Apa yang salah dengan Jakarta? Sebagai kota, Jakarta pernah menjadi tempat belajar bagi kota-kota lain, di antaranya Bangkok. Kini, dalam banyak hal kemajuan Bangkok telah jauh meninggalkan Jakarta. Di saat Jakarta terus berupaya menyingkirkan orang miskin dari kota, Bangkok justru memperluas peran serta warga miskin dalam mengurus kota. Ada tiga kelebihan Bangkok yang belum dimiliki Jakarta. Pertama, visi dan karakter pemerintahnya yang terbuka terhadap terobosan, tidak legalistik, menghindari konfrontasi dan mengedepankan negosiasi. Visi dan karakter ini memungkinkan adanya sistem sosial-politik yang memberi ruang lebih luas bagi peran serta warga miskin dalam berkota. Kedua, adanya jejaring dan koneksitas di antara para pemangku kepentingan kota. Jejaring inilah yang membuat masyarakat warga (civil society) di Bangkok relatif lebih kuat. Ketiga, adanya tradisi berkomunitas dan mengorganisir diri di kalangan warga miskinnya. Tradisi ini memperkuat posisi tawar komunitas miskin di hadapan pemerintah kota dan kelompok warga lainnya. Kini saatnya kita juga belajar dari bangsa lain. Belajar untuk berubah.
============================
Fitur buku — Terbit: Oktober 2007; tebal: xii/376hlm.; 15X23cm.
——Untuk mendapatkan buku ini, silakan kontak The Institute for Ecosoc Rights ke email: ecosoc@cbn.net.id atau
ecosocrights@gmail.com
Telpon: 62-21-830 4153
============================
Marco Kusumawijaya
Buku ini pada akhirnya mendorong kita menyimpulkan ajakan untuk menggalang kerjabersama kreatif (creative collaboration). Bangsa ini baru merdeka, baru mengenal demokrasi, yang berarti kesetaraan di dalam membuat masa depan bersama. Kita memang tersandung-sandung, sebab banyak himpitan, banyak desakan, banyak masalah, banyak keterbatasan, banyak kecurigaan, banyak tidak ikhlas, tidak tulus dalam berbagi, termasuk berbagi peran dan rezeki. Tapi justru karena itu semua kita diajak untuk merenungkan kembali bahwa tujuan kita berkelompok, atas dasar suatu tuah sekata (konsensus) nasional, adalah mensejahterakan kita semua bersama-sama. Tujuan bersama jelas dihayati. Hanya sering dilupakan bahwa kita perlu berkerjasama dalam pengertian yang konkrit, sehingga tidak berhenti sebagai mantra.
Di abad demokratisasi informasi ini, keperluan untuk kerjabersama kreatif yang tulus juga makin menjadi keharusan. Semua orang relatif sama pintar sekarang, karena informasi yang mudah didapat. Setidaknya, seperti sering dikatakan, tidak seorang pun dari kita yang lebih pintar dari kita (none of us is smarter than us). Kita bukan saja makin tergantung kepada kecerdasan bersama secara tak terelakkan, tetapi malah wajib menciptakan kondisi yang menyuburkan dan memudahkan kerjabersama.
Riset di Jakarta dan Bangkok, yang antara lain menjadi dasar bagi penyusunan buku ini, membandingkan bagaimana kota-kota itu menyertakan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan perkotaan, antara lain dalam hal pembangunan perumahan. Jelas sekali bahwa salah satu faktor pembeda di kedua kota itu adalah terlembaganya kerjabersama komunitas kaum miskin kota, akademisi, pemerintah, dan aktivis lainnya di Bangkok. Kerjabersama itu memecahkan prasangka, menembus tembok koordinasi horisontal antar sektor dan dialog vertikal antara warga, pemerintah setempat dan pemerintah pusat. Tidak ada solusi tunggal dan mati yang dipaksakan. Setiap konteks memerlukan konsep solusi yang diprakarsai sendiri dari komunitas, yang memang dipermudah dan dirangsang. Kerjabersama kreatif kemudian mengembangkan solusi konkrit yang berangkat darinya, tetapi tidak selalu sama persis dengan konsep awal itu.
Di Bangkok terpenuhi syarat-syarat bagi kerjabersama kreatif. Syarat pertama adalah komitmen untuk kerjabersama yang panjang. Ini diwujudkan dalam kelembagaan yang sesuai pada semua pihak terkait. Dasar dari kerjasama ini adalah pengakuan akan keragaman perspektif yang menjadi pijakan berangkat untuk saling memahami sudut pandang masing-masing dan menngurusi perbedaan-perbedaan. Melalui dialog konstruktif perbedaan-perbedaan dirundingkan. Pada saat bersamaan dikembangkan visi dan pandangan bersama. Syarat kedua adalah kesudian untuk berbagi gagasan, informasi dan pengetahuan, sehingga akhirnya semua pihak memiliki dasar pengetahuan yang sama. Sekali lagi ini hanya mungkin terbangun melalui keterlibatan dan interaksi intensif yang panjang. Syarat ketiga adalah saling percaya dan kebersamaan dalam mengambil resiko.
Pada konsep “kerjabersama kreatif” saya bukan hanya mau menekankan arti kata ‘kreatif’ yang berhubungan dengan daya-cipta untuk menghasilkan suatu produk karya atau inovasi, meskipun ini semua penting juga. Saya ingin juga menekankan makna kreatif sebagai lawan dari ‘destruktif’, dan bahwa kerjabersama itu hendaknya terus menerus berdaya-kembang secara berkelanjutan, bukan “sekali berarti sesudah itu mati” seperti sering terjadi pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang berorientasi pada proyek sekali pukul. Kerjabersama kreatif juga berarti kerjasama yang bentuk dan modusnya berkembang seiring dengan proses dialektis, tidak pernah selesai atau berhenti pada pembakuan yang diulang-ulang saja, sebab ia harus menghasilkan solusi-solusi yang tiap kali sesuai dengan tiap situasi dan kondisi yang baru atau berkembang.
Hendaknya juga dipahami bahwa kerjabersama kreatif bukan hanya suatu alat yang bertujuan menghasilkan proyek-proyek fisik, tetapi juga suatu proses, suatu cara hidup untuk terus-menerus menghasilkan kembali makna dan pemaknaan, nilai dan penilaian. Ini penting untuk menghindari monopoli penciptaan makna oleh pihak tertentu saja, yang pada akhirnya membawa kita kepada keseragaman yang menyesakkan dan lama-lama mematikan (lawan dari kreativitas). Tanpa kerjabersama kreatif, kita telah sering mengamati terjadinya makna yang tiba-tiba meloncat menjadi konsep-konsep yang tanpa disadari tahu-tahu telah dijabarkan menjadi model-model pembangunan secara sepihak, misalnya: kota modern itu harus begini-begitu, dan tidak begini-begitu. Dalam proses pemaknaan yang sepihak demikian hampir dipastikan yang lemah (yang miskin, yang kecil, yang tak punya kuasa) akan tersingkir, dan realita disusun bukan saja tanpa kehadiran mereka, tetapi juga berakibat menggusur kehadiran mereka, sengaja atau tidak sengaja.
***
Dalam proses riset dan lokakarya yang mendahului buku ini terang sekali ditemukan banyak perbedaan persepsi dan pendapat antara berbagai pihak dalam bangsa kita, bahkan tentang hal-hal yang sebenarnya sudah baku dikenal, misalnya partisipasi, demokrasi, hak kaum miskin kota, kota yang berkelanjutan, dan lain-lain. Sering dapat dilacak, bahwa perbedaan itu sebenarnya muncul dari proses pemaknaan yang sepihak, yang didasarkan kecurigaan dalam menafsir informasi yang tidak lengkap, yang tidak diperiksa langsung ke pihak lain, yang tidak dialektis. Misalnya perumahan kaum miskin kota bermakna antara “masalah kita bersama sebagai suatu bangsa” dan “masalah perbenturan kepentingan”.
Kita berada dalam situasi di mana sebagian masyarakat pada saat bersamaan selalu curiga kepada pemerintah, ingin korupsi diberantas, dan sekaligus secara paradoksal menganggap pemerintah harus memenuhi semua tuntutannya (dengan persepi negara sebagai penyedia segala), sementara sebagian jajaran pemerintah menganggap masyarakat itu anarkis dan pada saat bersamaan menganggap dirinya paling tahu tentang apa yang paling baik bagi mereka.
Negara modern memang melahirkan hubungan-hubungan yang berbeda dengan yang ada dalam masyarakat tradisional. Ada birokrasi yang menjembatani atau menghalangi. Kekuasaan menjadi lebih abstrak, besar serta jauh, berperantaraan atau berperwakilan. Ada sistem ekonomi yang berbeda. Kecurigaan-kecurigaan muncul. Perbedaan persepsi tentang peran pihak-pihak terumuskan berbeda-beda. Tetapi semuanya itu semestinya, dan memang tidak boleh mengubah cita-cita suatu entitas masyarakat, yang dengan mendirikan negara berarti mengaku ingin berkerjabersama supaya semuanya hidup sejahtera.
Kita perlu merenungkan kembali tujuan kita bernegara, ketika berhadapan dengan pertanyaan pahit tentang mengapa sebagian cukup besar bangsa kita tidak terurus—apalagi terpenuhi—hak -hak dasarnya seperti rumah dan pekerjaan. Kita bahkan perlu belajar kembali. Dulu, kita ketahui, banyak bangsa dan kota Asia Tenggara belajar dari Indonesia. Sekarang kita tahu juga, banyak bangsa dan kota Asia Tenggara telah lebih maju daripada kita. Ini suatu pelajaran penting bagi bangsa yang korup, malas bekerja tekun, pencari jalan pintas, tak pandai berkoordinasi. Tapi kita bukan hanya perlu belajar, melainkan juga (terutama) bertindak berubah berdasarkan pelajaran itu. Berubah dan belajar memang adalah dua hal yang berbeda. Awal dari perubahan adalah keinginan untuk belajar. Sedang akhir dari belajar adalah keharusan untuk berubah.
Jakarta, 4 Oktober 2007
29 January 2008
Kerjabersama Kreatif dalam Mendengarkan Kota
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 2:57 PM 0 komentar
Label: Jakarta, Kebijakan, Kemiskinan, Penggusuran, Publikasi, Reform, Research, Thailand
25 January 2008
Kartini Pakistan
Sri Maryanti
Mukhtaran Bibi adalah janda desa yang miskin, buta huruf dan tak pernah menyakiti siapa pun. Seperempat abad lebih ia hidup terpenjara dalam masyarakat adat yang feodal dan barbar di sebuah desa kecil di provinsi Punjab, Pakistan. Ia baru melihat penjara kehidupan itu setelah peristiwa buruk menghancurkan kehormatannya pada pertengahan 2002. Tiba-tiba ia bangkit menjadi perempuan perkasa yang berdiri tegak menuntut keadilan atas haknya sebagai perempuan. Ia melawan adat yang mengijinkan perempuan korban perkosaan menanggung hukuman sementara pelakunya bebas bergentayangan. Perjuangannya menjadikan ia sebagai simbol kekuatan perempuan Pakistan yang memperjuangkan harga diri dan martabat kaumnya sebagai manusia utuh.
Foto diambil dari sini. Sumber dan resensi buku berjudul In the Name of Honor (A True Story) - Atas Nama Kehormatan, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007; Diterjemahkan dari bahasa Prancis, Déshonoré, ditulis oleh Mukhtar Mai. Link
Cerita tersebut ditulis sendiri oleh Mukhtaran Bibi dengan bantuan Marie-Therese Cuny berdasarkan kisah hidupnya dalam sebuah buku dengan judul asli “In The Name of Honor”. Buku ini hampir mirip dengan yang ditulis R.A. Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ia menuturkan kisahnya yang tak hanya mengharu biru seperti fiksi, namun juga refleksi pergulatannya melawan ketakutan, depresi, rasa terhina dan tipu muslihat akibat perkosaan massal yang dilakukan didepan umum yang merupakan putusan hukuman adat yang picik yang dibungkus agama.
Mukhtaran harus datang memohon ampun kepada dewan adat di desanya untuk menebus kesalahan yang sebenarnya tak pernah dibuat adik laki-lakinya. Adiknya yang masih kanak dianggap menodai kehormatan suku Mastoi, kelompok yang berkuasa dan dominan di desannya. Anak itu dituduh main mata dan memperkosa perempuan suku Mastoi yang umurnya jauh lebih tua. Namun kedatangan Mukhtaran bukan disambut dengan ampunan sebagaimana yang ia banyangkan. Dewan dirja memutuskan hukuman pemerkosaan massal untuk menebus kesalahan adiknya.
