12 July 2006

DAMPAK POLITIK BANTUAN: DARI BULGUR KE BUSUNG LAPAR

Oleh Yan Koli Bau

Sampai sekarang pengolahan data dan kontak lapangan dalam penelitian tentang fenomena busung lapar di Nusa Tenggara Timur yang dilakukan oleh The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta, terus berjalan sesuai jadual. Temuan lapangan secara perlahan-lahan dikumpulkan. Berikut ini adalah sebagian pengamatan yang teman-teman sekalian para pembaca weblog ini dapat intip. Catatan satuan penelitian untuk kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di pulau Timor ini ditulis oleh Yan Koli Bau, pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT. Ia sekaligus bekerja bersama kami untuk menguak masalah busung lapar yang belum tuntas kita fahami apa sebab-sebabnya. Malah sekarang muncul kecondongan: dampak ketergantungan masyarakat pada bantuan semakin tinggi. Rekomendasi: politik bantuan harus diluruskan. Tapi politik ini sangat dikuasi oleh semangat “proyekisme” dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Penyelesaiannya bisa rumit! Bagaimana caranya "meneruskan bantuan with do no harm"?

PENGAMATAN saya di lapangan memperlihatkan, warga masyarakat sudah sangat banyak menerima bantuan baik dari segi jenis, jumlah bantuan, lembaga pemberi bantuan maupun frekuensi menerima bantuan. Sebuah rumahtangga (yang dikategorikan) miskin yang saya temui di suatu dusun yang berada di tepi jalan raya Kupang-Atambua di TTS mengaku, mereka sudah pernah menerima bantuan medis (obat), makanan tambahan untuk anak, beras, bibit ayam, kambing, babi, sapi, anakan jeruk, pisang, kacang hijau dan sekarang akan menerima bantuan sapi. Mereka menuturkan secara jujur bahwa yang paling menyenangkan adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebab tanpa harus bekerja mereka langsung mendapat uang tunai. Mereka tidak perlu menabung.

Kisah hidup dua keluarga yang rumahnya berseberangan jalan raya dapat mempertajam pertanyaan-pertanyaan di atas sebab salah satu rumahtangga yang anaknya tidak menderita busung lapar masih memiliki lima ekor babi, empat ekor kambing, beberapa rumpun pisang dan beberapa pohon jeruk yang sudah memberi hasil selama dua tahun. Sementara di seberangnya terdapat keluarga miskin lain yang pernah mendapat bantuan tapi anaknya menderita busung lapar. Bahkan dua orang anak dalam rumahtangga ini meninggal dunia. Tak tersisa apa pun di keluarga ini. Anakan jeruk mati, pisang mati, babi tidak ada, kambing juga tidak ada. Alasannya cukup rasional: tanah tidak cocok, ternak diserang penyakit dan mati, dsb.

**

Pulau Timor dikenal bercurah hujan kurang. Musim kemarau lebih lama dibandingkan musin hujan. Topografi sebagian wilayahnya berupa tanah berlereng dengan kemiringan mencapai 60 derajat. Bagian barat pulau ini yang menjadi wilayah Indonesia sejak dahulu dihuni oleh setidaknya enam suku asli yaitu: Bunak, Dawan atau Meto, Helong, Kemak, dan Melus. Yang terakhir ini sudah punah. Sekarang kita tinggal melihat artefak peninggalannya. Konon, dahulu warga masyarakat hidup berkecukupan bahkan selalu melakukan ritual tradisional dengan menyembelih ternak kerbau, sapi, babi dan kambing untuk memuja kekuatan supernatural yang disebut dengan nama yang berbeda-beda untuk tiap kelompok etnis. Di kalangan orang Bunak kekuatan supernatural itu disebut hot gol, orang Tetun menyebutnya maromak. Orang Dawan atau Meto menyebutnya uis neno, dan sebagainya.

Barangkali seperti juga terjadi di berbagai lokasi di negeri kita, “kerusakan sosial” banyak melanda masyarakat kita. Salah satu kerusakan sosial yang dituturkan secara jujur oleh warga masyarakat adalah hilangnya solidaritas sosial dan tanggungjawab sosial dalam kehidupan bersama. Kasus kerusakan bangunan sekolah, kantor kepala desa, kantor camat, dll. barangkali merupakan pertanda kerusakan sosial. Dulu, ketika Belanda belum memperkenalkan kerja paksa dengan hukuman denda dan siksaan fisik, warga masyarakat secara gotong royong bekerja untuk kepentingan umum seperti membangun saluran irigasi, jalan kampung, rumah adat, tempat melakukan ritual tradisional. Setelah Belanda memperkenalkan kerja paksa warga masyarakat sudah mulai berubah. Mereka bekerja untuk kepentingan umum hanya karena takut akan denda dan hukuman fisik. Akibatnya semakin jauh dari kontrol penguasa Belanda, semakin banyak fasilitas umum yang tidak terawat. Kondisi ini berjalan sampai1970-an.

Selanjutnya setelah pemerintah orde baru memperkenalkan proyek-proyek pembangunan, entah proyek inpres, padat karya atau proyek jalan raya, irigasi dan bangunan atau fasilitas publik solidaritas dan tanggungjawab sosial warga masyarakat cenderung semakin memudar. Mereka enggan memperbaiki saluran air yang rusak. Bangunan sekolah, kantor kepala desa, camat atau jalan raya yang rusak karena mereka cenderung menanti datangnya proyek. Bahkan tanah longsor yang membahayakan nyawa sesamanya pun dibiarkan saja. Seolah-olah sudah tak ada lagi rasa solidaritas dan tanggung jawab sosial. Di sebuah desa jalan menuju satu situs bersejrah rusak parah. Ketika saya bertanya mengapa jalanan tidak diperbaiki, tokoh masyarakat yang menemani saya menjawab bahwa pemerintah belum mendatangkan proyek. “Kalau mau situs itu terpelihara, biarlah para keturunan penguasa setempat memperbaikinya,” katanya.

**

Di pulau Timor ini kelaparan sebenarnya juga bukanlah hal baru. Sejak dahulu orangtua mereka menurunkan ceritera bahwa leluhur mereka juga pernah mengalami kelaparan, bahkan berakibat kematian warga dalam jumlah banyak. Tahun 1930-an, 1947 dan 1978 terjadi kelaparan disertai aneka penyakit mulai dari luka sekujur tubuh hingga kematian. Warga masyarakat selalu menghubungkannya dengan pandangan mistis, kekuatan supernatural marah, atau leluhur marah. Jalan keluarnya, menurut mereka, adalah melakukan ritual pengorbanan hewan dan bahan makanan, menaati larangan-larangan merusak lingkungan, melakukan tindakan asusila, dsb. Tentu saja tidak semua hal ini jelek tapi ternyata semuanya belum mampu menjawab kejadian kelaparan itu sendiri. Sebab, kelaparan terjadi kapan saja dan di mana saja, meskipun berbagai larangan --merusak lingkungan, melakukan perbuatan asusila dan yang sejenis-- tentu saja sangat berguna.

Pemerintah, tampaknya juga cukup peka. Ketika terjadi kelaparan 1978, misalnya, pemerintah memberikan berbagai bantuan antara lain bantuan medis, bibit tanaman bahkan bahan makanan berupa bulgur. Di beberapa wilayah kecamatan di kabupaten TTS, misalnya, pemberian bulgur berjalan sampai 1972. Persoalannya: mengapa kemiskinan tidak pernah lenyap? Adakah kebijakan pemerintah tidak tepat ataukah warga masyarakat sendiri yang tidak mampu memanfaatkan bantuan pemerintah untuk mengentaskan diri dari kemiskinan? Dengan mengalirnya begitu banyak bantuan dalam beberapa tahun terakhir rupanya pertanyaan-pertanyaan di atas perlu dicari jawabnya agar ke depan baik pemerintah maupun warga masyarakat tidak melakukan program yang sifatnya mengulang-ulang kesalahan atau menciptakan masalah baru dan pola ketergantungan ‘berkelanjutan’.

**

Satu yang tersisa dari seluruh proses penelitian yang kami lakukan: sebuah catatan sejarah dalam ingatan warga masyarakat, “Ooohhh betapa murah hatinya pemerintah.” Apakah lalu ritual untuk uis neno, maromak oan, hot gol dan sebagainya akan lenyap tergantikan oleh orang-orang berseragam memegang stopmap dan kalkulator? Semoga warga masyarakat juga masih berujar: “Oohhhh betapa murah hatinya Tuhan.”**

Categories: [Busung Lapar_]

4 comments:

Anonymous said...

semoga semakin banyak anak yang bisa terbantu. Salam kebersamaan!
www.tunascendekia.org

Anonymous said...

apa hubungannya sama BLT??
memangnya curah hujan ada hubungannya ama BLT?? Kok ada busung lapar segala??
apa hubungannya sama politik???
KOK GAK NYAMBUNG BGT TOOO???!!

Anonymous said...

kalo ngobrol dengan pejabat pemerintah ntt atau tts, sering saya dengar kata2: masy tts miskin karena malas, tdk mau kerja keras, tidak mau bangun pagi dan kerja, lambat, suka melamun, mabuk dsb,-intinya, menurut mrk, masy menjadi miskin krn ‘budaya/mentalnya sudah miskin’, -blaming the victims lah pada dasarnya. apakah ada yang pernah melakukan penelitian untuk mencoba menguji statement2 para pejabat ini? kalau memang benar adanya, kira2 apakah perlu ’strategi kebudayaan’ di sana untuk merubah semua stereotypes itu? kalau salah, kira2 apa yg harus dilakukan utk mengurangi kemiskinan “kronis” di sana?

diani lost_diani@yahoo.com

Anonymous said...

Apakah Pemda TTS sudah menerbitkan Perda tentang Sumber-sumber Pendapatan Desa? Jika sudah, apakah sudah diterapkan dengan baik yakni setiap desa telah menerima Alokasi Dana Desa (ADD) sesuai PP 72/2005 tentang desa khususnya pasal 68.
Melalui ADD, Politik Bantuan Pemda akan dapat diganti dengan POLITIK HAK Masyarakat Desa.

Post a Comment