Padahal, Malin Kundang yang sesungguhnya adalah koalisi partai yang tengah berkonspirasi membungkam suara rakyat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Betapa tidak. Rakyatlah yang mengangkat mereka sebagai anggota DPR. Suara rakyat yang membuat mereka bisa menikmati fasilitas dan kemewahan sebagai wakil rakyat. Ironisnya, mereka kini hendak mencabut hak politik rakyat dalam menentukan kepala daerah.
Bukan hanya dalam kebijakan pilkada para politisi berlaku bak Malin Kundang. Selama ini mayoritas politisi, pejabat, dan penguasa di pusat dan daerah menjalankan politik Malin Kundang. Segera setelah dilantik mereka mengingkari kepentingan rakyat dan bersekutu merampas hak-hak rakyat.
Perilaku Malin Kundang kebanyakan politisi di lembaga legislatif bisa dinilai dari korupsi dan demoralisasi yang kian menggejala. Juga tingginya kesenjangan kinerja dan gaji serta fasilitas yang mereka dapatkan. Keputusan politik mereka cenderung menjauh dari kepentingan rakyat.
Gaji besar dan banyaknya fasilitas yang diterima anggota DPR tak sebanding dengan kinerja mereka. Hasil penelitian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia tahun 2014 menunjukkan, 435 (83,3 persen) anggota Dewan berkinerja buruk. Ini terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya 90 persen target legislasi meleset, banyaknya produk undang-undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, banyaknya anggota Dewan yang terlibat korupsi, serta kapasitas dan tingkat kehadiran yang rendah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat, 69,7 persen anggota Dewan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Dengan kinerja serendah itu, tidak heran kalau di mata rakyat citra anggota DPR terus merosot. Indonesia Network Election Survey (INES) dalam surveinya pada 2013 mencatat, masyarakat menilai 89,3 persen anggota DPR tukang bohong dan tidak jujur, 87,3 persen berperilaku korup, dan 78,6 persen malas mengikuti sidang. Belum lagi banyak anggota DPR yang tertangkap kamera tengah tertidur pulas di saat sidang dan ditemukannya kondom yang berserakan di area Gedung DPR.
Fasilitas yang diterima anggota Dewan kian meningkat, tetapi kinerja justru merosot. Pada periode 1999-2004 tak banyak anggota DPR yang memiliki staf ahli dan asisten. Sekarang, setiap anggota Dewan didampingi dua staf ahli dan seorang asisten. Namun, kinerja DPR jauh di bawah target. Pembahasan RUU Perlindungan TKI, misalnya, sudah berlangsung tiga tahun, tetapi belum juga selesai.
Mayoritas fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih hendak mengembalikan pilkada ke DPRD. Alasannya, pilkada langsung biayanya mahal, memicu konflik horizontal, politik uang, dan sebagainya. Apabila dikaji lebih lanjut, sikap menolak pilkada langsung dengan berbagai alasan justru membongkar borok partai. Sikap itu kian mempertegas politik Malin Kundang yang dimainkan partai dan kadernya. Mengapa?
Pertama, mengembalikan pilkada pada DPRD merupakan pengkhianatan terhadap reformasi. Salah satu inti semangat reformasi adalah mendorong demokratisasi secara substansial diikuti dengan perbaikan prosedurnya. Semangat ini melahirkan pemilihan presiden langsung yang memperkuat sistem presidensial dan mengembalikan kedaulatan rakyat dengan memperluas partisipasi politik rakyat. Semangat itu pula yang melahirkan otonomi daerah dan pilkada langsung.
Kedua, mengembalikan pilkada pada DPRD dengan alasan biaya tinggi, politik uang, dan konflik horizontal merupakan pengakuan partai akan borok mereka. Dengan mengajukan alasan ”biaya tinggi”, mereka mencampuradukkan antara biaya penyelenggaraan pilkada dan biaya yang dikeluarkan politisi yang berkompetisi dalam pilkada. Biaya penyelenggaraan pilkada bisa diminimalkan dengan regulasi dan sistem yang lebih baik. Sistem pilkada serentak menjadi salah satu solusi. Sementara klaim ”biaya tinggi” merupakan pengakuan akan biaya ekstra yang dikeluarkan calon kepala daerah dalam pilkada. Biaya ekstra yang tinggi ini terjadi karena politik uang.
Lemahnya kerja politik parpol di tengah masyarakat membuat mereka menempuh jalan pintas dengan menyuap rakyat. Selain itu, partai cenderung mewajibkan calon kepala daerah untuk membayar ”upeti” jika menggunakan parpol sebagai kendaraan politik. Akibatnya, korupsi dan bagi-bagi proyek dilakukan kepala daerah terpilih untuk membayar utang. Padahal, tidak sedikit kepala daerah yang berasal dari rakyat mampu meraih suara tanpa harus menyuap rakyat.
Persoalan muncul ketika calon kepala daerah gagal meraih suara. Mereka kemudian membuat siasat dan mengadu domba rakyat. Itulah mengapa konflik yang muncul selama pilkada cenderung elitis dan bukan konfliknya rakyat.
Mengembalikan pilkada kepada DPRD tidak menjamin biaya politik berkurang. Yang terjadi, politik uang justru lebih mudah dilakukan kepada DPRD dibandingkan dengan kepada rakyat. Bahkan biaya politik pilkada oleh DPRD bisa lebih besar ketika kepala daerah sibuk mengurus DPRD yang memilihnya, aktivitas kepala daerah direcoki DPRD karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD.
Ketiga, usulan mengembalikan pilkada kepada DPRD sarat kepentingan. Dengan itu, akan sangat mudah bagi partai koalisi meraih posisi kepala daerah. Hal itu karena partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menguasai mayoritas DPRD di seluruh Indonesia.
Keempat, mengembalikan pilkada kepada DPRD merupakan hukuman terhadap rakyat. Yang korupsi dan menghamburkan anggaran adalah DPR dan penguasa, yang melakukan politik uang partai dan politisinya, dan yang memicu konflik para elite, tetapi kenapa rakyat yang dihukum dan dicabut hak politiknya?
Sulit dimungkiri, keputusan Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD tak terlepas dari pertarungan dalam pilpres. Mereka menyadari telah dikalahkan oleh rakyat dan kini mereka hendak menghukum rakyat dengan mencabut kedaulatannya. Dengan itu, rakyat sebagai ibu tak kuasa lagi mengutuk Malin Kundang menjadi batu.
Sri Palupi
Peneliti Institute Ecosoc
sumber, Opini Kompas, SABTU, 20 SEPTEMBER 2014
sumber, Opini Kompas, SABTU, 20 SEPTEMBER 2014
No comments:
Post a Comment