Perempuan itu tak hanya diperkosa oleh empat lelaki kasar, namun juga dipermalukan dan diperlakukan kasar di depan umum sebagai penebusan kesalahan yang dijatuhkan ke keluarganya. Ia dianggap perempuan hina yang telah kehilangan kehormatan. Hukum dan aparat sedikit pun tak mempedulikannya. Bahkan mereka menjadi bagian persekongkolan jahat yang berusaha memutarbalikkan fakta saat perempuan itu mencari keadilan.
Justru penderitaan yang telah meluluhlantakkan pribadinya itu menyebabkan ia berani berteriak mengungkapkan fakta di depan hukum. Keberanian itu tak pernah dimiliki perempuan Pakistan sebelumnya. Kasusnya menjadi sejarah baru bagi gerakan penegakan hak-hak perempuan Pakistan.
Keberanian perempuan muslim itu membangkitkan simpati dan dukungan dari banyak pihak. Namanya mencuat keluar melampaui ruang sempit biliknya. Begitu juga masyarakat internasional lantas juga mengenal dan mendukungnya. Bahkan perdana menteri Pakistan turut campur tangan dalam pengurusan kasusnya.
Namun perjuangan yang ia usahakan tidaklah mudah ditempuh. Jalan menuju damai harus ia lewati di bawah tekanan dan teror. Pemerintah Pakistan tak sepenuhnya mendukung usahanya. Ia sempat dianggap sengaja memperburuk citra negaranya di dunia internasional. Pengadilan sempat membebaskan para pelaku pemerkosaan yang membawa bayangan kematian pada perempuan itu.
Mukhtamar Bibi tak pernah menyerah. Ia belajar dan merefleksikan banyak hal. Kesadaran tentang apa yang seharusnya dimiliki kaumnya makin berkembang. Lalu ia menjadi perempuan bercita-cita besar yang memimpikan sebuah gedung sekolah untuk perempuan agar mereka tidak ditipu setiap kali mencari keadilan.
Buku tersebut adalah sebuah protes seorang perempuan yang mewakili jutaan perempuan lain di Pakistan yang diamputasi haknya, ditekan, ditipu, diperkosa dan selalu dikorbankan untuk menebus kesalahan keluarga akibat dianggap mencoreng kehormatan suku tertentu. Buku ini juga mengkritik struktur kasta dalam masyarakat yang mengakibatkan banyak penderitaan perempuan dari kasta rendah yang tidak jarang berujung pada kematian atau bunuh diri akibat rasa hancur harga dirinya.
Perempuan yang kemudian disebut dengan panggilan Mukhtar Mai (kakak perempuan yang terhormat) itu juga membongkar lembaga perkawinan adat sebagai alat tukar-menukar perempuan di antara suku untuk menghindari konflik. Perkawinan sering menjadi penjara bagi perempuan yang hanya diperbolehkan diam menerima apa pun yang diharuskan adat padanya. Banyak perempuan mati dalam penjara perkawinan akibat penderitaan yang tak tertahankan.
Melalui torehan ini Mai menceritakan bagaimana ia mengusahakan perbaikan bagi nasib banyak perempuan di negaranya. Sampai buku ini selesai ditulis, masih banyak perkosaan-perkosaan terjadi menimpa perempuan-perempuan di sana. Mirip Kartini, melalui pendidikan pada anak-anak perempuan di sekolah yang ia rintis, Mai berusaha memotong rantai kekerasan tersebut.**
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 7:28 PM 0 komentar
Label: perempuan
24 January 2008
Serupa Tapi Jelas Beda: Kalender Kartun-Komik 2008 bagi Para TKI
Pentingnya informasi yang benar dan lengkap tentang prosedur bekerja ke luar negeri. Tapi kenyataannya para calo mengiming-imingi para calon TKI“Bagaimana cara membuat kalender kartun? Apa kelebihan dan hambatan dalam membuat kalender kartun? Mengapa kami pilih kartun atau komik sebagai alat kampanye?”
Gambar "Serupa tapi Jelas Beda" yang Anda lihat di atas adalah salah satu fragmen dari kalender kartun yang baru saja kami terbitkan. Kalender ini dapat Anda pesan ke kantor kami sejauh persediaan masih ada. Hubungi: ecosoc@cbn.net.id. Di balik karya kami ini, ada pelajaran bermanfaat yang kami tarik dan ingin kami bagikan: Ternyata membuat kalender kartun tidaklah semudah yang dibayangkan. Barangkali tulisan ini pas untuk para pemula dalam pembuatan kalender kartun, seperti yang kami alami. Bayangkan, kami tak bisa menggambar, kok mau membuat kartun? Tapi, ternyata itu bukan tak mungkin. Jelas sekali, caranya: harus minta bantuan ilustrator. Tentu.
Jadilah akhirnya kami bikin (kalender) kartun semi-komik ini karena mampu jadi senjata paling ampuh untuk menyampaikan pesan. Mengapa ampuh? Karena kartun-komik dapat menjembatani berbagai ide dan fenomena lapangan yang ada. Foto dapat jadi miskin ide dan tak mampu melukiskan fenomena lapangan apabila kita tidak dapat menjepret peristiwa-peristiwa yang dimaksudkan. Itu pun masih mungkin jadi mendua maknanya, apalagi tanpa caption yang jelas. Kartun-komik juga membuat orang tidak bosan untuk melihat dan lebih mudah orang mengingat sesuatu apabila disajikan dengan gambaran segar. karena gambar tokoh-tokoh dalam komik pakemnya memang tidak berciri mendekati "asli manusia" seperti tergambar dalam foto tapi hasilnya justru dipandang lebih mendekati "kenyataan manusia" yang terjadi (dan diharapkan dampaknya bagi para pelihat). Semakin ‘belepotan’, justru semakin orisinil dan semakin menarik untuk dilihat karena lucu. Beberapa asumsi inilah yang membuat kami memilih kalender dengan gaya komik.
Perancang utama tentu harus mempunyai imajinasi mengenai karakter para tokoh dan ruang di mana mereka berada (casting). Ini jadi semacam kartun hasil kerja bareng. Tidak mudah untuk mengubah gagasan berbentuk tulisan jadi sebuah gambar yang dapat dimengerti dan ditangkap pesannya oleh banyak orang. Ilustrator bertugas menggambar. Idenya jelas dari kami para peneliti dan perancang. Bila perancang salah dalam memberikan konsep untuk digambar, maka gambar tidak akan mampu menyampaikan pesan yang kita inginkan. Yah, semua orang tahu itu.
Namun, di balik pengalaman pertama kami membuat kalender ini, sesungguhnya yang terjadi adalah “kolaborasi” untuk menyusun fragmen kartun untuk kepentingan menyebarkan informasi agar masyarakat, tapi terutama untuk para calon TKI dan para TKI, menyadari pentingnya menempuh prosedur yang benar ketika bermaksud bekerja di luar negeri. Mengapa kami sebut ‘kolaborasi’? Ya karena biasanya para pembuat komik atau kartun bekerja atas nama diri sendiri. Setidaknya begitulah yang banyak kami tahu, seperti Ganesh Th dengan komiknya yang dahsyat Tuan Tanah Kedawung-nya itu. Tapi bukankah kerja bareng itu sesesungguhnya juga sudah merupakan sesuatu yang biasa? Ya, enggak juga sih. Tergantung. Memang diandaikan kerja bareng itu lebih efisien kalau sasarannya untuk kepentingan publik. Kasus bikin kalender untuk kampanye tentunya cocok di sini.
Tapi kasus membuat komik-kartun kampanye ini sesungguhnya dilatarbelakangi oleh suatu harapan sekaligus kendala. Pertama, untuk kepentingan kampanye sebenarnya dari semula kami mau mengambil medium penanggalan. Banyak orang butuh kalender, menjelang tutup tahun sampai awal tahun. Nah, kalau orang sudah dapat kalender, bukankah biasanya mereka memampangnya di dinding supaya mudah dibaca. Pasti, kalender bisa jadi sarana efektif untuk menyampaikan pesan. Untuk kasus kalender kampanye/iklan, entah mana yang benar, mana/si(apa) numpang mana/si(apa). Gambar numpang kalender, atau sebaliknya? Ya kerjasama, mestinya.
Kedua, kami enggak punya foto-foto yang pas melukiskan pesan yang mau disampaikan. Sedianya mau pasang foto-foto tentang ihwal terkait dengan TKI. Tapi kok susah ya cari atau bahkan bikin foto-foto yang sesuai. Lebih dari sulit, masih ada soal bahwa foto-foto itu membawa pesan-pesan khusus. Misalnya: “Hati-hati lho ada banyak calo yang memalsukan dokumen. Mereka banyak gentayangan sampai di pelosok desa, malah membujuk dan mengiming-imingi.” Bagaimana caranya mendapatkan foto untuk pesan macam begitu? Harus investigasi dulu sambil bawa kamera untuk dijepret secara tersembunyi? Repot. Pesan lain: “Tidak boleh memperbudak calon-calon TKI.” Mau cari foto macam apa? Di mana bisa ditemukan? Ada dalam dokumentasi foto mana atau milik siapa? Apakah barangkali ada sebuah foto yang melukiskan puluhan TKI sedang ditampung di suatu ruang sempit di PJTKI tertentu? Kalau tak ada foto itu, dan kita mau memotretnya sendiri, bagaimana caranya kita bisa memotretnya? Apa boleh masuk penampungan yang biasanya ditutup pagar rapat-rapat itu? Apakah nanti si pemotret tidak digebuk satpam PJTKI ketika sedang motret mereka? Atau sebaiknya kita bikin foto rekayasa saja ya? Wah, ini tak kalah super-repotnya.
***
Kenyataan biasanya bisa bicara atas nama dirinya sendiri. Tapi, kalau ‘kenyataan’ itu hendak dilukiskan, misalnya dengan potret, ya tentu pilihan objeknya sangat bergantung pada pemotretnya. Apalagi, kalau diingat bahwa foto biasanya dipandang sebagai yang paling dekat dengan kenyataan (percaya?), maka pertanyaannya: apakah kartun itu bohong? Ada banyak kenyataan yang tak dapat dipotret, tapi itu tidak berarti tidak dapat diungkapkan dalam bentuk gambar. Dan hasilnya: Ternyata kartun justru mampu melukiskan fenomena kenyataan yang sesungguhnya dan yang dimaksudkan ..
Kami sendiri biasanya lebih banyak bekerja secara diskursif dalam bentuk kalimat. Tentu saja ini jadi kesulitan bagi kami sebagai pemula kolaborasi kartun untuk ‘menuangkan gagasan ke dalam gambar’. Karenanya kami minta bantuan ilustrator yang mampu menggambarkan yang terlukis dalam pikiran kami. Maka, tugas kami sebagai perancang adalah menjelaskannya sampai detil dengan menggunakan kata-kata agar ilustrator merasa jelas dan karenanya dia lebih mudah menggambarkannya. Tapi dari pengalaman, akhirnya kelihatan pula bahwa sedetil-detilnya dijelaskan, ada hal-hal yang luput dari perhatian.
***
Selain itu, kita harus memikirkan script gambar-gambar kartun yang hendak dituangkan. Mengingat efisiensi biaya pencetakan, ukurannya jadi 30,3 X 27, 5 cm. Untuk dapat membuat kalender yang diinginkan, pertama-tama kami membagi satu lembar hal kertas A4 jadi empat bagian. Setiap bagian kami tuliskan ide atau pesan yang akan disampaikan. Bagian I hingga IV harus menjadi satu rangkaian cerita yang berhubungan. Berikut ini contoh sepenggal script itu.
--------------------
Halaman I Kalender (Januari-Februari 2008)
Setting lokasi: Halaman depan rumah reyot dan ada pohon di dalamnya (potret kemiskinan). Ada penunjuk jalan Desa Andongsari.
Gambar: Seorang perekrut (berkemeja dan bercelana panjang, bersepatu-rapi, raut muka perekrut tersenyum dan menggoda) mengiming-imingi warga (anak perempuan) desa (berambut panjang dan dikuncir 1, mengenakan rok panjang-warna norak) untuk bekerja di luar negeri.
Ada gambar awan (callout) di atas kepala si perekrut hasil uang atau barang yang melimpah.
