20 June 2006

Percayakah Anda bahwa pemerintah membela rakyat dengan melakukan revisi terhadap Perpres 36/2005??

Oleh Savitri Wisnuwardhani

Apa itu tanah? Mengapa kita mempersoalkan tanah? Apakah tanah begitu peliknya sehingga menjadi perdebatan bahkan menjadi pertikaian yang akhir-akhir ini mencuat beritanya di media?

Bangsa Indonesia menyebut bumi Indonesia tidak dengan sebutan motherland atau fatherland, melainkan dengan sebutan ‘tanah air’. Apakah artinya? Apa yang khas dengan kata-kata ‘tanah air’? Definisi ‘tanah air’ menurut wikipedia adalah istilah yang digunakan untuk menyebut negara atau tempat di mana seseorang dilahirkan.

Menurut saya tidak hanya itu. Dengan penyebutan Indonesia sebagai ‘tanah air’ berarti Indonesia tidak hanya terdiri dari tanah saja melainkan juga air. Konsekuensinya, bukankah kepemilikan wilayah tidak hanya dilihat dari berapa luas tanahnya, tapi juga berapa luas air atau lautnya?

Bagaimana Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menjelaskan perubahan tafsir "kepentingan umum" dari Perpress 36/2005 menjadi Perpres No.65/2006?
Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam seminar sehari, 15/6/2006, yang berjudul ‘Peningkatan Kualitas Penduduk melalui Pembangunan Pertanian, Kepastian Hukum, Kepemilikan Tanah dan Keserasian Lingkungan’, mengatakan bahwa kepemilikan usaha seseorang tak lagi dilihat dari tanahnya tapi juga dari air atau lautnya. Hal ini bisa dilihat dari nelayan. Bahkan menurutnya, ada kasus nelayan Bugis tidak mau atau tidak memperbolehkan nelayan Jawa masuk dalam teritorialnya. Wah, bisa berbahaya ini. Sudah mulai ada hukum-hukum yang dibuat oleh individu atau sekelompok orang secara partikelir tanpa pembicaraan publik yang seharusnya.

Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan peran negara menghadapi masalah tanah dan air ini? Apakah sudah ada undang-undang yang mengaturnya? Ternyata belum ada kejelasan mengenai batasan tanah dan air antara kabupaten, propinsi dan bahkan negara. Oleh karena itu banyak persoalan yang timbul. Contohnya kasus perebutan pulau Sipadan dan Ligitan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia yang sampai sekarang masih dalam proses hukum.

Lemahnya hukum terutama penegakan hukum menyebabkan perselisihan batas kepemilikan satu dengan yang lain meruncing. Menurut Dorodjatun, kelemahan penegakan hukum bersumber dari dua akar masalah.

Pertama, karena lemahnya data; dalam hal ini data adalah peta detil kepemilikan tanah atau air sampai unit masyarakat yang terkecil yakni keluarga. Minimnya dan malah ketakpedulian pemerintah kita terhadap data menyebabkan munculnya berbagai masalah. Hal ini sudah terbukti dengan munculnya kasus kepemilikan tanah di Aceh pasca tsunami. Sebentar lagi kiranya juga akan muncul di Jogyakarta dan Klaten, dua daerah yang belum lama ini dilanda bencana gempa seperti Aceh. Kedua, pendekatan pemerintah dalam menentukan batas kepemilikan tanah seseorang berdasarkan pendekatan yang sifatnya formal dan legalistik dengan mengandalkan foto satelit dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang merupakan kesepakatan antara gubernur, bupati atau walikota, tanpa melibatkan unsur-unsur masyarakat yang merupakan stakeholders terpenting.

Cacat pendekatan inilah yang menyebabkan timbulnya perselisihan, terutama ketika berhadapan dengan hak ulayat pada tanah-tanah adat. Karenanya diperlukan pendekatan lain dalam menentukan batas kepemilikan yakni dengan pengamatan dan pembuktian langsung yang benar-benar didasarkan pada pemahaman hukum adat dan atau tanah wakaf, sehingga perselisihan tanah dapat diselesaikan dan masyarakat mendapatkan ‘harga yang pantas (fair price)’ untuk hak miliknya.

Menurut Dorodjatun, salah satu niat baik pemerintah dalam penggunaan tanah untuk kepentingan umum dicantumkan dalam Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam Pepres ini pemerintah menyederhanakan banyaknya jenis sarana umum yang tergolong dalam ‘kepentingan umum’, seperti yang semula tercantum dalam Perpres No.36/2005. Pemerintah telah menghapus 14 dari 21 jenis sarana pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga menjadi tujuh jenis, yaitu sarana jalan umum dan jalan tol, rel kereta api, saluran air: sarana waduk dan bendungan; sarana pelabuhan, bandara udara dan stasiun; sarana fasilitas keselamatan umum seperti tanggul; sarana pembuangan sampah; sarana cagar alam dan budaya; sarana bagi pembangkit listrik dan transmisi lainnya.

Dengan adanya perpres yang, katanya, ‘pro-rakyat’ ini, diharapkan muncul perpres-perpres lain yang tak lagi mementingkan kepentingan pemilik modal melainkan lebih mementingkan kepentingan rakyat.

Beranikah Anda memastikan bahwa semua perpres tentang ‘kepentingan umum’ itu sungguh akan membela kepentingan rakyat?***

Categories: [Petani & Pedesaan_] [Kebijakan_]

No comments:

Post a Comment