ada hubungan keluarga dengan Kanis. Sepanjang perjalanan para penyerang mengikat kaki dan tangan Darson agar ia tidak melarikan diri.
Pada saat para penyerang menyerbu rumah Kanis, di dalam rumah hanya ada istri Kanis yang lagi sakit bersama dua anak perempuannya. Para penyerang menggedor rumah Kanis dan meminta para penghuninya keluar. Mendengar teriakan dan sikap kasar orang-orang di luar, dua anak perempuan itu justru mengikat rapat-rapat pintu rumah mereka. Para penyerang kemudian membakar rumah Kanis. Ibu dan kedua anaknya berusaha memadamkan api dengan air yang ada di dalam rumah mereka. Ketika tak ada lagi air tersisa sementara api terus membakar rumah, istri Kanis menyuruh dua anaknya melompat dari jendela belakang dan lari ke hutan. Demi melindungi kedua anaknya, istri Kanis keluar melalui pintu depan. Para penyerang itu menangkap dan membunuhnya secara sadis. Lehernya digorok dan kakinya disayat.
Nasib serupa dialami Darson. Setelah menunjukkan rumah Kanis, para penyerang itu membunuh dan membuang mayatnya. Mayat Darson ditemukan dua hari kemudian dalam kondisi membusuk, leher digorok, kaki dan tangan terikat, dan tubuh penuh sayatan. Setelah melakukan penyerangan dan pembunuhan, para pelaku langsung meninggalkan area perkebunan dengan menggunakan truk perusahaan.
Terbunuhnya Darson dan istri Kanis membangkitkan kemarahan masyarakat desa Karang Langit. Mereka melakukan penyerangan pada para pekerja dan karyawan perusahaan. Akibatnya, dua karyawan perusahaan kehilangan nyawa. Sementara dari pihak warga ada beberapa yang terluka, salah satunya adalah Kanis. Warga yang terluka ini dibawa ke rumah sakit. Sementara dirawat di rumah sakit, keberadaan warga ini dirahasiakan oleh tenaga medis setempat. Sebab ada orang-orang dari perusahaan yang mencari dan hendak membunuh mereka sebagai balas dendam atas kematian dua karyawan perusahaan.
Paska penyerangan, karyawan dan buruh PT Hasfarm yang dituduh melakukan pembunuhan ditangkap dan dipenjarakan. Demikian juga dengan Kanis dan beberapa warga desa yang dituduh menghilangkan nyawa dua karyawan perusahaan. Mereka menjalani hukuman tujuh tahun penjara. Pada warga desa yang keluarganya menjadi korban pembunuhan, pihak perusahaan hanya memberikan uang sebesar Rp 2 juta untuk membiayai pemakaman. Sementara pimpinan proyek yang menjemput paksa Darson dan memimpin penyerangan justru terbebas dari hukuman. Saat itu ia mendatangi istri Darson dan berjanji untuk membiayai sekolah kedua anaknya.
Kanis yang istrinya dibunuh dan tujuh tahun mendekam di penjara kini sudah meninggal. Tidak jelas bagaimana nasib anak-anak mereka. Warga hanya tahu, akibat peristiwa berdarah itu salah satu anak perempuan Kanis mengalami guncangan jiwa. Ia tidak mau lagi tinggal bersama masyarakat di desa. Ia menetap di hutan dan mengubah penampilan, dari sosok perempuan cantik berambut panjang menjadi sosok laki-laki berambut cepak dan berdada rata. Menurut warga setempat, ia mengikat dadanya sedemikian ketatnya hingga dadanya tidak bisa tumbuh sebagaimana perempuan pada umumnya. Bahkan suaranya pun sudah seperti laki-laki. “Sepertinya ia menyesal terlahir sebagai perempuan. Kalau saja ia laki-laki, ia akan bisa melindungi ibunya”, begitulah dugaan warga terkait perubahan yang terjadi pada anak perempuan Kanis.
Warga Janah Jari mengaku, paska peristiwa berdarah itu pengelola perkebunan berganti dari PT Hasfarm ke PT Polymers. Kini perkebunan karet itu dimiliki oleh PT Sandabi Indah Lestari. Pengelolaan perkebunan karet berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, namun tetap tak ada penyelesaian atas hak warga yang diambil alih pihak perusahaan. Pihak perusahaan tutup mata terhadap persoalan perampasan lahan. Meskipun warga sudah bersimbah darah dalam memperjuangkan lahannya, namun sampai sekarang hak warga atas lahan tak kunjung diakui. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena memberikan ijin HGU di atas lahan warga juga tak peduli dan abai terhadap kewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak warga.
Perampasan lahan dan pengabaian hak warga tidak hanya terjadi di desa Janah Jari, tetapi juga di desa-desa lain di wilayah Kalimantan Tengah dan di provinsi lainnya. Bisa dikatakan, di mana ada perusahaan yang ekspansif dalam menguasai lahan dan sumberdaya alam, di sana pula warga kehilangan hak untuk mengelola aset ekonomi mereka. Perampasan aset ekonomi rakyat masih terus berlangsung. Perampasan ini kian masif di era otonomi daerah dan bertambah masif lagi dengan dijalankannya agenda MP3EI. Wilayah Indonesia dikapling-kapling atas dasar kepentingan investasi tanpa memperhitungkan keberadaan warga dan komunitas. Atas nama pembangunan, pemerintah bukan hanya mengijinkan perampasan lahan, tetapi juga menempatkan diri sebagai “satpam” perusahaan yang sewaktu-waktu bisa memanggil dan menangkap warga yang dinilai mengganggu aktivitas perusahaan. Bahkan pemerintah masih suka memberi cap “komunis” pada warga dan komunitas yang mempertahankan atau memperjuangkan tanah-tanah mereka. Era Soeharto memang sudah lewat, tapi cara-cara Soeharto masih dipakai dan dirawat.*** (sri palupi)
No comments:
Post a Comment