Seperti yang tertulis di atas, kita harus membuat scripts sampai sedetail-detailnya hingga ilustrator paham apa yang kita maui dari gambar tersebut. Seperti menggambarkan pakaian perekrut, raut muka, wajah anak perempuan desa, baju anak perempuan desa, background dari gambar atau setting lokasi. Jangan membuat script yang sifatnya umum karena penjelasan yang terlalu umum tidak akan cukup kuat menggerakkan tangan si ilustrator untuk menggambarkannya. Alias kabur. Kemungkinan besar dia justru bingung. Pesan tidak tersampaikan.
Caption: Hasil dari Script 1: Lihat fragmen pertama.
Misalnya, untuk pengertian “mengiming-imingi” harus dijelaskan dengan gamblang. Seperti apa cara yang digunakan ketika dilakukan kegiatan mengiming-imingi itu? Apakah perekrut memberikan sejumlah uang? Apakah gesture tubuhnya dengan raut muka tersenyum dan menggoda dapat dikategorikan mengiming-imingi? Bila tak jelas, maka ilustrator justru akan menggambar sesuatu yang lain yang tak memberikan pesan yang dimaksudkan dengan “iming-iming” itu. Ilustrator belum tentu memiliki perspektif yang sama dengan kita. Bukankah komik disebut juga cerita bergambar? Cergam? Ibaratnya bikin novel atau ceritera bergambar? Penjelasan wajib sedekat mungkin dengan kartun yang tergambar?
Kelebihan dari kartun adalah kita dapat berimajinasi lebih bebas daripada berpikir diskursif namun toh tetap harus fokus. Karena memadukan antara berbagai imajinasi ke dalam sebuah cerita dan memvisualkannya tidaklah mudah. Proses ini kami lalui selama hampir tiga bulan dalam membuat kalender komik. Kami terbantu dalam membuat imajinasi setelah lebih fokus pada masalah tujuh pokok masalah di desa. (Lihat/klik posting yang sebelumnya tentang penelitian terhadap para TKI di kabupaten). Dari tujuh pokok ini, tidak semua dapat kami gambarkan. Kami harus memilih mana masalah utama tapi dapat digambarkan dan dapat ditangkap pesannya oleh banyak pihak. Tapi tak jarang pula perlu atau terpaksa dilakukan ‘klaim verbal’. Apa boleh buat .. Daripada pesannya mendua.
Misalnya tentang pentingnya para calon TKI mendapatkan, memiliki dan memahami informasi bekerja ke luar negeri. Di sini pesan yang mau disampaikan: Jangan sampai salah prosedur. Untuk membuatnya jadi gambar, kami memilih penggambaran cara-cara bagaimana para calo melakukan kegiatan merekrut calon TKI. Mengapa kami gunakan visualisasi ini? Karena kami ingin menyampaikan pesan bahwa sebagian besar orang tidak tahu bahwa di balik iming-iming calo itu sesungguhnya adalah jebakan paling awal bagi calon TKI terikat pada sistem potong gaji dalam skema hutang internasional antarnegara. Bahkan tak jarang para TKI pun tidak tahu dirinya sedang diiming-imingi oleh calo.
Selain tentang pentingnya mengikuti prosedur kerja standar, kami juga memasukkan masalah pendidikan, kepulangan dan reintegrasi ekonomi. Dalam scripts, kami tidak hanya menggariskan gambaran kenyatan tapi juga solusi yang bisa ditawarkan kepada TKI. Seperti pesan-pesan menghadapi calo, selama pendidikan, tatacara bekerja ke luar negeri, kontak lembaga dan instansi yang ada di Indonesia dan di luar negeri serta beberapa hasil temuan penelitian untuk memperkuat pesan gambar.
Bila tidak fokus dalam isi dan tidak detail maka gambar komik tidak akan "berbunyi". Itulah hambatan yang kami alami. Misal: script yang kami buat untuk tempat pendidikan. Di scripts tersebut, kami menuliskan petugas PJTKI sedang berposisi menyuruh calon TKI untuk mengangkat ember sambil naik tangga. Tapi, setelah kami lihat lagi, ternyata ada yang kelupaan menuliskan mimik dari petugas PJTKI. Akibatnya, ilustrator menggambar sesuai dengan pemahamannya sendiri. Dia menggambar mimik petugas dengan wajah tersenyum. Akhirnya kami mengoreksi ulang dan meminta untuk diganti mimik yang kesal karena tidak sesuai dengan kondisi yang tergambarkan. Lihat dua penggal kartun "Serupa tapi Jelas Beda" di atas. Komunikasi antara kartunis dan ilustrator terbangun ketika tim perancang kartun mampu menuliskan hingga detil dan tepat "realitas yang dimaksudkan" dalam scripts tersebut.
Setelah kalender ini kami terbitkan, kami kaget akan respons antusias dari para TKI, pemerintah dan PJTKI baik di tingkat daerah maupun nasional terhadap kalender ini. Saking antusiasnya, dari 1000 kalender tinggal 50 yang tersisa. Belum lama ini Kepala Disnakertrans Jember, Jawa Timur, mengaku mendapatkan inspirasi dari kalender kartun ini untuk membuat alat peraga pemberian informasi bagi calon-calon TKI. Silakan contèk saja, Pak! Bagaimana teman-teman? Tertarik untuk membuat komik?***
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 1:13 PM 0 komentar
Label: buruh migran, daerah, Publikasi, Research, The Institute for Ecosoc Rights
23 January 2008
Our New Book on Modern Slavery
Our new book, written in Indonesian, launched this month, consists of, first, the so-called “academic text” (naskah akademik) introducing to the legal draft of the district regulation and, second, the text of the legal draft itself on the protection of Indonesian migrant workers at district areas, and finally lessons learned notes upon the advocacy activities that we have experienced in three districts of Tulang Bawang in Lampung province, Banyumas in C. Java, and Jember in E. Java.
See the cover’s picture at previous posting. You may want to contact us to get this book. Our email: ecosoc@cbn.net.id or ecosocrights@gmail.com.
We establish the academic text and the legal draft on our research on the condition of the migrant workers in the three districts. We conduct all the action research activities from February to November 2007 along with our partner of Trade Union Rights Center. The European Commission that maintains strong commitment to promote the advancement of basic human rights has made all of the activities possible.
The research applies several methods, i.e. first, workshops to dig out the main problems inviting related stakeholders: local government, migrant workers organizations, former migrant workers and their families, recruitment and placement agencies, academicians and NGOs, second, focused group discussions involving the origin community of the migrant workers and the village administration officials, third, surveys on the migrant workers and their families, fourth, theme interviews with related stakeholders like local government officials, recruitment or placement agencies, former migrant workers and their families, NGOs and other related social organizations; fifth, desk reviews on problems of the migrant workers and their legal protection framework, and sixth, public policy analysis that includes regulations for migrant workers that have been enacted by several districts in the country.
Out of the research we conclude there are at least seven problems of the migrant workers in their origin districts that should be guaranteed with legal protections. The problems deem to be the roots that cause diverse cases befallen to them including those taken place in the work places overseas. The problems relate to recruitment process, the financing of the work migration, education and training, case handling and legal aids, public participation, reintegration and at last the data recording and monitoring activities. These problems are proposed to be the main materials for protecting migrant workers at district level. If these are properly tackled, we expect that their problems and diverse cases that migrant workers face during their overseas works at least be significantly reduced to the minimum level.
The academic draft and the legal draft in this book have been thoroughly discussed in several important fora at the select districts and also by legal experts either at the districts or nationally. We have also drawn common ground that may include other districts that are not selected in the research. Yet for the complexity of the migrant workers’ problems and the diversity of the districts’ condition we could not include less-closely-related specific problems at district level, less their attempts to solution in the legal draft. Even so, the migrant worker-origin districts generally face the same main problems once they ponder upon protecting the overseas workers.
With the academic text and the legal draft in this book, we would like to invite all concern parties, particularly the governments, to change the protection paradigm, from merely tackling the problems into preventing them. It is because mostly, including the Indonesian government admits that over 60 percent of the Indonesian overseas workers are recruited and placed, let’s say, illegally, and that as much as 80 percent of the problems of overseas workers refer to problems found within the country, not at destination countries as most perceived.
This means the existing system of protection and work placement of the overseas workers is prone to creating and ‘inciting’ diverse problems while they are already in destination countries. In fact while they are overseas, they could expect only less protection from receiving countries. This condition is triggered by the fact that none of receiving countries ratify the Convention of Protection for Migrant Workers and Their Families and therefore they rest their destiny on the personal benevolence of the placement agencies and the employers, something that you should not depend on for public matters. Hope goes back then to the Indonesian government. Therefore, there are few other ways but repairing our home’s system of protection and overseas work placement that inevitably lies heavily on the government’s shoulders. However, to put proper measure to function, no doubt we need partnership and responsibility of all related parties, particularly the governments, agencies, and the people that include the migrant workers organizations and their families, NGOs, academicians, and other institutions that work for the interests of migrant workers.
Our study reveals that district regulation for protecting migrant workers will not answer the real problems if there is no inter-district framework intact. Current recruitment process is seriously susceptible to fraud conducted in other neighboring districts that have less concerns to protection. As a result, document falsification is the most crucial problem faced by would-be overseas workers. This takes place because most agencies are found in the country’s capital of Jakarta, far away from origin districts, and they mostly depend on the work of the brokers in recruiting would-be workers in the provinces, down to the districts and remote villages.
A district regulation will not also tackle the problems if there is no partnership, co-ordination and common responsibility, either among government officials of related divisions, between central government and local governments, and among local governments themselves. It is because that in fact the protection of migrant workers has not been acknowledged as a common problem, the treatment of which demands commonly accepted perspectives apart from partnership and common responsibility.
This effort and the improvement of protection and work placement services are exigently not to procrastinate because the number of the migrant workers is ever increasing as international work market competition sores, while we realize the weakness of government services as compared to the vast, remote areas of countries of origin of our overseas workers. It is also a staggering fact that their remittances, eventually for the benefit of the state and the local development program, swiftly increase by years. Without such contribution of migrant workers, the government should have already kept in mind that they are obliged to protect their citizens including our migrant workers. The demand of such obligation then is even imperative, while realizing the increasing remittances. But such high contribution has not been matched by proper public services and protection. Recent aggravation of irregular recruitment and overseas work placement clearly specify the insufficient protection scheme of the governments, even in many cases they perform as ones like. These practices have opened widely to human trafficking and modern slavery. Failure to perform proper protection is no different from legally allowing trafficking in human being and modern slavery for our own children mostly young women.**
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 3:40 PM 0 komentar
Label: buruh migran, daerah, English-version, Kebijakan, pemerintah, Publikasi, The Institute for Ecosoc Rights
16 January 2008
Terbitan Buku Teranyar: “Menangani Perbudakan Modern dari Desa”
BUKU yang terbit Januari 2008 ini pada dasarnya adalah gabungan dari naskah akademik untuk rancangan peraturan daerah dan draft rancangan peraturan daerah (raperda) tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di wilayah kabupaten beserta refleksi pengalaman advokasi perlindungan TKI di kabupaten Tulang Bawang (Lampung), Banyumas (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur).
Penyusunan naskah akademik dan raperda perlindungan TKI diawali dengan riset tentang materi perlindungan TKI di tiga kabupaten tersebut, yang dilakukan The Institute for Ecosoc Right bersama Trade Union Rights Center (TURC) dan didukung oleh European Commission, sepanjang Februari sampai Nopember 2007.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 3:13 PM 0 komentar
Label: buruh migran, daerah, Publikasi, Research, The Institute for Ecosoc Rights
14 January 2008
“Anak Haram yang Dilupakan Keberadaannya”
Savitri W. & Prasetyohadi
TKI adalah anak haram dari pembangunan yang gagal.” Inilah pernyataan dari salah satu nara sumber dalam kegiatan diskusi publik, 13 Desember 2007 di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Jember, yang bertemakan “Skema Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Tingkat Kabupaten – Aspek Perekrutan, Pendidikan dan Pembiayaan di Tingkat Kabupaten”. Istilah “anak haram” itu sejajar dengan sikap masyarakat yang tidak memandang penting keberadaan para TKI dan bahkan ada kecondongan mempersalahkan mereka. Tidak jarang stigma masyarakat terhadap TKI cukup kuat datang dari kalangan pemerintah, PPTKIS dan bahkan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.
