Persoalannya, dalam memilih solusi presiden mengabaikan kenyataan bahwa antara darurat narkoba dan hukuman mati ada jurang tanpa jembatan. Apa implikasinya jika tidak ada jembatan?
Tanpa jembatan, implikasinya adalah bahwa hukuman mati tak berdampak pada berkurangnya kejahatan. Hukuman itu hanya akan meningkatkan banyaknya manusia yang kehilangan nyawa akibat penggunaan narkoba atau dieksekusi mati. Betapa tidak. Satu hal yang menjembatani masalah darurat narkoba dan solusi hukuman mati tak dipersoalkan.
Satu hal itu adalah pihak yang memutuskan siapa saja yang pantas dihukum mati, yaitu penegak hukum. Dalam hal ini Indonesia – diakui atau tidak – punya persoalan terkait integritas para penegak hukum. Padahal pemberantasan narkoba pertama-tama mengandaikan adanya aparat penegak hukum yang bersih dan sistem peradilan bebas mafia. Tanpa terpenuhinya prasyarat ini, hukuman mati hanya akan menjadi tindakan penghilangan nyawa yang tak berdampak pada berkurangnya korban akibat penggunaan narkoba. Bahkan hukuman mati bisa menempatkan pemerintah Indonesia sebagai pelaku pelanggaran konvensi anti penyiksaan yang sudah diratifikasi Indonesia.
Problem Integritas
Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, penolakan grasi dan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba dimaksudkan untuk memberi pesan, Indonesia tidak main-main dalam memberantas narkoba. Namun berbagai fakta terkait penegakan hukum dalam kasus narkoba menimbulkan keraguan bahwa pemerintah serius memerangi narkoba. Betapa tidak. Beberapa saat menjelang eksekusi enam terpidana mati kasus narkoba, lima polisi aktif yang berperan sebagai bandar dan pengedar narkoba ditangkap. Anehnya, pada mereka tidak dikenakan hukuman mati melainkan pidana penjara maksimal 20 tahun. Sementara Rani, yang dikenal sebagai kurir, dijatuhi hukuman mati karena tak mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi. Padahal bos Rani justru bebas dari eksekusi mati karena mendapatkan grasi dari Presiden SBY.
Di saat pemerintah gencar menerapkan hukuman mati terhadap kejahatan yang dinilai merusak bangsa, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly membuat pernyataan yang menyetujui hukuman mati hanya pada kasus narkoba dan bukan pada kasus korupsi. Alasannya, kasus narkoba dampaknya lebih masif. Logika ini merujuk pada cara pandang yang meletakkan masalah darurat narkoba terlepas dari persoalan korupsi.
Kenyataannya, darurat narkoba berakar pada darurat korupsi. Maraknya kasus korupsi, termasuk dalam penegakan hukum, membuat Indonesia menghadapi problem rendahnya integritas penegakan hukum. Ini terlihat, misalnya, dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial pada 2007 yang menyimpulkan, hampir 50 persen polisi menjadi beking bandar narkoba dan perjudian. Sekadar contoh, kasus pabrik pil ekstasi berskala internasional di Cikande, Banten, melibatkan dua perwira kepolisian.
Dengan rendahnya integritas penegakan hukum tak heran bila bandar dan produsen narkoba seperti Hengky Gunawan bisa terbebas dari hukuman mati dan Liong Liong bahkan bisa terbebas dari penjara. Karena bekingan polisi, “Monas” , pemilik satu juta pil ekstasi bisa berubah kasusnya menjadi kepemilikan 1,5 gram sabu dan hanya dihukum satu tahun penjara. Sementara Cece yang ditangkap polisi tanpa barang bukti justru dijatuhi hukuman mati.
Rendahnya integritas penegakan hukum potensial melahirkan berbagai bentuk pengadilan sesat yang bisa menjadikan siapa saja, terutama yang lemah, sebagai korban rekayasa, salah tangkap, salah hukum, dan salah eksekusi mati. Kasus semacam Sengkon dan Karta sampai kini masih terus terjadi dalam berbagai bentuknya. Di tangan penegak hukum yang korup, kewenangan memutus hukuman mati bisa dijadikan sebagai alat melindungi penjahat kakap. Dalam kondisi demikian, menerapkan hukuman mati sebagai solusi bukanlah tindakan tegas melainkan tindakan penghilangan nyawa yang potensial melahirkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin penegak hukum yang integritasnya diragukan diberi kewenangan memutuskan siapa yang dihukum mati? Penegak hukum yang bersih saja masih bisa melakukan kesalahan, apalagi yang integritasnya diragukan. Ketika ada kesalahan dalam penetapan hukuman mati, bagaimana pemerintah bisa memulihkan hak korban yang telah mati?
