Saya sudah sejak tahun 1996 masuk untuk bekerja di Malaysia. Sekarang, sudah tiga tahun ini, situasi saya lebih baik. Saya bisa bekerja di restoran Jingga di Jalan Off Pudu Raya, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya mendapat upah RM40 setiap hari. Suami saya bekerja juga di Kuala Lumpur sebagai buruh bangunan. Kami sewa sebuah kamar tak jauh dari tempat kerja saya seharga RM250 per bulan. Kami masih punya uang sisa untuk dapat dikirimkan ke desa di Jember maupun ke desa suami saya di Flores. Kalau gaji tak terlambat, setiap bulan saya bisa kirim uang kira-kira RM1.000 ke desa.
Rencananya, saya masih ingin satu kali lagi menyambung permit kerja di Malaysia. Setelah itu, insya’allah ada sisa hasil untuk modal usaha, tapi rasanya ada sisa hasil atau tidak, saya akan pulang kampung untuk usaha tani di sana. Saya masih membayangkan enaknya tinggal dan bekerja di kampung, tak perlu sewa rumah, bahan makanan masih murah ..
Memang selama ini, ada saja yang terjadi di kampung yang masih jadi tanggungan saya, seperti orangtua sakit, adik saya juga sakit lalu meninggal, dsb. Saya juga membiayai semua kebutuhan perawatan kakak saya sebelum meninggal. Dia sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula dia harus membayar Rp6 juta, yang kemudian saya kirim dari sini, sebelum keluar dari rumah sakit. Tapi setelah dua minggu dia sakit lagi. Masuk rumah sakit lagi. Ongkosnya Rp5 juta. Jadi sudah Rp11 juta saya kirimkan. Kebetulan kakak pertama saya hanya bisa membantu Rp1 juta. Lalu waktu kakak yang sakit itu minta dikirim celana Lewis atau cincin, saya segera kirim. Saya berharap kakak cepat sembuh. Rupanya celana dan cincin itu belum dipakai, tapi dia sudah meninggal. Saya kirimkan seluruhnya untuk keperluan perawatan kakak saya sampai Rp14 juta. Kalau ditanya, apa ada hasilnya bekerja di Malaysia. Tentu selalu ada hasilnya, tapi dengan macam-macam keperluan itu, hasil kerja saya jadi tak nampak.
Mengapa memilih bekerja di Malaysia?
Tapi perjuangan kami berlangsung cukup panjang. Saya masuk ke Malaysia tahun 1996 waktu masih umur 16 tahun, tanpa membuat permit. Saya tak dapat izin dari orangtua. Tapi saya nekad beranikan diri sebab hidup di kampung susah. Orangtua saya miskin. Rumah kami reyot. Sementara saya lihat semua orang di desa punya rumah bagus-bagus. Saya kepingin punya rumah. Itu saja keinginan saya. Sekarang orangtua sudah tua. Tak bisa lagi kerja berat-berat. Walaupun ada sawah, masih harus tunggu empat bulan baru panen. Tak ada penghasilan yang didapat setiap harinya.
Saya bersaudara empat orang. Saya anak ketiga. Kakak tertua juga bekerja di Malaysia, di Sungai Buluh. Yang kedua sudah meninggal, baru tiga bulan lalu. Saya tak bisa pulang. Yang keempat tinggal di desa. Dia sedang akan menikah. Anak saya tiga; semua di kampung, diurus oleh nenek mereka. Yang pertama sudah klas lima, yang kedua klas dua. Yang kecil belum sekolah.
Saya minta bantuan tekong dari desa Sumberbaru di Jember untuk bisa bekerja di Malaysia. Saya tidak menggunakan jasa PJTKI karena semua orang di desa saya yang bekerja ke luar negeri tidak ada yang pakai PT. Kata mereka, kalau lewat PT urusan jadi lama, sampai antara satu bahkan dua bulan, kecuali jadi lebih mahal. Lalu kalau lewat PT jadi PRT juga tak bisa memastikan bahwa majikan itu baik. Banyak pekerja rumah diperlakukan kasar. Kalau ada saudara atau anggota keluarga yang bekerja di Malaysia, biasanya mereka juga tidak lagi lewat PT, tapi minta tolong diuruskan saudaranya itu untuk mendapatkan kerjaan.
Mengapa kau memilih bekerja di Malaysia tanpa dokumen lengkap?
Saya keluar dari dan masuk ke Malaysia sampai empat kali. Yang pertama, 1996, seperti sudah saya katakan, saya masuk dengan paspor tapi bekerja tanpa permit; bayar tekong asal desa Sumberbaru, Jember, Rp1,4 juta. Yang kedua, 1998, sama dengan yang pertama, masuk dengan dibuatkan KTP dan paspor di Tanjung Pinang dan tanpa permit kerja Malaysia; bayar tekong orang sekampung, Rp3,7 juta. Tapi, yang ketiga, kira-kira 2002, saya nekad masuk tanpa ‘paspor’; saya naik pongpong (speedboat) dari Dumai, dua jam sampai di Malaysia; dengan bantuan keluarga suami saya di Dumai saya ditemukan dengan tekong yang hanya minta Rp1,2 juta. Dengan jalan pongpong biaya lebih murah. Dan saya mengatasnamakan diri saya asal dari Jember dengan dokumen KTP saja. Saya sampai muntah-muntah kuning dalam speedboat karena guncangan ombak laut. Saya tak tahu persis di mana speedboat berlabuh di pantai Malaysia.