Itulah gambaran yang melekat ketika para peserta diskusi publik itu membahas masalah TKI dan kemungkinan legislasi peraturan daerah (perda) untuk perlindungan TKI di kabupaten ini. Dari seluruh proses lobby dalam kegiatan advokasi kebijakan publik ini, tampak respons para pihak tak cukup padu sehingga masih membutuhkan proses-proses lanjutan untuk mencapai kemungkinan mengangkat raperda perlindungan TKI di tingkat publik. Pihak pemerintah daerah dan DPRD belum melakukan komunikasi yang langsung mengarah pada masalah penataan perlindungan TKI di kabupaten. Disnakertans Jember belum merespons positif bentuk payung hukum perda untuk perlindungan TKI. Dalam kegiatan diskusi publik itu Ka-Disnakertrans Jember M.Thamrin menyatakan menyerahkan legislasi peraturan daerah ini kepada DPRD.
Caption: Para ibu mantan TKI ini sudah tidak mau lagi jatuh ke pola berulang jadi TKI karena hasil kerja mereka habis dikomsumsi untuk hal-hal tak terencana. Tapi mereka masih ragu-ragu dengan membangun ‘koperasi’. Namun, kini Disnakertrans Jember bersedia menguatkan para mantan TKI dengan menyelenggarakan kegiatan pelatihan pemberdayaan ekonomi. Foto diambil ketika mereka sedang mendiskusikan masalah TKI, Februari 2007 di salah satu rumah mantan TKI di desa Watukebo, kecamatan Ambulu, Jember.
Mengapa penting bahwa ada perda perlindungan TKI? Perda ini sangat prospektif mengurangi permasalahan krusial yang menimpa TKI. Dengan perda ini pihak-pihak yang terlibat dalam masalah TKI akan sangat diuntungkan karena masyarakat semakin mempercayai pemerintah dalam mencapai pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah akan sangat dibantu oleh masyarakat dalam menjalankan programnya. Reputasi kinerja PPTKIS membaik. Dan akhirnya tentu saja perda ini sangat bermanfaat bagi para TKI karena keselamatannya dijamin.
Lihat/klik dua tulisan lain yang terkait:
* Kabupaten Banyumas: "Keterbukaan yang Memberi Harapan"
* Kabupaten Tulang Bawang: "Antara Kemauan, Keraguan & Ketakberdayaan"
Namun, sejauh ini pihak eksekutif baru sampai pada pernyataan kesediaan memberikan perlindungan. Tidak dalam bentuk suatu peraturan daerah, tetapi dengan program-program seperti: 1) mengaktifkan balai latihan kerja berwujud program pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para calon TKI asal Jember sebelum diberangkatkan ke PPTKIS di luar kabupaten Jember, 2) menangani kasus deportasi dan 3) mengajak pihak bank bekerja sama untuk memberikan skema kredit kepada calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri.
Sementara itu pihak DPRD, terutama Komisi D yang mengurus masalah kesejahteraan masyarakat termasuk untuk perlindungan TKI, sesungguhnya sudah menyatakan sikap membela kepentingan para TKI, terutama karena tak sedikitnya kasus-kasus dan berbagai masalah yang dialami oleh para TKI. Pihak DPRD merasa perlu bahwa perda ini segera digolkan. Namun pendalaman isi raperda masih tetap perlu dikembangkan lagi bersama dengan mereka. Diperlukan upaya-upaya terfokus untuk mendorong dan mengawal raperda secara lebih mendalam lagi terutama bagi para anggota DPRD agar memberikan perhatian lebih konkrit. Upaya ini dipandang penting dilakukan secara terus-menerus mengingat berbagai kesibukan anggota-anggota DPRD seperti konsolidasi kepada basis, penyusunan anggaran APBD (2008) dan kesibukan-kesibukan lainnya yang mengharuskan mereka untuk keluar dari kantor.
“Mudah-mudahan bukan sekedar basa-basi,” ujar seorang nara sumber lain dalam diskusi publik itu. Oleh karena itu perlu adanya organisasi setempat yang sepenuhnya mengawal raperda ini untuk tahap-tahap selanjutnya. Sejauh ini telah tersedia ‘pintu-pintu masuk’ bagi pembahasan raperda seperti sikap Komisi D DPRD Jember yang sudah sepakat dengan isu ini dan penyerahan pihak pemerintah daerah agar perda sebaiknya diinisiasikan oleh DPRD. Organisasi lokal yang bersedia mengawal adalah Gerakan Buruh Migran Jember (GBMI) sebagai bagian sekaligus solidaritas kerja dari kerangka advokasi lebih luas yang dikerjakan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Untuk percepatan pembahasan raperda, tentunya diharapkan isu perlindungan TKI melalui raperda ini tidak hanya menjadi keprihatinan komisi D yang kebetulan mayoritas anggotanya berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan merupakan partai terbesar dalam perolehan suara pada pemilu tahun 2004 di kabupaten ini. Mestinya partai ini berinisiatif lebih cepat, apalagi ada dukungan sepenuhnya dari arah tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam ormas besar Nahdlatul Ulama agar nasib TKI sungguh-sungguh diperhatikan. Namun perpecahan internal yang melanda partai ini tampak sangat berdampak pada kinerja publik para anggota DPRD-nya. Sekalipun demikian, beberapa di antara mereka tetap memegang tekad bekerja sungguh-sungguh dan melihat bahwa dengan mengangkat isu melindungi TKI, partai ini akan mendapatkan kredit pemulihan nama baik di hadapan masyarakat.
Fraksi kedua terkuat yakni PDIP ternyata juga merasa bahwa permasalahan TKI harus segera diatasi melalui raperda. Bahkan Zahrony, salah satu anggota PDIP, menyatakan bahwa PDIP akan membahas raperda yang kami usulkan di DPRD.
Namun, dalam prosesnya sampai sejauh ini, upaya mendekati negosiasi antarpara pihak menuju ke raperda perlindungan TKI sesungguhnya tidak semudah membalikkan tangan. Proses yang kami lalui terasa cukup berbelit dan tak langsung menuju sasaran kegiatan. Hal ini terutama karena kuatnya pertahanan pihak kemapanan politik ekonomi di kabupaten ini. Apalagi jika diingat telah ada pencabutan yang dilakukan oleh Depdagri terhadap ratusan perda, termasuk satu perda yang sebelumnya telah diusulkan wewenang kabupaten Jember namun ternyata dipandang mengandung retribusi atas berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan di kabupaten (Kompas, 1 April 2006). Selama ini ada anggapan di kalangan elit politik di berbagai kabupaten di Indonesia, termasuk di Jember, bahwa perda digunakan sebagai sarana meningkatkan pendapatan asli daerah. Karenanya, dengan adanya pembatalan berbagai perda oleh Depdagri itu, dapat difahami mengapa terdapat resistensi laten dari elit daerah terhadap pemerintah pusat. Perda dipandang bukan solusi. Elit eksekutif daerah berpandangan bahwa kebijakan nasional dan lobby internasional pemerintah untuk perlindungan TKI sesungguhnya belumlah memungkinkan daerah dengan mudah begitu saja melakukan implementasi perlindungan terutama jika diutamakan ada preferensi pencegahan berbagai masalah percaloan TKI di desa-desa.
Mengingat semua kerumitan hubungan-hubungan politik tersebut, atas usulan berbagai pihak baik dari kalangan masyarakat sipil maupun pemda terutama Disnakertrans di Jember, kami diminta tidak hanya menghembuskan isu tentang raperda tapi juga mengajak para pihak untuk mendorong adanya kegiatan atau program jangka pendek dan menengah dalam kerangka perlindungan TKI. Raperda menjadi tujuan untuk jangka panjang. Hal ini bersesuaian dengan latar belakang dan kerangka mengapa kami melakukan penelitian advokasi ini yaitu belum kuatnya respon dari para pengambil keputusan untuk mengurus TKI terutama di kalangan internal pemerintah kabupaten sendiri. Dibutuhkan kegiatan-kegiatan penyambung yang memungkinkan kita mengangkat perspektif kepentingan dari para TKI sendiri.
***
Peran pemerintah. Memang telah banyak kegiatan preventif seperti sosialisasi mengenai migrasi yang aman sudah dilakukan hingga tingkat desa. Sedangkan kegiatan rehabilitasi yang sudah dilakukan adalah membentuk satgas penanganan kasus dan bantuan hukum yang melibatkan para stakeholders setempat. Selain itu, ada peningkatan anggaran untuk perlindungan TKI tahun 2008 yang semula dianggarkan Rp 50 juta menjadi dua kali lipat. Kegiatan lainnya adalah penguatan ekonomi desa dengan membina kelompok-kelompok di desa agar dapat memanfaatkan potensi dan kekayaan desa. Namun setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi mengapa meskipun telah dilakukan program-program oleh Disnakertrans Jember, belum banyak perbaikan bagi kebutuhan mendesak terhadap perlindungan TKI.
Pertama, karena tetap bermunculannya kasus-kasus yang menimpa para TKI, terutama yang terjadi di luar negeri. Hal ini terus menjadi sorotan dari organisasi TKI setempat dan telah menimbulkan dampak non-komunikasi antara gerakan masyarakat yang membela TKI dan Disnakertrans Jember sendiri. “Copot Kadin yang Tak Lindungi TKI” (Radar Jember, 12 Desember 2007) adalah judul berita yang menandakan buntu-komunikasi di antara para pihak, namun sesungguhnya dapat diartikan sebagai “blessing in disguise” setelah kita tengok umpan balik positif yang ditimbulkannya. Situasi non-komunikasi ini terutama disebabkan karena kasus-kasus yang menimpa para TKI sama sekali ‘tidak tertangani’ di tingkat kabupaten. Sementara pihak Disnakertrans beranggapan bahwa “persoalan TKI terutama adalah persoalan nasional”. Implikasinya kasus-kasus TKI, termasuk yang menimpa warga Jember, tidaklah dipandang sebagai masalah yang pertama-tama harus ditangani oleh Disnakertrans kabupaten bersangkutan. Hal ini telah menimbulkan salah sasaran komunikasi di samping tak memadainya kesadaran publik terhadap problematika para TKI sendiri. Namun, meskipun keadaan jadi tidak menentu, situasi ini mendorong penelitian advokasi ini untuk melerai keadaan non-komunikasi itu terlebih dahulu sebelum bisa bergerak maju lebih pasti dan on the track menuju ke pembahasan raperda yang sesungguhnya.
Kedua, karena keterbatasan perspektif program pemerintah daerah yang pada gilirannya tidak didukung oleh anggaran pendanaan yang memadai, sehingga sebagai dampaknya, masih terlalu sedikit desa dan kecamatan menjadi sasaran kegiatan dan program Disnakertrans. Luas dan tersembunyinya masalah percaloan TKI di pedesaan kabupaten juga mempersulit munculnya ancangan pemikiran tentang pencegahan, seperti monitoring dan pendataan TKI di desa-desa. Seandainya diprogramkan kegiatan pencegahan, maka akan harus dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun.Caption: Diskusi publik membahas perlindungan TKI yang diselenggarakan di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Desember 2007, yang dihadiri oleh pemerintah, masyarakat, PPTKIS. Insert: Kadisnakertrans Jember Drs. M. Thamrin sedang memaparkan kerangka kerja kantornya. Kehadirannya melerai kebekuan hubungan masyarakat dan pemerintah.
Sementara itu, dari sisi strategi advokasi, kegiatan advokasi ini akhirnya perlu berpaling dari kerumitan politik itu menuju usaha membenahi fokus komunikasi di kalangan masyarakat sipil terlebih dahulu, sebelum melakukan lobby lebih jauh untuk mengajak para pemangku kepentingan seperti pemda (terutama Disnakertrans dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten). Sedangkan dari sisi pendekatan yang kami tempuh, sosialisasi hasil penelitian yang menawarkan perspektif mengenai pentingnya perlindungan kepada TKI asal Jember kami lakukan dengan berbagai cara. Baik dalam jumlah kecil antara 10 orang hingga lebih dari lima puluh orang. Rangkaian kegiatan seperti diskusi kelompok terfokus (FGDs), workshop, lobby dan diskusi publik merupakan cara untuk menampung pendapat dan menguji hasil penelitian mengenai raperda perlindungan TKI yang telah dibuat dan mengoreksi arah advokasi yang berusaha kami tempuh.
Masukan dari kecamatan dan kelurahan. Pihak kecamatan dan kelurahan memberi tanggapan positif mengenai raperda perlindungan TKI. Pihak desa merasa bahwa perlu ada peraturan yang melindungi TKI. Kepala desa sering menjadi korban ketika warganya pergi keluar dan apabila warganya mengalami masalah, maka kepala desa juga akan mendapatkan teguran. Mereka sangat berharap ada kegiatan yang melibatkan kepala desa seperti pengurusan TKI berada di desa, bahkan mereka mengusulkan warga yang berangkat melalui desa, terlebih dahulu dilepas dari desa. Tidak hanya itu saja, mereka meminta adanya sosialisasi mengenai tatacara bekerja ke luar negeri yang benar dan aman dan mengajak organisasi TKI atau pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan ini apabila dilaksanakan akan mengurangi percaloan di tingkat desa dan adanya pendataan yang lebih baik.
