20 April 2006

"Pentingnya" peranan sang sekretaris

Hai teman-temanku, yang sedang berada di depan komputer ini, hari ini, 20 April 2006, aku terpengarah dan terkejut menyadari “betapa pentingnya" tugas dan peranan seorang sekretaris sebuah kedutaan besar dari salah satu negara Timur Tengah. Seorang sekretaris bisa berpeluang ikut menyengsarakan nasib seorang pembantu rumah tangga migran Indonesia yang hilang di kawasan itu lho …!

Aku baru menyadarinya setelah secara tak sengaja suatu hari kuketahui teman kosku ternyata bekerja sebagai sekretaris kedutaan besar dari salah satu negeri di kawasan itu di Jakarta. Sebut saja namanya Emina, tentu saja bukan nama sebenarnya lho, soalnya aku belum sampai hati membukanya, sekaligus aku juga masih mengharapkan dia bantu kami sich..

Emina ini cerita tentang dirinya yang sudah lama bekerja di kedutaan negara tersebut. Suatu saat datang surat dari dirjen pajak meminta kedutaan mengirimkan daftar nama pegawai lokal untuk dibuatkan nomor wajib pajak. Karena takut akan terkena pajak penghasilan, dia berusaha menghindarinya dengan bilang pada bosnya "surat tersebut tidak penting, lebih baik dicueki saja. Tentu saja si bos manggut-manggut saja, karena sudah demikian percaya kepadanya. Maklum ia karyawati lama di kedutaan itu. Ia mengaku sering melakukan hal serupa pada surat-surat lain. Asumsi saya dia pasti punya tugas menyeleksi surat-surat yang masuk dan memberi keterangan penting atau tidak mengenai isi surat-surat tersebut sebelum disampaikan kepada sang duta. Tampaknya baginya surat-surat yang penting adalah surat-surat yang berkaitan dengan pertemuan, jamuan makan, rapat, dst. dengan para pejabat. Mungkit banyak lagi surat lain yang nasibnya sama dengan surat dari dirjen pajak tersebut. Dianggap tidak penting dan menyarankan si bos untuk nyuèkin surat tersebut.

Aku langsung terperangah dan terkejut mendengar kreativitas temanku itu. Aku menghela nafas. Kenapa? Karena, sebulan yang lalu, aku, mewakili lembaga di mana aku bekerja, mengirimkan surat permohonan bantuan kepada bapak Duta Besar Arab Saudi. Surat itu juga aku tembuskan ke berbagai pihak, seperti kedutaan besar Indonesia di Arab Saudi, dan Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi, dll.

Surat itu berkaitan dengan nasib seorang pembantu rumah tangga migran asal Indonesia, namanya Dewi Yulianti, yang “lenyap” begitu saja tak berbekas. Gawat kan? Kenapa aku kirim surat? Karena orangtua Dewi mengadu kepada kami. Dewi bekerja di Arab Saudi sejak tahun 19 Desember 2003 sampai 19 Desember 2005. Namun sampai hari ini, pihak keluarga Dewi tidak mengetahui keberadaannya. Keluarga Dewi sangat kebingungan. Ibunya sakit parah dan menginginkan anaknya untuk pulang ke Indonesia. Didorong oleh rasa ingin membantu, aku berusaha menghubungi PJTKI yang semula memberangkatkan Dewi, yaitu PT Agrelia Putra Sejahtera di Jakarta. Pihak perusahaan tenaga kerja juga membantu kami mencari keberadaan Dewi dengan menghubungi mitra kerja mereka di Arab Saudi. Selain itu, aku berusaha membuat surat permohonan bantuan ke kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta agar disampaikan ke pemerintah kerajaan Arab Saudi untuk membantu mencarikan Dewi dan mengembalikan ke Indonesia.

Waktu mendengar Emina bercerita, aku terdiam. Aku tak bisa ngomong. Kutelan lidahku dalam-dalam. Tak kuceritakan padanya bahwa telah kami kirimkan sepucuk surat ke Kedutaan Kerajaan Arab Saudi perihal PRT migran Dewi yang hilang itu. Kemungkinan surat kami itu bernasib sama dengan surat dari dirjen pajak, karena sudah lebih dari satu bulan ini belum juga ditanggapi. Terbayang di kepalaku surat yang mewakili suara dari keluarga Dewi tadi barangkali sudah berada di tong sampah atau di mesin penghancur dokumen, alias tempat pembuangan. Aku tidak tahu harus menjawab apa jika pihak keluarga Dewi menanyakan soal surat yang aku kirim ke Kedutaan Arab Saudi.

Emina ini jelas sekali menjalankan tugasnya ––menyortir surat–– atas sudut pandangnya sendiri. Dari ceritera Emina jelas sekali dia memiliki kekuasaan besar untuk menentukan apakah surat tersebut perlu di-follow up atau tidak. Kalau benar dia menyingkirkan surat-surat protes atau surat permohonan bantuan, itu pasti atas dasar kreativitas dia sendiri. Gila nggak? Teman-teman pasti akan ikut kecewa mengetahui "hebatnya" peranan seorang sekretaris seperti Emina ini. Dan yang celaka tentu saja saya bukan? Dan yang lebih celaka karena nasibnya semakin tak jelas adalah Dewi Yulianti sendiri.

Gimana nih teman-teman? Ada usul nggak? Bagaimana cara membantu menyelesaikan masalah seperti ini?**

Categories: [Buruh Migran_] [Kebijakan_]

No comments:

Post a Comment