03 December 2015

Orang Muda yang Menghijaukan Lembata

Orang muda itu adalah Fransiskus Marselinus Batan Liarian, 35 tahun, asal Buriwutun, Kedang, kabupaten Lembata, NTT. Ia biasa dipanggil Linus. Anak pertama dari tiga bersaudara ini sudah menikah dan memiliki tiga anak perempuan. Ia kini tinggal di Lamahora, Lewoleba, ibukota kabupaten Lembata. Namanya tercatat sebagai salah satu nomine penerima Trubus Kusala Swadaya tahun 2015 – sebuah penghargaan yang diberikan Lembaga Bina Swadaya untuk para pelaku kewirausahaan sosial. Sebagai wirausahawan sosial, Linus menjalankan bisnis pembibitan tanaman sekaligus melakukan berbagai upaya untuk menghijaukan kampung halamannya, Lembata. Apa kunci keberhasilannya?


Apa yang dikerjakan dan dilakukan Linus untuk kampung halamannya tak terlepas dari latar belakang orang tuanya. Linus berasal dari keluarga miskin. Bapanya yang hanya lulusan SD bekerja sebagai PNS di Dinas Pertanian dan Kehutanan. Sebagai PNS, bapanya selalu ditugaskan di kecamatan-kecamatan terpencil di Lembata untuk mendampingi para petani dalam menjalankan proyek-proyek penghijauan yang dilakukan pemerintah. Sejak kecil Linus memperhatikan bagaimana bapanya bekerja menanam dan merawat bibit-bibit kayu untuk penghijauan. Pekerjaan menanam dan merawat bibit yang dilakukan bapanya telah membentuk Linus menjadi pecinta lingkungan. 

Sepotong Kisah di Perantauan
Selepas lulus SMK, Linus memutuskan untuk merantau ke Kalimantan Barat. Kebetulan di sana ada kakak sepupunya yang bekerja sebagai mandor di sebuah perusahaan HPH. Sebagai mandor, kakak sepupunya bisa dengan mudah memasukkannya sebagai buruh di perusahaan itu. Bersama kakak sepupunya, Linus setiap hari bekerja membuka hutan dan menumbangkan kayu-kayu dengan bantuan alat berat. Ia menyaksikan bagaimana hutan dibabat habis tanpa pandang bulu. Kayu-kayu yang besar dan berkualitas bagus dikirim ke Malaysia. Sementara kayu-kayu yang kurang bagus dibakar. Ia mengaku, setiap hari melihat puluhan hektar hutan dibabat untuk diambil kayunya dan kemudian dibakar untuk dijadikan perkebunan sawit.

Menyaksikan bagaimana perusahaan pembalakan itu membabat dan membakar hutan seluas puluhan hektar setiap harinya, perasaan Linus sungguh tertekan. Ia membayangkan bagaimana kalau hal seperti itu terjadi di Lembata. Dalam sehari pastilah Lembata akan hancur. Kala itu ia merasa, pekerjaannya membabat hutan sungguh bertentangan dengan ajaran leluhur. Dari bapanya ia mendengar, leluhur rakyat Lembata mengajarkan untuk menjaga hutan. Tak tahan lagi melihat kayu-kayu besar ditumbangkan, akhirnya ia menyampaikan kegelisahannya pada sang kakak, “Hai kak, kerja yang begini tidak boleh. Nenek moyang tidak suka lihat kita kerja tebang-tebang hutan begini. Ini kerja kejahatan, leluhur tak suka.” Setelah tiga tahun melakukan kerja membalak hutan, ia mengajak kakaknya meninggalkan pekerjaan semacam itu. Sang kakak memilih bertahan dengan pekerjaannya, sementara Linus memutuskan untuk kembali ke kampungnya, Lembata.

Dari Ojek ke Pembibitan
Setiba di kampung, Linus menghitung uang yang ia bisa kumpulkan selama tiga tahun bekerja di Kalimantan. Dari hasil kerjanya ini ia membeli 10 motor dengan cara kredit dan mulai menjalankan usaha ojek. Selain bekerja sebagai tukang ojek, Linus juga menyewakan motor untuk ojek dengan sistem setoran. Selain usaha ojek, ia juga beternak kambing benggala.

