12 April 2007

Membongkar kungkungan perempuan dari dapur

Di Sumba Barat, NTT para suami dengan senang hati menyediakan lahan dan tempat sebagai syarat kegiatan belajar para istri mereka.Model Kelompok Pendidikan Terpadu Berbasis Komunitas: Pengalaman Sr. Gertrudis di Yayasan Serafim di Sumba Barat






Iswanti Suparma

PENDIDIKAN kelompok perempuan yang dilakukan Yayasan Serafim merupakan sebuah terobosan. Model pendekatan yang dipelopori Sr. Gertrudis ini tak hanya menyelamatkan penderita busung lapar dari kematian yang tengah mengancam, tetapi juga mampu membuat masyarakat lebih berdaya. Kini para lelaki dan ketua adat melihat sudut pandang baru. Pendekatan ini telah mengubah sikap dan perilaku warga desa.

Yayasan Serafim awalnya memiliki pelayanan panti asuhan dan kelompok pendidikan ketrampilan perempuan. Pelayanan pendidikan ketrampilan ini diberikan pada kelompok yang dikelola oleh para suster. Peserta pendidikan adalah perempuan-perempuan yang putus sekolah, perempuan yang lari dari keluarga karena dipaksa menikah dan lainnya. Dari sinilah kelompok-kelompok itu berkembang.


Pelayanan ini dimotori oleh Sr. Gertrudis dengan penuh pengabdian. Ia bekerja tanpa mengenal lelah untuk membangun kelompok-kelompok pendidikan perempuan. Setiap kelompok memiliki anggota sekitar 30-35 orang. Kepada kelompok-kelompok inilah, biarawati tersebut memberikan pendidikan seperti menenun, memasak, mendidik anak, bercocok tanam atau ketrampilan lain yang mereka butuhkan. Masyarakat umum ternyata membutuhkan uluran tangan para suster untuk mendapatkan ketrampilan.

Mengapa masyarakat miskin itu bersemangat mencari-cari suster Gertrudis untuk belajar darinya? Ternyata, berbeda dari para petugas penyuluh lapangan (PPL), biarawati ini giat mendatangi warga, memahami budaya setempat, memberi berbagai contoh nyata dan mampu memberikan inspirasi serta menunjukkan hasil konkret yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat miskin.

Sr. Gertrudis melatih para perempuan yang membutuhkan dan memintanya. Syaratnya mereka harus berkelompok, bukan individu. Sehingga sangat nyata bahwa keinginan itu datang dari masyarakat. Bahkan untuk memastikan bahwa keinginan itu datang dari masyarakat, suster tersebut mempersyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi. Persyaratan tidak hanya diberlakukan pada perempuan-perempuan dalam kelompok itu, melainkan juga melibatkan warga yang tinggal di sekitar kelompok.

Syarat yang diminta Sr. Getrudis adalah harus ada tanah, rumah, pekarangan yang khusus dibuat untuk kegiatan kelompok itu. Syarat ini menyebabkan para laki-laki dan seluruh komunitas di desa ikut terlibat. Mereka harus membuat kelompok. Para tetua kampung mesti menyediakan tanah. Para suami membangun rumah dan pekarangan. Di rumah itulah diadakan kegiatan pendidikan ketrampilan rutin. Persyaratan itu memaksa semua anggota masyarakat terlibat, baik perempuan maupun laki-lakinya, bahkan tetua kampung atau aparat desa.

Hasilnya sekarang para suami tidak lagi sungkan untuk mengurus anak-anak ketika para perempuan belajar. Para suami juga membantu mengurus pekerjaan rumah tangga. Untuk kelompok-kelompok yang dilayani, proses pendidikan bersama ini bahkan dapat dikatakan telah berhasil mengubah cara pandang mereka terhadap adat yang mengungkung perempuan di dapur, meningkatkan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan serta sekaligus meningkatkan ekonomi rumah tangga.

Kegiatan yang dilakukan sebisa mungkin melibatkan seluruh komunitas. Untuk pendidikan ketrampilan menenun, laki-laki datang membawa bambu dan kemudian membuat alat tenun yang akan digunakan untuk belajar. Untuk latihan memasak dan belajar mengolah makanan bergizi, para laki-laki terlibat dalam kegiatan menanam sayuran di pekarangan dan kebun kelompok. Sr. Gertrudis hanya membantu memberikan bibit dan ketrampilan bercocok tanam.

Hasil latihan memasak dinikmati anak-anak dari komunitas itu secara bersama-sama. Sebelum ada pelatihan ini, para ibu sering mengeluh anaknya tidak mau makan di rumah. Namun, anehnya saat pelatihan memasak mereka mau makan sayur yang diolah bersama tersebut. Dengan cara itu, Sr. Gertrudis telah menunjukkan bahwa bukan soal makanan yang membuat anak tidak mau makan tetapi cara pengolahannya.

Kegiatan lain yang dilakukan adalah pengembangan ternak kelompok. Mereka bisa memilih kambing, unggas, babi, sapi atau kerbau. Mereka juga diajak untuk peduli terhadap lingkungan, dengan kegiatan pengadaan dan pemeliharaan air dan penghijauan. Setiap biji sayur atau buah tidak boleh dibuang, melainkan harus ditanam.

Pendidikan ini menekankan pada masyarakat untuk kembali menanam tanaman-tanaman lokal. Selain itu juga mengajarkan berbagai cara mengolah makanan lokal agar lebih menarik dan tidak membosankan. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan pola makan asli dalam keluarga yang selama ini telah berubah mengandalkan beras, yang sebenarnya tidak mampu mereka sediakan sendiri. Selama ini hasil produksi beras mereka tidak cukup dan mereka harus membeli. Ini menyebabkan penambahan pengeluaran keluarga, padahal mereka bisa mengandalkan bahan makanan pokok asli seperti jagung, umbi-umbian serta kacang-kacangan.

Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri, usaha-usaha tersebut juga untuk menambah penghasilan dan pendapatan keluarga. Keuntungan kelompok sebagian digunakan untuk kas kelompok, sebagian dibagikan pada anggota.

Kegiatan kelompok ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup keluarga, tetapi juga kualitas seluruh anggota. Misalnya, berkat keuntungan yang diperoleh dari kerja kelompok, mereka bisa memasang listrik. Dengan adanya kelompok juga lebih memudahkan mereka berhubungan dengan aparat desa, puskesmas, posyandu dan rumah sakit.

Yayasan Serafim berawal dari sebuah program penguatan masyarakat yang dibentuk oleh RS Caritas di Waitabula, Sumba Barat, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Program ini mengemban visi dan misi yang sangat luhur, yaitu menghadirkan kerajaan Allah dan berpihak pada masyarakat miskin dengan semangat kemitraan. Visi ini diinspirasi oleh semangat keruhanian para suster ADM yang mengembangkan pelayanan RS Caritas. Dengan visi dan semangat ini, community development tersebut berusaha memperluas, membela dan memberdayakan masyarakat kecil dan lemah. Karena perkembangan kelembagaan yang cepat, program ini dilepaskan dari RS Caritas, dengan membentuk yayasan tersendiri sejak 1991, yang disebut Yayasan Serafim.

Dalam menangani masalah gizi buruk – khususnya pada kasus anak-anak yang mengalami gizi buruk dan menderita penyakit-penyakit yang menjadi parah karena gizi buruk, RS Caritas melakukan penanganan langsung secara kuratif dengan pengobatan dan pemberian makanan tambahan. Sementara itu, untuk penanganan jangka panjang dan berkelanjutan dilakukan oleh Yayasan Serafim melalui program penguatan masyarakatnya.**

No comments:

Post a Comment