27 June 2006

’Rumah Bulat’ Jadi Sumber Penyakit di Nusa Tenggara Timur?

Oleh Albert Buntoro

RUMAH BULAT merata digunakan oleh masyarakat Timor Tengah Selatan (TTS) di Nusa Tenggara Tmur (NTT). Ada banyak masalah kesehatan di balik rumah-rumah adat ini. Dampaknya negatif terhadap kesehatan. Tapi adat menghambat perbaikan situasi kesehatan. Apa sebenarnya rahasia di balik ’rumah bulat’, sehingga masyarakat tetap mempertahankannya?

TTS merupakan wilayah perbukitan dengan curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya di NTT. Ironisnya, kabupaten yang dikenal “sangat tahan pangan” ini warga masyarakatnya “jauh dari sehat”. Diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), malaria, dan penyakit kulit scabies adalah penyakit yang senantiasa menempati urutan teratas.

Masyarakat TTS masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan yang sangat dasar, yaitu makan dan minum. Sebagian lagi sudah berpikir tentang bagaimana melindungi tubuh dari panas dan hujan, serta memiliki rumah yang layak huni. Pendidikan bukan menjadi prioritas utama bagi masyarakat. Kemampuan baca-tulis menjadi langka. Menurut data Badan Pusat Statistik, mayoritas warga hanya lulus sekolah dasar. Bahkan jumlah warga yang tak sekolah cenderung lebih tinggi lagi.

Untuk sampai ke TTS kira-kira dibutuhkan waktu dua sampai tiga jam dengan mobil dari Kupang. Jika menggunakan bus umum diperlukan biaya Rp20.000 sekali jalan. Menjangkau daerah ini tidaklah sulit. Sebagian besar jalan utamanya sudah beraspal.

Sesekali di sebelah kiri dan kanan jalan akan terlihat rumah penduduk yang jaraknya saling berjauhan satu dari yang lain. Uniknya setiap keluarga memiliki dua jenis bangunan rumah. Bangunan pertama tampak lebih modern, berbentuk persegi dan terbuat dari kombinasi batu, papan dan seng. Bangunan kedua tampak seperti jamur merang jika dilihat dari ketinggian. Masyarakat menyebutnya sebagai Rumah Bulat, salah satu rumah adat yang masih dipertahankan.

Arsitektur dan Kegunaan Rumah Bulat

Dinding rumah bulat (umek bubu) melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter. Atapnya yang berbentuk seperti kepala jamur merang terbuat dari rumput alang-alang. Ujung alang-alangnya hampir menyentuh permukaan tanah. Dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu dan bambu. Pintunya setengah lonjong dengan ketinggian kurang satu meter. Untuk masuk orang dewasa harus membungkukkan badan terlebih dahulu.

Membangun rumah bulat tidaklah sukar. Biayanya bisa dijangkau oleh masyarakat, karena semua bahan dasarnya tersedia di hutan dan kebun. ”Untuk membuat atap alang-alang yang bisa menutupi seluruh rumah cukup dengan Rp250 ribu saja. Atap tersebut bisa bertahan kira-kira 10 tahunan,” jelas Simeon Selan, seorang petani dari kecamatan Polen, TTS, yang hanya memiliki luas lahan seperempat hektar dan pendapatan tak menentu.

Rumah bulat digunakan masyarakat untuk menyimpan jagung dengan cara digantung pada penyanggah atap dan dipanaskan dengan bara api agar tidak rusak dan kualitasnya tidak menurun. Selain sebagai lumbung pangan warga di kala musim paceklik, rumah bulat juga difungsikan sebagai dapur (umumnya digunakan kayu bakar) dan tempat penyimpanan perkakas rumah tangga. Dapat dikatakan rumah bulat ini sangat ekonomis, karena digunakan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga.

’Rumah Bulat’ Sumber Masalah

Dalam adat masyarakat Meto (atoin meto) yang merupakan masyarakat asli TTS, rumah bulat diasosiasikan dengan peranan perempuan dan sikap kerendahan hati. Berbeda dengan Lopo, bangunan khas lainnya yang juga terbuat dari bahan dasar rumput alang-alang dan bambu, tak berdinding (terbuka) dan beratap tinggi. Lopo dikaitkan dengan peranan laki-laki dan lambang perlindungan serta pengayoman terhadap penghuninya. Adat Meto juga menyebutkan bahwa zaman dahulu kala, setiap lelaki penakut akan dimasukkan ke dalam rumah bulat.

Seorang ibu, Yustina Mobanu, yang tinggal di desa Konbaki, kecamatan Polèn mengakui bahwa kelahiran keempat anaknya dilakukan di dalam rumah bulat dengan proses panggang. “Saat melahirkan saya dibantu mama angkat yang sudah pengalaman sebagai dukun di dalam rumah bulat,” ungkapnya polos. Ia juga menjelaskan, proses panggang ini dilakukannya selama 40 hari. Asap memenuhi seluruh ruang dalam rumah bulat. Sebab, kecuali untuk memasak dengan kayu bakar, keluarga ini juga menghangatkan tubuh ibu yang baru saja melahirkan dengan cara membuat bara api dan kemudian meletakkan arang panasnya di bawah kolong tempat tidur ibu yang baru saja melahirkan. Proses melahirkan juga dilakukan di tempat tidur itu.