Usaha ojek lagi ramai-ramainya kala itu. Penghasilan dari ojek sebenarnya bagus. Namun sayangnya pengelolaan hasil kerja ojek tidak bagus. Para penyewa tidak lancar dalam membayar setoran dan dalam pemeliharaan motor. Akhirnya ia memutuskan untuk menjual semua motor ojeknya. Hasil penjualan itu ia pakai untuk membuat rumah di atas tanah warisan orang tuanya. Ia berharap, saat menikah nanti sudah memiliki rumah sendiri.

Setelah menikah ia memutuskan untuk tidak bekerja supaya nantinya bisa menjaga anak. Sebab istrinya sudah bekerja sebagai PNS. Kalau ia juga bekerja di luar rumah, maka tidak ada lagi yang menjaga anaknya. Ia memilih untuk tidak bekerja agar bisa mengurus sendiri anak-anaknya. Ia tidak ingin anak-anaknya diurus orang lain, meskipun orang itu saudara atau orang tua sendiri. Ia ingin anak-anaknya dididik oleh orang tuanya sendiri.

Setelah istrinya hamil, Linus memutuskan untuk memulai usaha pembibitan. Di kebun pembibitan – yang ia namai “Sheril Green” – ia bibitkan berbagai macam tanaman kayu, bunga dan buah-buahan. Biji-biji tanaman yang jadi bahan pembibitan ia ambil dari biji-biji yang jatuh dari pohon induk yang ada di kebun pemerintah dan juga dari tanaman-taman lokal yang tumbuh di Lembata. Selain menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang ia dapatkan dari bapanya, ia juga melakukan berbagai percobaan untuk mendapatkan bibit berkualitas. Di kebun pembibitannya tersedia berbagai rupa bibit tanaman, seperti jati, cendana, trembesi, ipi, mahoni, nimba; berbagai jenis palem, cemara India; bibit buah seperti rambutan, kelengkeng, jeruk sitrun, berbagai bibit sayuran (terong, tomat, kacang panjang dan lainnya) dan bibit tanaman lainnya. Ia kini tengah mencari bibit tanaman kapas lokal, yang selama ini menjadi bahan baku untuk membuat tenun ikat. Kapas lokal semakin sulit didapatkan di Lembata.

Menghijaukan Lembata
Selain menjalankan usaha pembibitan, Linus juga berpikir tentang menghijaukan Lembata. Upaya menghijaukan Lembata ia mulai dari kebun sendiri. Kebunnya yang tidak terlalu luas sudah ia tanami dengan pohon jati. Sementara di sekitarnya Linus melihat ada banyak kebun kosong yang dibiarkan tertidur. Banyak petani yang memiliki lahan luas namun lahan itu hanya ditanami sebagian saja karena pemiliknya sibuk mencari pekerjaan lain. Akibatnya, banyak lahan dibiarkan terlantar. Ia juga melihat ada banyak lahan kritis, yang membuat Lembata semakin kerontang di saat kemarau. Dari melihat banyaknya lahan tidur, Linus mendapatkan ide untuk menanam jati di lahan-lahan kosong milik tetangganya dengan sistem bagi hasil.

Tanam kayu dengan sistem bagi hasil ia mulai tahun 2005. Sebagai langkah awal ia bertanam jati di lahan seluas 1 hektar milik tetangganya. Lahan satu hektar ini ia tanami dengan 1000 pohon jati lokal. Seluruh biaya penyiapan lahan, bibit, penanaman dan perawatan ditanggung sepenuhnya oleh Linus. Dengan sistem bagi hasil, pemilik lahan berhak atas 500 pohon jati yang ditanam. Kini pohon itu sudah berumur 5 tahun. Belum tahu kapan jati akan dipotong karena semakin lama dibiarkan tumbuh, jati akan semakin bagus kualitasnya dan semakin mahal harganya. Apalagi jati yang ia tanam adalah jati lokal. Sekarang ini Linus sudah bertanam jati lokal di lahan seluas 4 (empat) hektar, 3 (tiga) hektar di lahan bagi hasil dan satu hektar di lahannya sendiri.