***
Dukungan masyarakat sipil di Jember. Berbeda dengan kabupaten-kabupaten lain dalam seluruh penelitian advokasi ini, kekuatan para pegiat ormas atau LSM/NGO di Jember tidak diragukan lagi. Banyak terdapat organisasi kemasyarakatan. Mereka berfikir kritis terhadap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Namun sayangnya para LSM/NGOs masih bekerja sendiri-sendiri dan kurang berkoordinasi terutama untuk isu TKI. Pada awalnya, respons dari organisasi masyarakat di Jember tentang raperda TKI sesungguhnya sangat positif, terutama dari pihak para pegiat Gerakan Buruh Migran Indonesia di Jember (GBMI) yang dari semula bersedia mengusung kelanjutan proses mendorong pihak legislatif. Namun, respons kalangan masyarakat sipil yang lain tentang raperda seperti serikat-serikat petani di kabupaten ini sangatlah pesimistis. Sebelumnya mereka sudah mempunyai pengalaman kegagalan dalam mengusung raperda tentang penataan produksi tembakau. Hasil akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan bagi kemaslahatan para petani. Namun, setelah kami berinisiatif untuk menawarkan perspektif isu perlindungan terhadap TKI kepada ‘orangtua’ para TKI yang kebanyakan adalah para petani miskin di pedesaan, Serikat Tani Independen (Sekti) yang telah bekerja mengorganisir masyarakat desa di sekitar 20-an kecamatan memberikan respons cukup aktif terhadap permasalahan TKI. Mereka bersedia mengupayakan apa saja yang mungkin dilakukan sejauh dalam kemampuan. Kepedulian mereka terhadap masalah TKI berawal dari perkiraan dan pengakuan mereka bahwa 30 persen dari anggota serikat petani ini terkait dengan (masalah) TKI atau pernah atau sedang menjadi TKI di luar negeri, bahkan dipertimbangkan pula ada anggota-anggota serikat tani yang menjadi sponsor calon TKI. Mereka bersikap kritis terhadap sikap konsumtif dari para mantan TKI setelah pulang bekerja dari luar negeri.
Caption: Diskusi kelompok dengan para tokoh Serikat Petani Independen (Sekti) di Ambulu, Jember, Oktober 2007, melahirkan gagasan perlunya ‘konsultansi perencanaan’ bagi para calon TKI.Organisasi petani sebagai ‘orangtua TKI’ akhirnya menyadari bahwa para TKI bukan lagi ‘anak-anak haram’ (mereka sendiri) seperti tergambar dari kenyataan bahwa selama ini para (mantan) TKI telah mendapatkan stigma sebagai ‘konsumtif’, seperti halnya banyak pihak juga telah melancarkan stigma tersebut. Para TKI juga dipandang merupakan perwujudan dari pergeseran nilai-nilai di pedesaan yang belum dapat diterima oleh masyarakat. Namun masyarakat menyadari bahwa keterlantaran perlindungan TKI adalah “hasil kinerja haram dari kegagalan pembangunan”. Disadari bahwa mengapa warga miskin di desa-desa berpaling dari masalah desa ke migrasi kerja dengan jadi TKI adalah karena mereka merupakan lapis terbawah dan termiskin di antara sejumlah 50 persen kelompok miskin di kabupaten ini. Kegagalan penanganan masalah kemiskinan oleh pemerintah telah berdampak jauh sampai ke keadaan bahwa wewenang kabupaten tak mampu mengetahui siapa saja, berapa banyaknya, mengapa anak-anak perempuan desa mengadu nyawa dan mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri, dst., sementara disadari pula bahwa sejauh ini sama sekali tidak ada skema perlindungan bagi hidup dan nyawa mereka.
Karenanya dalam diskusi kelompok terarah (FGD), 4 Oktober 2007 di kecamatan Ambulu, mereka mengancangkan kemungkinan intervensi untuk para mantan TKI agar tak konsumtif dengan cara menawarkan pendidikan mengenai perencanaan hasil kerja kepada calon TKI. Diharapkan setelah pulang, para TKI dapat mengelola hasil kerja dengan lebih baik. Organisasi TKI yang diwakili GBMI dalam diskusi itu juga diterima oleh Sekti dan karenanya berkomitmen akan memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI di 20-an kecamatan dampingan Sekti.
Jaringan serikat petani dan nelayan —sebut saja serikat rakyat— di tingkat kabupaten Jember juga mampu mendorong advokasi ini untuk dapat mendongkrak leverage isu perlindungan TKI sehingga dapat menawar kepada Disnakertrans Jember untuk bersedia membuka komunikasi publik yang lebih konstruktif, sembari mengajak organisasi TKI untuk masuk ke ranah negosiasi kebijakan di tingkat kabupaten. Serikat rakyat sebagai bagian dari kalangan pegiat masyarakat sipil melihat bahwa ketidakadilan tampak mencolok dalam ketidakseimbangan antara apa yang diberikan oleh para TKI kepada pemerintah dan alokasi dana untuk program TKI di kabupaten ini.
Untuk rancangan APBD Jember 2007, program untuk TKI hanya dianggarkan Rp50 juta saja —menurut informasi terakhir dari Ka-Disnakertrans sudah naik menjadi dua kali lipatnya— , sementara mereka menyadari bahwa setidaknya setiap calon TKI yang merekrut dan ditempatkan oleh PPTKIS yang sah diakui pemerintah telah membayar sebanyak US$15 kepada pemerintah pusat. Penarikan sebesar US$15 kepada setiap TKI juga diakui oleh Menakertrans, Erman Suparno (Kompas, 30 Januari 2007).
Isu kesenjangan ini mampu menarik perhatian dan keprihatinan dari jaringan petani yang menyadari diri mereka sebagai ‘orangtua’ atau ‘yang ada kait-mengait langsung’ dengan masalah TKI di kabupaten ini. Isu ini memancing mereka untuk mengancangkan bahwa jika ada tim kerja di tingkat kabupaten yang melibatkan baik pemerintah, bisnis, maupun masyarakat sipil, maka urusan perlindungan TKI dapat lebih dijamin kelanjutannya di masa depan jangka pendek ini.
Diskusi publik yang kami dorong pelaksanaannya untuk mencari solusi itu akhirnya mengarahkan para peserta pada keyakinan bahwa semua upaya ini tidak akan berhenti pada diskusi publik itu sendiri tapi bahwa kelanjutannya hanya mungkin dilakukan jika tim kerja itu melibatkan semua pihak yang terkait sejak awal perencanaan. Salah satu di antara isu yang mungkin ditarik adalah bahwa untuk memungkinkan berbagai pihak di daerah mengimplementasikan program perlindungan TKI di tingkat kabupaten, mereka perlu menagih kepada pemerintah pusat pendanaan yang diperlukan secara lebih seimbang.
Peran akademisi. Sementara itu, peran akademisi yakni Lembaga Penelitian Universitas Jember (Lemlit Unej) sebagai pihak netral dan terhormat di kalangan masyarakat Jember, kami libatkan untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Sebagai panitia penyelenggara dalam kegiatan diskusi publik yang diadakan pada tanggal 14 Desember 2007, Lemlit lewat Pusat Studi Wanita menawarkan respons positif terhadap masalah TKI. Mereka telah familiar dengan isu TKI karena isu ini adalah satu bidang telaah di lembaga ini yang telah melakukan penelitian tentang TKW di desa-desa di kabupaten Jember. Diancangkan Lemlit membantu menghembuskan isu TKI ini kepada pemerintah daerah sehingga segera terjaring bentuk-bentuk perlindungan kepada TKI secara lebih konkrit.
Peran PPTKIS. Dari kalangan bisnis perekrutan dan penempatan sendiri, PPTKIS dan cabang PPTKIS berpendapat tidak perlu ada penataan hukum di tingkat daerah. Mereka beranggapan bahwa UU No 39 tahun 2004 sudah baik. Hanya saja, menurut mereka, “kelemahan dari UU tersebut adalah adanya penyimpangan implementasi.” Mereka menyarankan pula bahwa calo atau sponsor dilegalkan karena tanpa bantuan mereka, para TKI tidak memahami persyaratan dan bisa bekerja ke luar negeri. “Calo atau sponsor menjadi corong informasi yang tidak dibayar oleh pemerintah,” kata salah satu pejabat PPTKIS di Jember. Hal ini dapat dimengerti mengingat sedikitnya jumlah PPTKIS yang berbasis di Jember atau cabang PPTKIS yang membuka kantor secara resmi di kabupaten ini. Dari hasil penelitian tampak jelas bahwa jauh lebih banyak sponsor/calo bekerja dan mencari para calon di antara keluarga-keluarga petani termiskin dari kabupaten ini tapi PPTKIS yang membayar mereka berada di luar jangkauan dan pantauan Disnakertrans Jember. Lobby PPTKIS di hadapan pemerintah setempat kurang memadai sehingga mereka lebih mengambil opsi jalan aman.
Akhir kata, pembelajaran yang didapat setelah berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat Jember dapat direfleksikan bahwa pemahaman akan isu TKI ini sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah Jember. Pendekatan perlindungan hukum masih merupakan hal baru bagi mereka. Masih tarik ulur mengenai pentingnya perda dan apa keuntungannya bagi saya (pemerintah daerah). Di Jember, hanya ada satu PPTKIS pusat dan selebihnya adalah PPTKIS cabang/perwakilan. Ini pula yang membuat pemerintah daerah merasa tidak perlu ada perda.
Namun dari semua itu, yang patut diacungi jempol adalah sikap otentik para pemangku kebijakan dalam mengekspresikan pendapatnya. Mereka tidak malu untuk bersikap menolak atau menerima raperda ini. Sikap ini membantu kami dalam melakukan pendekatan-pendekatan alternatif lainnya.
Kelemahan dari program ini adalah keterbatasan waktu yang menyebabkan kami tidak dapat intens untuk berbicara dan bertukar pikiran kepada para pihak terutama para pengambil kebijakan. Istilah umumnya “tak kenal maka tak sayang” sangat mempengaruhi perspektif mengenai TKI.
Harapan kami, kesadaran masyarakat akan pentingnya raperda semakin utuh sehingga mereka tidak takut dalam mengambil kebijakan yang pro kepada TKI. Apabila raperda ini belum dapat dilakukan segera, maka setidaknya untuk jangka pendek, masyarakat dan pemerintah mulai berkoordinasi, bekerja bersama dalam mengupayakan perlindungan TKI.**
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:12 AM 0 komentar
Label: buruh migran, Civil society, daerah, Jember, Kebijakan, Kemiskinan, pemerintah, perempuan, petani, Reform, Research, tanggapan masyarakat
13 January 2008
Kabupaten Banyumas: “Keterbukaan yang Memberi Harapan”
Oleh Sri Palupi
TIDAK berbeda dengan dua kabupaten lainnya, masalah TKI di kabupaten Banyumas juga belum menjadi isu. Penilaian ini tidak hanya datang dari para peneliti, tetapi juga dari pihak DPRD, Disnakertrans, dan masyarakat, khususnya NGO dan akademisinya. Masalah TKI yang belum jadi isu ini bisa dinilai bukan hanya dari pandangan para pihak tetapi juga dari besaran APBD kabupaten ini yang memberi porsi sangat rendah (hanya 0,39 persen terhadap total belanja APBD 2005) untuk urusan perlindungan TKI. Padahal nilai remitansi TKI dari wilayah ini sangat tinggi, mencapai Rp 68,6 milyar pada tahun 2006. Jumlah tersebut adalah hasil kerja TKI yang dikirimkan lewat bank. Padahal yang tidak dikirimkan lewat bank atau yang dibawa TKI sendiri nilainya jauh lebih besar.Caption: Para pengusaha Perusahaan Pengerah TKI Swasta (PPTKIS) dan perwakilan kecamatan asyik membahas usulan rancangan peraturan daerah untuk perlindungan TKI di kabupaten Banyumas, Desember 2007, di hotel Moroseneng, Baturraden, Banyumas. — Harapannya, hanya PPTKIS yang berkinerja baik sajalah yang akan beroperasi di kabupaten yang para TKI-nya mengirimkan Rp68,6 milyar per tahun ini.