Proses panggang dipercaya masyarakat menjadi penangkal dari sakit berat. Ada pula ketakutan dari para orang tua: jika proses ini tak dilakukan, kondisi badan anak akan lembek dan tak kuat, bahkan akan menyebabkan kegilaan pada si ibu.

Rumah bulat menjadi ciri khas adat dan budaya orang Timor yang masih dipertahankan sampai saat ini, padahal sebetulnya ia juga sumber persoalan. Sulit menemukan rumah bulat berjendela. Lubang angin pun tidak menjadi pertimbangan dalam membangun rumah bulat. Udara dan sinar matahari hanya bisa menerobos dari lubang-lubang kecil pada dinding-dinding bambu.

Sudah tak bisa dipungkiri lagi bahwa ada hubungan erat antara tingginya jumlah penderita gangguan pernafasan dengan penggunaan rumah bulat. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan TTS, persentase jumlah penderita ISPA meningkat; 17,1% (2002), 19,1% (2003) dan 26,1% (2004). Disebutkan pula, jumlah penderita ISPA 2004 sudah mencapai 120.480 jiwa.

Buruknya kondisi rumah bulat dan efeknya terhadap penyakit penafasan juga diakui oleh para dokter di beberapa puskesmas. “Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak, karena ada adat dan kebiasaan dari masyarakat di sini bahwa sebelum berumur 40 hari, anak tidak boleh keluar dari rumah bulat,” jelas Dr. Yusni Simbolon, kepala Puskesmas di kecamatan Amanuban Barat. Dr. Suryowati, Kepala Puskesmas di kecamatan Polen yang lebih menyoroti pada proses kelahiran, juga berpendapat serupa. Dia menjelaskan bahwa kebiasaan masyarakat yang mengharuskan perempuan melahirkan di dalam rumah bulat yang penuh debu dari tungku dan asap akan menyebabkan bayi dan ibunya mudah terkena ISPA.

Sulitnya Mengubah Perilaku

Untuk mengatasi masalah kesehatan di TTS, diperlukan perubahan pola perilaku masyarakat. Usaha mengubah sudah pernah dilakukan dinas kesehatan kabupaten bekerja sama dengan puskesmas setempat dalam bentuk pelatihan. Sayangnya, kegiatan ini tak menghasilkan perubahan perilaku hidup masyarakat. Dalam sebuah acara pelatihan, Dr. Suryowati menasihati warga masyarakat agar orangtua memberi makanan bergizi dan empat sehat lima sempurna untuk anak-anak mereka. Tapi dokter itu justru dibantah oleh masyarakat. “Ibu dokter, (meskipun) dari kecil kita (hanya) makan jagung kosong saja, bisa besar dan punya anak. Yang penting besar dan hidup,” kata Dr. Suryowati dengan kesal, ketika menirukan bantahan para peserta pelatihan.

Tampaknya sikap tertutup masyarakat terhadap pembaharuan yang datang dari luar sudah sangat ‘berurat berakar’. Masyarakat sangat lekat dengan kebudayaan dan kebiasaan yang sudah lama dipercaya. Pihak-pihak yang punya pengaruh dan menjadi panutan masyarakat seperti tetua adat bersikap sangat tertutup. Rumah bulat dipercaya menjadi ekspresi budaya setempat.

Pendekatan personal berupa himbauan maupun larangan juga sempat dilakukan kepada warga, bahkan kepada tetua adat. Namun tetap saja tidak membuahkan hasil yang lebih baik. Dr. Suryowati mengaku telah berkali-kali menegur perempuan agar jangan melahirkan di dalam rumah bulat. Tapi mereka tak memedulikannya. Kepada tetua adat, dokter asal Jakarta itu juga sudah menyampaikan himbauannya. “Susahnya masyarakat (hanya) mau dengar, kalau ketua adat yang bilang. Tetapi kalau kita ngomong sama ketua adat, ketua adatnya juga tidak mendengar,” tambahnya lagi.

Kisah dokter itu melukiskan adanya pertentangan kepentingan antara adat dan kesehatan yang tak terlerai sampai sekarang. Barangkali kita tak akan heran, jika demikian sulitnya mengubah perilaku dan kepercayaan masyarakat, maka akan terus-menerus jatuh korban-korban perempuan dan anak-anak. Seorang bidan di desa Konbaki, kecamatan Polen mengaku bahwa selama ini juga belum berhasil diupayakan suatu pertemuan transformasi kepentingan di antara tetua adat, masyarakat, dan pemerintah dalam hal kesehatan. Alternatif lain, dari segi bangunannya sendiri, konsep arsitektural dari rumah bulat belum pernah dipertimbangkan. Mungkinkah dirancang sebuah rumah bulat yang tetap mempertahankan nilai-nilai adat sekaligus menunjang kesehatan ibu dan anak-anak?**

Categories: [Busung Lapar_] [Petani & Pedesaan_]

No comments:

Post a Comment