Penyiksaan
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Bahkan Konstitusi pasal 28I menegaskan pengakuan akan hak untuk tidak disiksa sebagai salah satu hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meski demikian, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sarat dengan penyiksaan dan tak sesuai dengan panduan pelaksanaan hukuman mati yang dikeluarkan PBB.
Pada 1984 PBB mengeluarkan panduan tentang “Jaminan Perlindungan Bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati”. Isi dari panduan itu, di antaranya: 1) Di negara yang belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi kejahatan yang sangat keji; 2) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan, pada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan, dan orang yang mengalami cacat mental/ gila; 3) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan dengan keputusan hukum yang final melalui persidangan yang kompeten dan menjamin prinsip fair trial; 4) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati, apa pun kejahatannya, berhak mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman; 5) Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan.
Selain Panduan PBB terkait pelaksanaan hukuman mati, Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU.-V/2007 tentang pelaksanaan eksekusi terpidana mati juga menekankan tentang pentingnya memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukanlah merupakan pidana pokok melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan. Apabila terpidana berkelakuan terpuji, hukuman bagi terpidana dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan yang sedang hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa sembuh.
Memperhatikan Panduan PBB dan Keputusan MK tersebut, setidaknya ada empat persoalan besar yang dihadapi terpidana mati di Indonesia, yaitu terpenuhinya hak mendapatkan akses atas pengadilan yang fair, hak untuk diperlakukan sebagai pribadi di hadapan hukum, hak bagi penderita gangguan jiwa untuk tidak dieksekusi dan hak untuk tidak disiksa. Rendahnya integritas penegakan hukum di Indonesia membuat terpidana mati rentan menjadi korban pengadilan sesat. Akibatnya, hukuman yang mereka terima tak setimpal dengan kejahatannya atau bahkan dipaksa menanggung kejahatan orang lain.
Di hadapan hukum, terpidana mati tidak dipandang sebagai pribadi. Lihatlah bagaimana sikap Jaksa Agung HM Prasetyo yang memandang 60-an manusia berstatus terpidana mati sebagai “stok”, yang pantas dikenakan pada barang/ternak. Tak heran bila pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sarat penyiksaan. Sebab terpidana mati bukanlah manusia.
Penyiksaan dialami terpidana mati dalam berbagai bentuk. Vonis hukuman mati itu sendiri, menurut para ahli, berdampak pada rusaknya otak. Orang menjadi tegang dan depresi. Puluhan tahun mereka menanti eksekusi, hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian, hingga beberapa di antaranya menjadi gila. Puncak penderitaan terjadi menjelang dan saat eksekusi.
Terpidana mati de facto dijatuhi tiga hukuman sekaligus. Pertama, mereka rata-rata dipenjara lebih dari 20 tahun. Kedua, mereka menjalani hukuman seumur hidup. Ketiga, mereka menjalani penyiksaan saat eksekusi mati. Terpidana mati yang puluhan tahun bertobat dan hidup dengan baik, tetap dieksekusi. Bahkan yang secara medis sudah dinyatakan “gila” tetap ditembak mati. Padahal hukuman mati tak boleh diterapkan pada mereka yang terganggu mentalnya atau gila. Penyiksaan terlihat jelas saat eksekusi. Tiga peluru tajam yang ditargetkan merobek jantung, tidak selalu membuat terpidana mati dengan cepat. Bahkan ada terpidana yang baru mati setelah 30 menit berkelejotan akibat timah panas yang merobek tubuhnya.
Penyiksaan dirasa semakin dalam ketika terpidana mati dipaksa menghadapi eksekusi mati tanpa didampingi pendamping rohani, sebagaimana dialami Marco, terpidana mati asal Brasil. Sebagai penganut Katolik, Marco yang belum lama ini dieksekusi tidak didampingi pastor yang bisa memberinya “sakramen terakhir”. Ini terjadi karena pihak kejaksaan agung tidak memberikan ijin pada pastor yang hendak mendampinginya. Menghadapi ajal tanpa menerima sakramen terakhir bagi penganut Katolik merupakan penderitaan tak tertanggungkan. Sayang, jaksa agung tak peduli pada hak terpidana mati. (Sri Palupi)
No comments:
Post a Comment