Masalah TKI yang belum jadi isu di wilayah ini sebenarnya memprihatinkan, mengingat kabupaten Banyumas yang memiliki 27 kecamatan dan 330 desa/kelurahan ini adalah salah satu kantong TKI terbesar di provinsi Jawa Tengah. Setiap tahun sedikitnya 945 warga kabupaten ini diberangkatkan ke luar negeri. Kami katakan sedikitnya karena jumlah TKI sebesar itu adalah yang tercatat dalam data resmi Disnakertrans karena diberangkatkan melalui prosedur yang ditetapkan. Bisa dipastikan, jumlah TKI yang diberakangkatkan ke luar negeri sebenarnya lebih besar dari yang bisa dicatat Disnakertrans. Sebab kebanyakan TKI diberangkatkan ke luar negeri tanpa melalui prosedur dan karenanya tidak tercatat dalam data resmi pemerintah. Pihak Disnakertrans memperkirakan, rata-rata 80 – 90 persen TKI dari wilayah ini diberangkatkan ke luar negeri tanpa melalui prosedur. Entah mereka itu dibawa calo/sponsor ke daerah lain atau ke Jakarta, atau para TKI itu sendiri yang langsung mendaftar ke PPTKIS di daerah lain, tanpa melalui proses perekrutan di daerah. Angka mutasi warga dari Banyumas ke daerah lain untuk diproses menjadi TKI cukup tinggi. Tidak heran kalau angka pemalsuan dokumen menjadi masalah krusial di wilayah ini. Tak heran pula kalau angka kematian TKI dari wilayah ini juga tinggi. Dalam tahun 2006, tercatat 15 TKI asal Banyumas mati di luar negeri. Pada tahun 2007 ada 13-an TKI yang mati. Belum lagi kasus-kasus lainnya. Kasus yang tercatat dalam data resmi jauh lebih kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi. Sebab mayoritas kasus tidak dilaporkan.
Lihat/klik dua tulisan lain yang terkait:
* Kabupaten Tulang Bawang: "Antara Kemauan, Keraguan & Ketakberdayaan
* TKI di Kabuaten Jember: "Anak Haram yang Dilupakan Keberadaannya"
Perjalanan ke Banyumas untuk advokasi masalah perlindungan TKI ini adalah perjalanan yang dilakukan untuk kesekian kalinya, sejak Institut Ecosoc bekerja di wilayah ini di tahun 2004 untuk sebuah riset tentang mantan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia yang bekerja di Singapura. Jadi ketika riset dilanjutkan untuk memetakan masalah TKI secara lebih luas – bukan hanya TKI yang bekerja ke Singapura tapi juga TKI dari negara tujuan lain – guna mendapatkan pokok-pokok masalah perlindungan TKI di wilayah kabupaten, pencarian mantan TKI untuk narasumber menjadi jauh lebih mudah.
Hal tak terduga yang kami temukan ketika bekerja di wilayah ini adalah keterbukaan Disnakertrans dan PPTKIS dalam bekerjasama untuk mengupas masalah TKI dan mencari alternatif solusinya. Biasanya, pemerintah dan PPTKIS itu resisten terhadap NGO yang bekerja untuk isu TKI. Di sini, para pejabat Disnakertrans rela bersusah payah mengorganisir beberapa forum pertemuan yang melibatkan para pemangku kepentingan untuk membicarakan masalah TKI. Padahal dalam setiap forum itu pula, berbagai kritik tentang kerja-kerja penempatan dan perlindungan TKI ditujukan justru pada Disnakertrans sendiri. Keterbukaan terhadap kritik dan masukan inilah yang memudahkan kerja-kerja kami di daerah. PPTKIS, Disnakertrans, akademisi, NGO, mantan TKI, perwakilan kecamatan dan para kepala desa bisa duduk bersama untuk mencari solusi. Diskusi untuk mencari solusi bisa berlangsung secara terbuka dan produktif, meskipun satu sama lain saling melontarkan kritik. Tentu saja, kepentingan masing-masing pihak tidak begitu saja bisa ditanggalkan. Namun tujuan untuk menemukan solusi yang tidak saling merugikan inilah setidaknya yang membuat ‘duduk bersama’ itu bisa terjadi.
Di wilayah ini, usulan raperda yang kami sodorkan ke pemerintah daerah, DPRD dan berbagai pihak terkait, dikupas dan dikritisi habis-habisan dari berbagai perspektif. Raperda yang sekarang disajikan dalam buku ini adalah hasil revisi kesekian kali setelah raperda tersebut di bahas dalam berbagai forum di daerah. Semua pihak yang terlibat dalam forum pembahasan usulan raperda ini antusias dengan raperda yang diajukan. Forum perwakilan kecamatan, misalnya, menegaskan bahwa kabupaten Banyumas perlu segera memiliki aturan lokal tentang perlindungan TKI, apapun bentuknya.
Menurut mereka, kalau tidak bisa dalam bentuk perda setidaknya ada surat keputusan bupati. Mereka berharap, kalau dari pihak eksekutif tidak memungkinkan menjadikan raperda ini sebagai perda, mereka mengajak semua pihak untuk mendesak DPRD untuk menjadikan raperda ini sebagai raperda inisiatif. Menurut mereka, sudah menjadi tanggung jawab DPRD untuk merespon usulan ini karena legislasi adalah tugas pokok DPRD. Itulah yang disampaikan perwakilan kecamatan yang hadir dalam pembahasan usulan raperda yang kami ajukan.
Menanggapi usulan tersebut para pejabat Disnakertrans sendiri memberi tanggapan positif. Mereka menyatakan, rencana pembuatan perda perlindungan TKI sudah mereka rencanakan sejak tahun 2005. Bahkan mereka sudah menganggarkan untuk penyusunan raperda ini. Sayang bahwa pembuatan raperda di tahun 2005 itu tidak terealisir karena adanya kesulitan di pihak Disnakertrans sendiri dalam merumuskan materinya. Tahun 2008, secara anggaran belum memungkinkan bagi Disnakertrans untuk membuat perda. Meski demikian, upaya peningkatan perlindungan ini tetap bisa diwujudkan secara bertahap. Barangkali untuk tahap pertama bisa dibuat surat keputusan bupati dulu, baru kemudian dibuat perdanya. Demikian salah satu alternatif yang disampaikan pejabat Disnakertans.
Terlepas dari persoalan anggaran, pihak Disnakertrans sendiri menyambut positif dan sangat mendukung adanya perda perlindungan TKI. Sebab selama ini mereka merasakan betul kelemahan Undang-Undang No. 39 tahun 2004. Banyak aturan dalam undang-undang tersebut yang menurut mereka tidak jelas dan menyulitkan pelaksanaannya di lapangan. Sementara kalau ada masalah dan ada korban, merekalah yang pertama-tama dituding masyarakat sebagai “yang tidak becus kerja”. Padahal segala putusan menyangkut TKI datang dari pemerintah pusat dan mereka tinggal mengikutinya. Namun yang terjadi, pihak Disnakertrans yang merasa sudah bekerja sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam undang-undang, ternyata tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan mereka. Masalah dan kasus yang mereka hadapi dari tahun ke tahun tetap saja tinggi. Alasan ini yang mendorong pihak disnakertrans mendukung usulan raperda yang kami sodorkan. Mereka berharap, adanya perda bisa menutupi kelemahan Undang-Undang No. 39/2004. Adanya perda berarti ada aturan yang lebih jelas dan tegas. “Adanya aturan yang jelas dan tegas akan meringankan kerja-kerja kami”, demikian disampaikan pihak Disnakertrans menjawab pertanyaan forum atas sikap mereka terhadap usulan raperda. Pihak Disnakertrans sendiri memberikan apresiasi terhadap forum pembahasan raperda yang menurut mereka produktif. Sebab semua pihak bisa terlibat dalam membahas, mengkritisi, dan mengajukan usulan-usulan penting menyangkut perlindungan dan penempatan TKI.
Pandangan positif juga disampaikan oleh akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Soedirman (Unsoed) yang telah mencermati isi naskah akademik dan raperda ini. Meskipun mereka melihat ada beberapa kelemahan dari usulan raperda terkait dengan aspek hukumnya, namun mereka menilai bahwa secara keseluruhan substansi usulan ini sangatlah baik dan diperlukan semua pihak, khususnya pemerintah, dalam meningkatkan perlindungan TKI di wilayah ini. Mereka menilai, usulan raperda ini tidak bisa tidak mesti ditindaklanjuti sedemikian rupa sampai raperda ini bisa menjadi perda. Tentu saja perlu ada pembahasan lebih lanjut dari raperda yang diusulkan ini agar kelemahan yang ada bisa diperbaiki.
Lalu bagaimana pandangan dan sikap PPTKIS sendiri terhadap usulan raperda? Berbeda dengan PPTKIS di dua kabupaten lainnya, PPTKIS di wilayah ini cukup terorganisir. Mereka memiliki asosiasi yang rapi. Tidak mengherankan kalau dalam forum pembahasan usulan raperda, perwakilan PPTKIS yang hadir antusias dalam mengkritisi dan memberi masukan. Sebab keberadaan perda tidak terlepas dari kepentingan mereka sebagai pelaku utama dalam penempatan TKI. Dalam pembahasan itu pula terbersit kekhawatiran PPTKIS terhadap dampak dari adanya perda. Mereka khawatir, keberadaan perda itu nantinya justru akan “kontra-produktif” dalam mengatasi masalah dan mengancam kepentingan mereka.
Kekhawatiran yang diangkat para PPTKIS itu bisa dipahami mengingat mereka sendiri tidak jarang jadi korban ketidakefisienan birokrasi, di daerah dan terlebih lagi di pusat. Bahkan di antara mereka ada yang melontarkan usulan agar perda ini tidak hanya melindungi kepentingan TKI tetapi juga PPTKIS. “Kalau kami tidak dilindungi, kami pun akan mati karena kalah bersaing dengan PPTKIS-PPTKIS nakal yang mau untung besar hanya dengan modal ‘koper’.” Bila memang raperda ini akan dijadikan perda, mereka berharap bahwa adanya perda ini setidaknya dapat membawa kebaikan dalam bentuk: 1) memperbaiki kinerja Disnakertrans dalam mengatur penempatan TKI dengan menciptakan birokrasi yang efisien dan transparan/dapat dipertanggungjawabkan, 2) melindungi dan mendorong tumbuhnya PPTKIS-PPTKIS yang berkinerja baik, sehingga hanya PPTKIS yang berkinerja baik saja yang dapat melakukan perekrutan di wilayah Banyumas. Menurut mereka, lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dan begitu mudahnya pemerintah memberikan ijin bagi pendirian PPTKIS dan ijin untuk perekrutan TKI tanpa menyeleksi kinerja PPTKIS justru akan merugikan PPTKIS yang berkinerja baik. Kondisi seperti ini pada akhirnya akan merugikan TKI dan pemerintah sendiri. PPTKIS yang berkinerja baik akan memberi prioritas pada ‘kesiapan dan keamanan’ TKI dalam menghadapi kondisi kerja di luar negeri. Dengan cara tersebut, mereka berharap para TKI akan pulang dengan sukses. Kesuksesan TKI berarti kesuksesan pula bagi PPTKIS. Bagi PPTKIS yang berkinerja baik, kesuksesan PPTKIS tidak selalu identik dengan ‘untung besar dalam sekejap’, melainkan lebih bersifat “untung yang berkelanjutan”. Sebab mereka akan dikenal para TKI dan keluarganya sebagai PPTKIS yang baik dan para mantan TKI itulah yang pada akhirnya menjadi ‘humas’nya PPTKIS dalam mempromosikan perusahaannya. Para mantan TKI itu akan memberi informasi pada para calon TKI ke PPTKIS mana sebaiknya mereka mendaftarkan diri. Cara pandang seperti ini tidak akan dimiliki oleh para PPTKIS yang hanya mencari untung tanpa peduli pada nasib TKI.
Kalau sikap DPRD-nya sendiri secara formal belum bisa dipastikan. Sebab pihak DPRD sendiri belum banyak terlibat dalam proses pembahasan raperda ini. Kesibukan dalam urusan pilkada tidak memungkinkan mereka turut aktif dalam pembahasan raperda. Maklum para anggota DPRD yang dinilai cukup vokal dalam urusan TKI ini adalah para petinggi partai yang disibukkan oleh urusan persiapan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung Februari 2008.