Masa kosongan (tak berdokumen) itu masih berlangsung setengah tahun berikutnya untuk saya. Lalu, ada dua kali pemutihan yang saya alami, yaitu tahun 2002 dan 2004. Ini jadi ongkos murah karena cukup dengan mengurus perpanjangan dokumen di KBRI dengan hanya bayar RM40, lalu bisa beli tiket dan pulang ke Indonesia. Kalau tak ada pemutihan, ini tak bisa karena tekong di sini masih akan minta banyak uang dari kita lagi. Pemutihan tahun 2004 membuat saya bisa pulang lagi --sebelum masuk keempat kalinya untuk kerja lagi di Malaysia-- untuk membuat paspor yang sesuai dengan jatidiri saya, yaitu di Surabaya atas rekomendasi dari agen di Malaysia yang telah punya hubungan kerja ke Indonesia. Saya tidak lagi kosongan sejak dari Indonesia. Di Jember saya menunggu sampai visa datang, baru berangkat ke Malaysia.
Bagaimana riwayat pekerjaan dan kehidupanmu di Malaysia?
Awalnya, setelah sampai di Malaysia, saya bekerja sebagai PRT di Sungai Buluh. Saat itu saya berjumpa dengan suami saya, asal Flores.
Setelah dibuang dari Malaysia akhirnya sampai di Dumai --sebab saya kena tangkap karena tak punya dokumen--, saya tidak mampu membayar urusan paspor (dan penempatan kerja) di Dumai. Pengurusan waktu itu harus bayar sampai Rp3,5 juta. Saya tidak mengurus di Jember karena semua TKI di desa saya menggunakan jasa tekong. Semuanya diuruskan. Jadi, sekali saja, waktu pertama kali berangkat, paspor saya diuruskan di Jember.
Menjelang dua tahun saya di Malaysia, saya pulang bersama calon suami saya untuk menikah. Umur saya waktu itu 16 tahun. Di kampung kami hanya tinggal dua bulan. Lalu kami berangkat lagi ke Malaysia.
Tapi kami bekerja di Malaysia secara kosongan. Keluar dari Indonesia kami hanya menggunakan paspor pelancong. Sampai di Malaysia, visa kami sebelumnya sudah mati. Sudah tak bisa dipakai lagi. Saya kerja di lokasi bangunan di kawasan perkebunan. Saya jadi kongsikong atau kerani. Pekerjaan saya di bagian kebersihan, cleaning service. Tugas saya sapu-sapu, kemas-kemas sisa semen, angkat sampah.
Upah saya kecil. Karena tak punya cukup uang, saya terpaksa tidak membuat permit. Sampai suatu hari di tahun 2000 itu waktu sedang makan siang saya ditangkap polisi. Saya kemudian ditahan di penjara Semenyih, KL, 12 hari.
Bagaimana keadaan di penjara Malaysia?
Di penjara keadaan sangat parah. Tak ada kekerasan langsung tapi keadaan pelayanannya tak layak. Saya jatuh sakit enam hari selama di penjara. Suara saya sampai hilang. Pagi hari hanya diberi air teh tanpa gula, sepotong roti. Lalu kami disuruh berbaris dan jumlah kami dihitung. Makan tengah hari kami hanya diberi nasi dan ikan kering. Kami diberi minum air mentah.
Benarkah dirimu pernah “dijual” selama menjalani proses deportasi?
Setelah itu saya diwajibkan pulang ke Indonesia. Saya dibuang. Saya diantarkan ke Malaka dan digiring pulang dengan tujuan Dumai. Tapi akhirnya kapal tak jadi ke sana. Baru sampai di Bengkalis saya sudah ditukar naik ferry lain. Saya dibawa ke Pakanbaru.
Di pelabuhan Pakanbaru itu kemudian terjadi “jual-menjual”. Saya sebenarnya tak mengerti benar apa yang terjadi. Yang saya tahu, setelah diberi makan dan air, lalu kami disuruh naik bis. Banyak kawan yang cantik-cantik dan body-nya oke, disuruh naik bis. Saya ikut terbawa bis itu. Bis itu membawa kami sampai jauh sekali, di luar kawasan perkampungan, di tengah-tengah hutan tapi ada sebuah rumah besar. Di rumah besar itulah ada banyak preman tapi juga anggota Brimob. Para preman itu memegang clurit dan senter.
Kami minta tolong kepada para polisi itu, tapi mereka menjawab kami, “Kami juga tak bisa dan tak boleh berbuat apa-apa di sini.” Tapi melihat perilaku mereka, buat saya jelas sekali para polisi itu bekerja sama dengan para preman.
