BANGKOK dan Jakarta sama-sama kota metropolitan yang berpenduduk lebih dari sembilan juta jiwa. Selain disebut sebagai “Krung Thep” (city of angel), Bangkok mendapat banyak sebutan: “the happy city”, “the eternal jewel city”, “the impregnable city of God”, dll. Dalam Guinness Book of Records kota Bangkok dikenal sebagai kota dengan nama terpanjang di dunia (multi-word place name). Sementara Jakarta tak punya sebutan apapun selain label resmi ”kota BMW” (bersih, manusiawi dan berwibawa). Sebagai kota metropolitan, keduanya menghadapi masalah yang sama: urbanisasi, kepadatan penduduk, komersialisasi lahan dan konflik ruang. Masalahnya memang sama, namun cara merespon masalah oleh pemerintah dan masyarakat di kedua kota itu sangatlah berbeda. Perbedaan itu sudah terasa saat saya mengalami ruang fisiknya.Dibandingkan Jakarta, Bangkok lebih nyaman dan tertata. Kemacetan tetap ada, namun tak separah Jakarta. Baik pejalan kaki, pengguna transportasi publik ataupun pemakai mobil pribadi, mendapat hak yang sama atas ruang kota. Pedestrian bagi pejalan kaki, taman dan kaki lima menjadi bagian penting dari kota. Yang tradisional (seperti pasar, bangunan, transportasi) dan yang modern (seperti mall, hypermarket, plaza, dll) sama-sama mendapat ruang. Betapapun kuatnya desakan komersialisasi lahan, namun kesadaran warga akan sejarah dan masa lampau-nya membuat kota ini tak sepenuhnya terjarah oleh liberalisasi ekonomi, yang terus memaksa agar segala hal bisa dijual. Terbukti, di negeri sejuta vihara ini, tanah negara dan tanah kerajaan tak boleh diperjualbelikan. Selain itu, di setiap sudut kota kita masih bisa temukan tempat atau ruang bersejarah dalam berbagai rupa: kali, bangunan tua, ruang publik, komunitas, pasar tradisional, kaki lima, dll.
Entah di bagian mana dari Jakarta ini yang memberi tempat bagi pejalan kaki, yang taman dan jalannya dihidupi sebagai ruang publik, dan yang kaki lima-nya diperhitungkan sebagai bagian dari perkembangan kota. Pada kenyataannya, Jakarta bukanlah tempat yang ramah bagi pejalan kaki, ruang publiknya banyak digusur atau dipagar tinggi dan kaki lima-nya pun cenderung diperangi. Komersialisasi ruang dan lahan tak lagi memberi tempat bagi segala hal yang berbau tradisional dan masa lampau. Meski punya moto ”Bersih–Manusiawi–Berwibawa (BMW)”, secara fisik Jakarta tak pernah bersih dari banjir dan sampah, miskin ruang publik dan tak manusiawi bagi segenap penghuninya – terlebih yang miskin, serta tak punya wibawa dalam menyikapi komersialisasi ruang dan lahan. Di Jakarta, segala hal bisa dijual, termasuk lahan (negara) dan peraturan.* (bersambung)
Keterangan foto: Seorang pedagang kaki lima di pasar jalan (street market) Bonglamphu, Bangkok. Pedagang kaki lima adalah bagian penting dalam pengembangan kota. Meski terbatas, mereka mendapatkan ruang sebagaimana para pelaku ekonomi lainnya.
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (7) — Kekuatan Civil Society
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (6) — Penggusuran Jadi Masa Lalu
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (5) — Program Baan Mankong
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (4) — Kali dan Kaum Miskin
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (3) — Kaum Miskin sebagai Aktor
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (2) — City of Everything
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (1)
No comments:
Post a Comment