Meskipun tidak terlibat aktif dalam pembahasan usulan raperda, namun dalam diskusi informal bersama pihak DPRD, khususnya Komisi D (urusan kesejahteraan rakyat, termasuk ketenagakerjaan), pihak DPRD sendiri menyatakan komitmen untuk menjadikan raperda ini sebagai raperda inisiatif yang akan mereka ajukan ke sidang paripurna DPRD di awal tahun 2008. Mereka menyadari betul, masalah TKI di wilayah Banyumas krusial untuk ditangani mengingat tingginya angka kasus kematian TKI yang berasal dari daerah ini.
Bila di kabupaten Jember sudah ada organisasi TKI, di kabupaten ini pernah ada organisasi TKI namun tidak berkembang dan ada kecenderungan mati karena lemahnya pengurus dan minimnya pendampingan terhadap mereka. Sehingga terasa ada ketimpangan dalam pembahasan raperda ini. TKI yang terlibat dalam proses hanyalah individu-individu TKI dan bukan organisasinya. Padahal mereka berhadapan dengan dua kepentingan lainnya, yaitu pemerintah daerah dan PPTKIS beserta asosiasinya. Apabila tidak ada dukungan dari masyarakat, maka dikhawatirkan kepentingan TKI dalam pembahasan raperda nantinya tidak terwakili.
Salah satu faktor yang berdampak pada kelemahan advokasi perlindungan TKI melalui mekanisme perda di kabupaten ini adalah belum ada NGO/LSM atau lembaga masyarakat lainnya yang bekerja untuk isu TKI. Memang ada cukup banyak NGO/LSM, lembaga universitas/pusat studi gender dan lembaga keagamaan yang potensial menggarap isu TKI, namun mereka sendiri belum banyak mengenal dan memahami masalah TKI. NGO/LSM yang terlibat dalam proses advokasi perlindungan TKI, termasuk dalam pembahasan raperda, masih sangat terbatas. Komunikasi dan diskusi dengan berbagai NGO/LSM dan lembaga masyarakat lainnya secara lebih luas baru terjadi belakangan setelah kami melakukan diskusi publik. Usulan untuk membuat forum diskusi di luar diskusi publik datang dari beberapa aktivis NGO dan akademisi yang merasa prihatin bahwa masalah TKI di wilayah ini belum banyak dipahami dan belum jadi isu di kalangan NGO dan pusat-pusat studi gender di universitas yang ada. Forum diskusi ini melibatkan semakin banyak NGO/LSM dan lembaga kemasyarakatan lainnya yang aktif dalam advokasi masalah hak asasi.
Forum diskusi yang melibatkan perwakilan NGO, akademisi, lembaga agama, paguyuban petani dan paguyuban korban, bersepakat untuk menyetujui bahwa masyarakat di Kabupaten Banyumas membutuhkan adanya Perda Perlindungan TKI. Karena masalah TKI ini belum menjadi isu bagi masyarakat Banyumas, maka mereka mengusulkan sosialisasi usulan raperda pada masyarakat secara lebih luas. Sosialisasi seluas-luasnya atas usulan raperda ini dimaksudkan agar substansi raperda dikenal dan dipahami masyarakat secara lebih luas. Pemahaman ini nantinya akan memudahkan forum dalam mendorong dan mengawal usulan raperda ini menjadi perda. Beberapa alternatif untuk memperluas advokasi perlindungan TKI juga diusulkan, di antaranya adalah: 1) membuat tim kerja yang memfasilitasi terbentuknya forum —yang akan membahas lebih lanjut usulan raperda dan mengawal raperda menjadi perda; 2) membentuk lembaga bantuan hukum untuk penanganan kasus TKI serta memaksimalkan kerja lembaga bantuan hukum yang ada; 3) memulai langkah pengorganisasian TKI dan keluarganya. Forum menilai, upaya pengorganisasian TKI di wilayah ini bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga yang bekerja di komunitas-komunitas.
Di balik suara bulat para aktivis untuk mendukung adanya perda perlindungan TKI, terbersit keraguan akan komitmen pemerintah. Mereka menilai, adanya perda perlindungan TKI di kabupaten ini adalah niscaya, mengingat Banyumas adalah daerah kantong TKI dan banyaknya masalah yang dihadapi TKI di daerah ini. Hanya saja, mereka sendiri tidak yakin dengan komitmen pemerintah daerah dalam melindungi TKI. Keraguan semacam itu bisa dipahami mengingat pengalaman para aktivis dalam melakukan advokasi hak asasi seringkali terbentur pada masalah komitmen pemerintah, di daerah dan terlebih lagi di pusat.
Dari gambaran sekilas tentang respon berbagai pihak atas usulan raperda perlindungan TKI, setidaknya bisa dinilai bahwa di wilayah kabupaten Banyumas ada keterbukaan dari segenap pemangku kepentingan untuk duduk bersama membahas masalah TKI dan menemukan solusinya. Keterbukaan ini merupakan awalan yang baik untuk memulai langkah pembenahan perlindungan dan penempatan TKI di wilayah kabupaten Banyumas. Upaya pembenahan ini bisa dirumuskan kemudian dalam bentuk perda. Adanya perda tentang perlindungan TKI akan menjadi pegangan bagi semua pihak dalam meningkatkan kinerja perlindungan dan penempatan TKI.
Akhir kata, keterbukaan berbagai pihak untuk duduk bersama merupakan langkah awal yang baik dalam mewujudkan sistem perlindungan yang berperspektif mencegah terjadinya praktik perdagangan orang dan perbudakan yang selama ini banyak menimpa warga Banyumas, khususnya anak-anak perempuan mereka.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 3:13 PM 0 komentar
Label: buruh migran, daerah, Kebijakan, Kemiskinan, pemerintah, Reform, Research, tanggapan masyarakat
11 January 2008
Membangun Jejaring Jakarta
Tahun 2007 telah berlalu. Aliansi Rakyat Miskin (ARM) tak hanya melewati tahun ini dengan berbagai aktivitas di sepanjang 2007. Aliansi ini juga mampu merentang jaringan ke berbagai organ. Hingga akhir 2007 setidaknya tercatat ada tiga puluh lebih organisasi tergabung dan aktif dalam aliansi ini. Mereka terdiri dari organisasi kelompok miskin kota, buruh, pengamen, pedagang kaki lima, anak jalanan, LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender/transeksual), NGO, mahasiswa, dan advokat se-Jakarta.
Sejak awal 2007, ARM terus mencoba merespons perkembangan persoalan sosial yang sering menimpa warga miskin di Jakarta. Mulai dari kasus kekerasan terhadap “joki 3 in 1”, diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum LGBT, penggusuran warga miskin di kolong tol. Protes dilakukan melalui berbagai aksi dan siaran pers. ARM juga mendukung perjuangan warga Gilisampeng (Kemanggisan, Jakarta) yang tengah terancam penggusuran melalui aksi solidaritas dan audiensi dengan pemda DKI.
Kegiatan pendidikan dilakukan ARM melalui berbagai diskusi dan pemutaran film. Diskusi publik menggugat keberadaan Satpol PP dalam matarantai kekerasan yang sering menimpa warga miskin digelar pada bulan Mei. Pemutaran film di komunitas miskin Jakarta Barat dilakukan berkali-kali bulan Juni. Untuk memperkuat gerakan pengorganisasian, ARM menyelenggarakan diskusi sharing pengalaman negara tetangga dalam pengorganisasian kelompok miskin di Thailand, bulan Juli, dengan pembicara Prof Pthomrek Ketudhat (Universitas Thammasat Bangkok).
Bulan berikutnya ARM mencoba memberi perspektif tentang masalah kemiskinan untuk kalangan mahasiswa melalui penyelenggaraan diskusi mahasiswa di kampus Univesitas Negeri Jakarta.
Advokasi terhadap kebijakan publik yang merugikan kepentingan kaum miskin di Jakarta terus diupayakan. Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum yang dirasa mengancam kehidupan warga miskin di Jakarta tak luput dari sorotan ARM. Sejak September hingga akhir tahun lalu ARM melakukan aksi-aksi massa secara kontinyu untuk menggagalkan pemberlakuan perda ini di berbagai instansi pemerintah dan lembaga negara. Bahkan langkah-langkah audiensi tak hanya dilakukan melalui aliansi ini, namun masing-masing organisasi juga berinisiatif melakukan penekanan secara sektoral. Perjuangan menolak perda yang tak adil ini tetap dilakukan hingga penghujung tahun ini. Tepatnya 28 Desember lalu di kantor Depdagri.
Untuk membiayai kegiatan-kegiatan aliansi, masing-masing organisasi mengumpulkan iuran. Selain itu ARM juga mengalang solidaritas dari penyumbang individu untuk gerakan ini. Laporan keuangan kami lampirkan berikut ini sebagai pertanggungjawaban kepada publik.
Gerak mendorong perubahan kearah kemajuan otentik umat manusia harus terus dilakukan. Solidaritas harus terus dirajut demi kehidupan bersama yang lebih manusiawi dan adil. Jaringan adalah wujud kongkrit solidaritas harus terusdiperkuat.*
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:11 AM 0 komentar
Label: Jakarta, Kemiskinan, pemerintah, Penggusuran, tanggapan masyarakat, Thailand
10 January 2008
Antara Kemauan, Keraguan, dan Ketidakberdayaan
Berikut ini adalah seri tiga tulisan berupa refleksi atas kegiatan advokasi mendesakkan perbaikan pengurusan dan perlindungan para calon TKI dan para TKI di tingkat kabupaten. Tulisan pertama mengungkap pengalaman di kabupaten Tulang Bawang, Lampung; kedua, di Banyumas, Jawa Tengah, dan terakhir Jember di Jawa Timur. Artikel ini juga akan segera terbit Januari 2008 dalam bentuk buku. Kontak kami untuk mendapatkannya.
Oleh Nurus S Mufidah dan Albert B Buntoro
MENGANGKAT isu perlindungan TKI di wilayah ini pada awalnya terasa jauh lebih berat dibandingkan dengan mengangkat isu yang sama di dua kabupaten lainnya. Betapa tidak. Isu TKI itu sendiri tidak dikenal di daerah ini. Di dua kabupaten lainnya, masyarakat dan pemerintah daerahnya setidaknya sudah banyak mengetahui kasus-kasus yang menimpa TKI di wilayahnya. Sementara di kabupaten ini, kasus-kasus TKI tidak banyak dikenal. Kasus Juminem, misalnya, TKI yang terancam hukuman mati di Singapura, yang ramai jadi perbincangan publik di tingkat nasional dan banyak diberitakan media cetak dan elektronik ternyata tidak diketahui bahkan oleh pemerintah daerahnya sendiri. Kalau kasus-kasus yang menimpa TKI sendiri tidak banyak diketahui dan hanya menjadi pengetahuan pihak keluarga TKI, maka menjadikan masalah perlindungan TKI sebagai isu adalah sebuah lompatan besar.
Meskipun tidak mudah, namun kerja-kerja untuk advokasi perlindungan TKI di kabupaten ini, yang sudah dilakukan Institut Ecosoc sejak tahun 2004 sedikit banyak mampu mengangkat kasus-kasus TKI ke ranah publik. Kini, kalau kita bicara masalah TKI dengan para elit politik di daerah ini, kita tidak lagi menghadapi tembok tebal. Setidaknya para elit di daerah ini telah terbuka hati dan pikiran mereka untuk melihat persoalan TKI secara lebih dalam. Mereka mulai menyadari, maraknya percaloan yang dulu mereka lihat sebagai hal wajar, kini mulai menggelisahkan mereka. Mereka mulai mau bertanya tentang berbagai cara yang mereka bisa lakukan untuk melindungi nasib para TKI yang banyak jadi korban sistem percaloan.
Caption foto: Tak sia-sia kami datang dari jauh untuk melakukan kampanye perlindungan TKI. Isu ini langsung disambar oleh stasiun radio Tuba FM milik Pemda Tulang Bawang, Lampung dengan membuat acara talkshow bertajuk perlindungan TKI, November 2007. Mereka sampai membatalkan agenda-agenda Pilkada yang sebelumnya dipandang seksi.
Sikap keterbukaan yang mulai kami temukan di kalangan elit pemerintah daerah telah memperlancar kerja-kerja kami dalam mengangkat sistem perlindungan TKI melalui mekanisme peraturan daerah (perda). Tidak mudah awalnya, tetapi belakangan ada komitmen yang menjanjikan dari berbagai pihak di daerah ini. Peluang adanya legislasi untuk perlindungan TKI dijanjikan oleh pihak legislatif. Sementara pihak eksekutif meskipun secara eksplisit memiliki komitmen namun terhadap usulan raperda yang kami ajukan, mereka cenderung bersikap ‘hati-hati’. Demikian juga dengan PJTKI, yang khawatir kepentingan mereka akan terancam oleh keberadaan perda.