Lalu saya mencoba minta tolong orang. Seandainya sepuluh menit saja terlambat, saya pasti sudah kena jual. Ada banyak orang yang mau membeli kami. Saya katakan pada orang itu, “Tolong katakanlah pada mereka bahwa saya ini istri awak. Tolonglah.” Lalu saya minta juga kepadanya untuk mengantar saya ke Dumai. Di sana ada keluarga suami saya yang bisa membantu. Saya bayar Rp50ribu untuk perjalanan semalam sampai di Dumai. Keluarga suami saya kemudian telpon suami saya yang sementara masih di KL. Lalu suami saya menjemput saya di Dumai.
Kami lalu pulang dulu ke Jember. Kemudian kami masuk lagi ke Malaysia tapi kami tetap kosongan. Untungnya, di Malaysia sedang ada ‘pengampunan’ (kelulusan, amnesti). Mereka yang kosongan diizinkan membuat dokumen oleh pihak Imigresen. Itu sangat istimewa karena biasanya mereka tak bisa sama sekali mengurus dokumen. Para agen memasang iklan di surat kabar dan membuka kesempatan untuk membuat dokumen. Kemudian tahun 2005 saya urus dokumen. Dan sudah tiga tahun ini saya pegang dokumen.
Berapa kali ditangkap polisi Malaysia selama tak berdokumen?
Sesungguhnya dulu waktu kosongan, saya sering ditangkap. Mungkin sampai sekitari 20 kali. Itu penangkapan-penangkapan biasa, bisa dirundingkan dengan uang. Suatu ketika dulu, sebelum menikah, waktu jalan-jalan di Kota Raya saya pernah kena tangkap dan dipaksa membayar sampai RM1.900. Lalu waktu kerja di kawasan bangunan, waktu saya keluar untuk beli ikan atau sayuran, beberapa kali saya kena tangkap. Tapi mereka tidak minta banyak, sekitar RM200 atau RM300 atau RM500. Lihat-lihat apa saya bisa pandai bicara dengan polis(i), lalu polis itu merasa kasihan, barangkali dengan RM100 pun orang tertangkap bisa dilepaskan.
Bagaimana tanggapanmu tentang perlakuan pemerintah dan polisi Malaysia?
Banyak orang Indonesia kena tangkap, termasuk yang punya dokumen. Masa yang tak punya dokumen saja lalu dirotan sampai bilur-bilur karena rotannya mengandung racun. Yang kena rotan biasanya sampai dua minggu tak bisa tidur telentang. Pantatnya keluar darah. Mereka bukan rogol atau perampok. Kami bekerja dan menyumbangkan tenaga di sini. Buat apa mereka dirotan-rotan..
Setelah menangkap polis-polis itu masih berdalih dengan banyak sekali alasan dan pertanyaan yang dibuat-buat. Walaupun permit itu asli tapi sangat sering dibantah oleh polis bahwa itu tak asli, palsu, atau segala macam alasan lain. Di sini terlalu banyak polis yang korup atau makan raswa, terutama terhadap orang Indonesia.
Mereka memang mencekik betul rakyat Indonesia. Sedikit-sedikit dan kalau berhadapan dengan situasi macam mana pun, rakyat Indonesia dipersalahkan. Mereka kurang menyebut orang-orang pendatang dari negara lain, entah Bangladesh, Vietnam atau Myanmar. Mengapa selalu orang Indonesia dikambinghitamkan? Tempat-tempat hunian orang-orang pekerja kontrak dari Indonesia disebut-sebut sebagai “sarang” orang Indonesia di dalam koran-koran. Itu bikin malu saja, kan? Memang ada orang-orang Indonesia yang jahat atau tak betul. Tapi janganlah disapu rata semua. Orang yang kerja betul pun kena sapu rata.
Apa yang kauharapkan dari pemerintah Indonesia?
Saya kadang di sini jadi pikir, pemerintah Indonesia itu kurang adil kepada warga negaranya di Malaysia. Buatlah kebijaksanaan sedikit saja kan .. Peduli sedikitlah pada apa yang terjadi pada rakyatnya yang di Malaysia. Tapi pemerintah Indonesia tak peduli, tak mau tahu. Rakyatnya hidup serba susah di sini. Tak ada dokumen jelas susah. Ada dokumen pun susah.
Apa saranmu untuk para pekerja migran dari Indonesia?
Terpulang kepada orang TKI itu sendiri. Tapi janganlah datang kosong seperti saya dulu. Susah jadinya. Jangan dengan niat yang tak baik. Datanglah ke sini kalau betul-betul mau mencari sesuap nasi, tapi janganlah jadi pekerja rumah tangga, karena sudah banyak sekali yang mengalami kasus, macam tak dibayar gaji atau dipukul majikan, disiksa. Banyak sekali saya temui di jalan-jalan itu, perempuan-perempuan yang lari dari majikannya. Beberapa kali saya menolong mereka .. **
Ditulis kembali oleh tim peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights
No comments:
Post a Comment