Selain sistem bagi hasil, Linus juga menawarkan jasa penanaman jati berbiaya murah. Dengan membayar Rp 10 juta, pemilik lahan kosong sudah bisa mengubah lahan kosongnya seluas satu hektar menjadi hutan jati. Pemilik lahan tinggal terima beres. Dengan layanan ini ia berharap, akan banyak pemilik lahan kosong yang mau mengubah lahan tidurnya menjadi hutan jati yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Linus bukan hanya memanfaatkan lahan-lahan kosong. Ia juga mempekerjakan anak-anak muda putus sekolah dalam usaha pembibitan dan penanaman kayu jati dengan sistem bagi hasil. Anak-anak muda itu ia pekerjakan sebagai buruh harian dengan upah Rp 60 ribu – Rp 100 ribu per hari, tergantung jenis pekerjaannya. Mereka ini setiap hari bekerja mencari biji-biji dari pohon indukan, mencari plastik aqua untuk tanam bibit dan membolak balik kompos.

Untuk menghijaukan Lembata, Linus melakukan penanaman pohon bersama kelompok “Anak PAL” (Anak Peduli Alam Lembata), sekumpulan anak muda yang peduli pada alam Lembata. Ada sedikitnya 7 anak muda yang tergabung dalam kelompok ini dan terlibat dalam aksi nyata bertanam pohon demi menghijaukan Lembata. Bersama Anak PAL inilah Linus melakukan penanaman berbagai jenis pohon di jalur hijau, daerah aliran sungai, kantor-kantor pemerintah, sekolah-sekolah dan tempat umum lainnya. Seringkali kegiatan penanaman mereka lakukan pada malam hari agar tak ada orang yang melihatnya.

Setiap kali musim hujan tiba Linus gencar mengambil bibit dan menanamnya di tempat-tempat umum. Menurutnya, untuk kondisi seperti Lembata, tanam pohon tidak bisa ditunda-tunda. Kalau tanam ditunda-tunda bisa terlambat. Karena hujan di Lembata cuma tiga bulan. Bukan sembarang pohon yang ia tanam di tempat-tempat umum, melainkan pohon-pohon lokal yang sudah banyak ditumbang untuk proyek-proyek pemerintah, seperti pohon asam, pohon lontar, reo, dan lainnya. Ia melakukan semua ini karena ia merasakan Lembata yang semakin panas dan tak ada orang yang mau tanam pohon. Orang baru mau tanam kalau dibayar. Dengan menanam pohon lokal di tempat-tempat umum ia berharap, Lembata menjadi hijau dan pohon-pohon lokal kian lestari.

Untuk mendorong agar semakin banyak orang Lembata yang bertanam pohon, Linus juga memanfaatkan acara pertandingan bola untuk berbagi bibit gratis. Di setiap pertandingan bola, para penonton, pemain dan wasit mendapatkan bibit gratis dari Linus. Dalam hal ini Linus bekerjasama dengan kelompok pengurus pertandingan bola.

Pendek kata, banyak cara digunakan Linus untuk mendorong orang-orang mau bertanam pohon. Selain dengan tindakan nyata menanam pohon di tempat-tempat umum, menanam dengan sistem bagi hasil di lahan-lahan tidur dan membagikan bibit gratis, ia juga membuat orang-orang penasaran dengan pohon-pohon hasil okulasi yang ia buat. Misalnya, ia menanam mangga dengan okulasi beberapa jenis mangga, sehingga satu pohon mangga bisa menghasilan beragam jenis buah. Jadilah pohon mangganya aneh dan menarik perhatian orang saat berbuah. Keanehan itu menarik orang untuk datang, melihat dan kemudian berkeinginan untuk ikut menanam. Bagi mereka yang sudah membeli bibit tanaman, Linus juga memberikan insentif dalam bentuk 4 (empat) bibit gratis untuk setiap pembelian satu bibit tanaman. Dengan cara ini Linus membuat satu orang menanam lebih dari satu pohon.

Penghijauan yang dilalukan Linus untuk Lembata bukan sekadar penghijauan sebagaimana yang sering dilakukan pemerintah di daerahnya. Proyek penghijauan yang dibuat pemerintah di daerahnya seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan apakah tanaman penghijauannya memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Sementara apa yang dilakukan Linus bukan sekadar menghijaukan Lembata, tetapi juga membuat masyarakat mendapatkan manfaat langsung dari pohon-pohon yang mereka tanam. Dengan cara ini orang akan semakin tertarik untuk menanam.

Dukungan Energi dari Pohon
Berbagai upaya yang dilakukan Linus untuk menghijaukan Lembata membuatnya mendapatkan proyek dari pemerintah dalam bentuk pemesanan bibit-bibit untuk penghijauan. Bukan hanya itu. Aktivitasnya di bidang pembibitan dan penghijauan juga membuatnya mendapatkan tawaran untuk menjadi PNS. Namun tawaran ini dengan tegas ia tolak. Betapa pun sulitnya menjadi petani, ia memilih untuk tetap menjadi petani. Bukan petani biasa, tetapi petani profesional. Ia menyadari, menjadi petani benar-benar sulit. Tetapi ketika melihat tanaman yang ia tanam tumbuh besar, ada kepuasan yang tak bisa ia dapatkan bila bekerja sebagai PNS. Kecintaannya untuk menumbuhkan biji menjadi bibit dan merawatnya hingga menjadi pohon besar tak bisa ia tinggalkan.

Linus mengaku, awalnya tidaklah mudah untuk memulai usaha pembibitan dan mengajak orang-orang di sekitarnya untuk bertanam dan memanfaatkan lahan-lahan kosong yang mereka miliki. Tidak semua orang senang dengan berbagai upaya dan kegiatan yang ia lakukan. Ada saja orang-orang yang merasa iri dan terus berupaya untuk mengacaukan usahanya. Banyak sekali gangguan yang ia alami dari orang-orang yang tak suka dengan apa yang ia buat. Bahkan ada yang sudah merusak dan menghancurkan usaha pembibitannya dengan berbagai cara.

Setelah beberapa kali mengalami persoalan dengan orang-orang yang berusaha mengganggu dan menghentikan usaha pembibitannya, Linus merasa tak tahan lagi. Pergilah ia ke kebun yang sudah ia tanami jati dan bahkan sudah menjadi hutan jati. Di hutan jati inilah ia melontarkan keluh kesahnya. Sendirian ia berbicara pada pohon-pohon yang tumbuh berjajar. Pada pohon-pohon itu pula ia menyampaikan, “Kamu dulu cuma biji. Dari biji kamu kutanam dan kurawat sampai menjadi pohon dan kini kamu sudah menjadi hutan. Tapi giliran saya susah, kenapa saya tidak kamu tolong?. Bantulah agar orang-orang tidak iri padaku dan menyadari apa artinya menanam.” Linus mengaku, saat berkeluh kesah pada hutan ia bisa merasakan betapa pohon-pohon itu mendengarkan keluh kesahnya. “Saya merasa benar-benar didukung dan dibantu pohon-pohon yang saya tanam”, katanya. Terbukti, kini tak ada lagi yang mengganggu usaha pembibitannya.

Orang-orang juga semakin menyadari apa artinya menanam pohon. Semakin banyak orang yang mengikuti spiritnya dalam bertanam: TANAM SEKARANG, TANAM UNTUK INVESTASI, TANAM UNTUK KESELAMATAN BUMI. Linus masih terus dan akan terus membagikan bibit gratis sampai sekarang. Pembagian bibit gratis itu disertai dengan satu keyakinan bahwa alamlah yang memelihara masa depan kita. Bagi Linus, bertanam pohon adalah bagian dari iman. (sri palupi)***

No comments:

Post a Comment