Caption: “Saya siap mengajak teman-teman di komisi D untuk jadi inisiator perda perlindungan TKI,” kata ketua komisi D DPRD Tulang Bawang Hariyati Chandralela ketika ditemui dalam lobby di gedung DPRD setempat, Menggala, Tl. Bawang, November 2007. —Mereka inilah yang paling bersikap terbuka dan membantu menyosialisasikan raperda perlindungan TKI di kalangan anggota DPRD.
Lihat/klik dua tulisan lain yang terkait:
* Kabupaten Banyumas: "Keterbukaan yang Memberi Harapan"
* TKI di Kabuaten Jember: "Anak Haram yang Dilupakan Keberadaannya"
Kerja panjang dalam advokasi perlindungan TKI sedikit banyak telah membuka peluang masalah perlindungan TKI menjadi isu di wilayah ini. Ini tampak dari sikap pemerintah daerah yang – dengan sikap hati-hatinya – merespon positif raperda yang kami ajukan pada mereka, baik secara informal maupun dalam forum resmi bersama masyarakat. Komitmen resmi datang dari wakil bupati terpilih, Agus Mardi Hartono, yang mantan kepala Disnakertrans. Ia secara serius menyampaikan rencana untuk menganggarkan dana bagi penyusunan perda perlindungan TKI dalam APBD tahun 2008 nanti. Ia sendiri mengakui, pembuatan perda perlindungan TKI sebenarnya sudah lama ia pikirkan mengingat tingginya kasus TKI yang terjadi di kabupaten yang punya tambak udang terbesar di Asia ini. Keterbatasan anggaran membuat rencana pembuatan perda perlindungan TKI belum bisa terwujud sampai sekarang.
Alasan keterbatasan anggaran ini dimungkinkan kalau kita lihat kecilnya alokasi APBD untuk urusan ketenagakerjaan, termasukTKI, yang besarnya hanya 0,25 persen. Proporsi sebesar ini tidak sebanding dengan proporsi penduduk yang dilayani. Lebih dari 50 persen warga kabupaten ini yang bekerja sebagai buruh tergolong keluarga miskin yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.
Di samping komitmen positif yang disampaikan wakil bupati, keraguan datang dari pihak Disnakertrans. Mereka setuju ada perlindungan legal terhadap para TKI, namun dengan satu syarat, yaitu bahwa perlindungan itu hanya berlaku untuk para TKI legal. Ini teruangkap dari pernyataan seorang pejabat Disnakertrans: “Kami tidak setuju jika TKI yang tidak berdokumen juga mendapatkan perlindungan, karena jika tidak berdokumen berarti tidak mempunyai identitas diri sebagai warga Tulang Bawang.” Ungkapan ini menunjukkan, pihak Disnakertrans sendiri belum sungguh paham akar masalah TKI ini. Adanya TKI ilegal memang bikin kesal, tapi mereka belum sampai pada pertanyaan mengapa ada TKI ilegal. Mereka belum menyadari, TKI ilegal adalah anak kandung dari lemahnya kebijakan perlindungan TKI. Minimnya pemahaman terhadap akar masalah TKI membuat ‘anak kandung’ itu diperlakukan sebagai ‘anak haram’ yang terus menerus diperlakukan dengan tidak adil.
Dengan latar belakang masalah seperti itu, untuk kampanye perlindungan TKI dengan mekanisme perda mau tidak mau harus menggunakan berbagai strategi yang kami rasa mampu meyakinkan berbagai pihak bahwa perda perlindungan TKI mengarah pada upaya untuk meminimalisir atau menghapus penempatan TKI secara ilegal dan peningkatan kinerja pengurusan penempatan TKI yang dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan, bukan hanya bagi para TKI, tetapi juga pemerintah daerah, dan PJTKI yang berkinerja baik. Dengan perspektif ini diharapkan, perda tidak hanya bicara soal perlindungan yang menguntungkan hanya satu pihak (TKI), tetapi juga menguntungkan semua pihak (pemerintah dan PJTKI).
Tidak berbeda jauh dengan sikap pemerintah yang cenderung hati-hati dan masih ragu dalam mengurus TKI ilegal, demikian pula sikap PJTKI. Ada PJTKI yang apatis terhadap usulan perda dan ada pula yang menyambut positif dengan syarat. Artinya, mereka setuju ada perda asalkan perda itu nantinya dapat mengatasi masalah persaingan usaha terkait dengan maraknya percaloan yang merugikan dan mengancam kelangsungan bisnis mereka. Dari sisi inilah kami menyodorkan usulan perda, yang justru mendukung kerja PJTKI yang berkinerja baik.
Keterbukaan yang sangat luas datang dari pihak DPRD, yang secara serius hendak menjadikan raperda ini sebagai raperda inisiatif. Sayang bahwa komitmen ini belum disertai dengan pemahaman dan perspektif yang baik tentang masalah perlindungan TKI di daerah ini. Masih ada anggota DPRD yang melihat masalah TKI sebagai masalah pemerintah nasional, sehingga keberadaan perda nantinya tidak banyak menjawab masalah. Minimnya pemahaman terhadap masalah TKI ini diakui banyak pihak di DPRD sendiri. Inilah yang membuat pihak DPRD sendiri mengajak kami untuk berdiskusi lebih lanjut soal TKI ini sebelum mereka masuk dalam substansi perlindungan. Sebab minimnya pemahaman akan menjadi hambatan dalam merumuskan solusi legislasinya. Dengan kondisi seperti ini, masih dibutuhkan kerja panjang agar raperda yang kami ajukan benar-benar ditangkap substansinya.
Meskipun masih menuntut kerja panjang, namun secercah harapan untuk memperluas pemahaman tentang masalah perlindungan TKI datang dari Komisi D (yang mengurus bidang kesejahteraan rakyat, yang mencakup juga bidang ketenagakerjaan) DPRD. Ketua komisi D selama ini telah membantu kerja-kerja kami dalam melakukan sosialisasi raperda perlindungan TKI pada anggota dewan. Hasilnya, beberapa fraksi besar sudah menyatakan dukungan untuk mengajukan raperda sebagai raperda inisiatif yang akan diajukan DPRD pada tahun anggaran 2008.
Lalu bagaimana dengan sikap masyarakat? Optimisme dan dukungan kuat justru datang dari masyarakat, khususnya para mantan TKI dan keluarganya. Mereka kurang paham hukum, tetapi pengalaman riil mereka selama menjalani proses menjadi TKI sangat membantu dalam pembahasan raperda di berbagai forum. Satu hal yang mereka pandang sangat strategis dalam raperda ini adalah mengatur dan menempatkan informasi tentang bekerja ke luar negeri di tingkat desa. Bagi mereka, usulan ini sangat strategis. Sistem semacam ini akan memudahkan para pencari kerja di desa untuk memperoleh informasi kerja yang benar dari sumber terdekat.
Harapannya perda ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk menghapuskan percaloan yang cenderung mengarah pada praktik perdagangan manusia. Lebih menarik lagi, dalam diskusi kelompok terbatas di desa Makarti, kecamatan Tumijajar, Tulang Bawang (Februari 2007), ada keinginan dari para mantan TKI dan keluarganya untuk mulai mengorganisir diri, guna saling berbagi informasi dan pengalaman. Bahkan sempat tertuang ide membuat suatu usaha bersama di bidang pengembangan ekonomi. Sayang bahwa usulan ini disertai dengan harapan atau tuntutan akan adanya pihak-pihak di luar mereka yang dapat membantu dalam memfasilitasi pengorganisasian.
Berbeda dengan kabupaten Banyumas dan Jember di mana terdapat banyak NGO dan juga ormas yang potensial bekerja untuk isu TKI, di Tulang Bawang tidak ada NGO atau pun ormas lokal yang potensial memberi perhatian terhadap masalah TKI. Kondisi geografis Tulang Bawang yang terpencil menjadi kendala utama. NGO dan ormas yang memiliki basis organisasi buruh migran terdekat berada di Kota Metro, Lampung (kurang lebih tiga jam dari Tulang Bawang ke arah timur). Untuk mengatasi kendala ini, kami berinisiatif untuk mengadakan forum pertemuan dengan para NGO dan ormas di kota ini dengan harapan bahwa mereka dapat membantu memberikan perhatian pada persoalan TKI di Tulang Bawang. Persoalan yang terungkap belakangan terletak bukan pada ketidakmauan atau kurangnya komitmen, melainkan ketidakberdayaan. NGO yang berdomisi di kota Metro pada kenyataannya tidak memiliki sumberdaya (manusia dan logistik) untuk dapat menjangkau Tulang Bawang.
Pertemuan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan menghasilkan sebuah usulan untuk membentuk suatu lembaga yang merupakan gabungan segenap pemangku kepantingan (Disnakertrans, polisi, NGO, organisasi buruh migran dan keluarga). Lembaga ini semacam gugus tugas daerah untuk penanganan masalah TKI. Usulan yang cukup menarik ini dimaksudkan untuk mendukung dan mengawal raperda agar menjadi perda. Mereka berharap adanya perda akan meningkatkan kinerja Disnakertrans. Namun mengingat keterbatasan masyarakat sipil di Metro, masih diperlukan kegiatan pendampingan lebih lanjut agar forum yang diusulkan ini benar-benar terbentuk dan raperda benar-benar dapat diwujudkan menjadi perda.
Di kabupaten ini kerja-kerja advokasi perlindungan TKI sungguh terbantu oleh peran media lokal. Merekalah yang sejatinya menyebarluaskan informasi perihal perlindungan TKI yang kami sampaikan pada publik. Apresiasi pantas diberikan pada media lokal (Radar Tuba) di wilayah ini. Ketika isu pilkada (isu politik lokal) menjadi isu paling seksi di berbagai media di daerah ini, Radar Tuba lebih memilih media lokal tidak terseret arus. Media ini memandang pembenahan masalah tenaga kerja, khususnya TKI, sebagai masalah penting bagi kemajuan kabupaten ini.
Pada awalnya kalangan media mengakui, selama ini media lokal belum menganggap isu TKI sebagai isu menarik. Namun ketika muncul beberapa kasus TKI yang mencuat di media nasional, media lokal mulai menempatkan masalah TKI sebagai “isu strategis”. Dampak dari muatan pemberitaan masalah TKI di daerah ini sangat besar terhadap kerja-kerja advokasi yang kami lakukan. Dalam pemberitan-pemberitaannya, usulan raperda yang kami tawarkan dipandang sebagai alternatif solusi regulasi di Tulang Bawang. Pemberitaan ini menarik perhatian banyak pihak. Pemberitaan ini pula yang mendorong banyak pihak untuk mulai terbuka bicara tentang perlindungan TKI.
Dari seluruh kerja-kerja yang kami lakukan sejak tahun 2004/2005, kami merasakan betul adanya perubahan sikap berbagai pihak di daerah ini. Di awal kerja-kerja kami di daerah ini (tahun 2005) kasus dan masalah TKI tidak banyak diketahui dan karenanya belum menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Kini kami mulai bisa bernafas lega. Meskipun perubahan dirasa masih jauh, namun terangkatnya isu perlindungan TKI di ruang publik dan adanya keterbukaan dan terciptanya ruang komunikasi berbagai pihak terkait dengan perlindungan TKI sudah merupakan langkah maju.
Ketika di penghujung tahun 2007 kami kembali lagi datang ke sana dengan membawa solusi regulasi dalam bentuk raperda, kami merasa optimis akan adanya perubahan di Tulang Bawang. Optimisme ini lahir dari berkembangnya sikap keterbukaan berbagai pihak yang terkait dengan pengurusan TKI dalam mencari alternatif perlindungan bagi TKI di wilayah ini. Tulang Bawang bisa diharapkan menjadi daerah yang lebih responsif dalam menjawab masalah TKI dan mewujudkan perlindungannya. Tentu, keraguan, keterbatasan pemahaman, ketidakberdayaan karena minimnya sumberdaya akan menjadi hambatan dalam mewujudkan perlindungan nyata bagi TKI. Namun keraguan, keterbasan dan ketidakberdayaan ini akan bisa dikikis oleh kehendak dan semangat kebersamaan dalam mengupayakan perlindungan yang lebih baik bagi TKI. Ke depan tetap dibutuhkan kerja-kerja yang dapat memfasilitasi kerja bersama semua pihak untuk mewujudkan raperda menjadi perda yang berperspektif perlindungan TKI.**
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:26 AM 0 komentar
Label: buruh migran, Civil society, pemerintah, Reform, Research, tanggapan masyarakat
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA