09 May 2007

Kekerasan terhadap Orang Miskin di Jakarta

Pengamen paling sering jadi sasaran tindak kekerasan aparat pemerintah. .. Sebanyak 66,1% dari korban mengalami kekerasan secara fisik. Mulai dari ditendang, diseret, disundut rokok, dijambak, dicekik, diinjak, dipukul, bahkan dipaksa telanjang.
ORANG miskin tidak hanya menanggung beratnya beban hidup sehari-hari. Mereka juga sering mengalami perlakuan buruk dari aparat pemangku hukum. Dari tahun ke tahun perlakuan-perlakuan buruk itu bahkan kekerasan semakin sering terjadi. Siapakah yang sering mengalami kejadian itu? Perlakuan seperti apa yang mereka terima? Berikut hasil pengamatan awal yang dilakukan Jakarta Center for Street Children terhadap 85 korban yang berhasil ditemukan di wilayah DKI Jakarta.

Walaupun orang dewasa (usia antara 19 sampai 55 tahun) merupakan kelompok yang paling banyak (58,8%) mengalami kekerasan, namun anak-anak di bawah usia 12 tahun juga tidak luput menjadi korban. Jumlahnya mencapai 8,2%. Begitu juga mereka yang lanjut usia (lebih 56 tahun) yang semestinya tinggal menikmati masa pensiun bersama anak cucunya sering menghadapi bentrok fisik dengan aparat. Jumlah mereka yang jadi korban kekerasan sebanyak 9,4%. Sedangkan anak usia remaja (13-18 tahun) sebanyak 22,4%.

Dari seluruh jumlah korban yang ditemui kebanyakan adalah laki-laki, sebanyak 72,9%. Korban berjenis kelamin perempuan mencapai 23,5%. Sedangkan 3,5% mengaku waria.

Jakarta Timur adalah lokasi paling sering terjadi tindakan kekerasan terhadap orang miskin adalah sebanyak 48,2%. Yang paling jarang adalah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan masing-masing 2,4%.















Kalau dilihat dari jenis pekerjaan, yang paling sering jadi korban kekerasan adalah pengamen. Angkanya mencapai 30,6 %. Urutan berikutnya adalah para pedagang kaki lima (28.2 %) dan pemulung (22,4%). Sisanya adalah para pengemis, pekerja seks komersial, joki 3-in-1, buruh dan penganggur.

Dilihat dari tahun terjadinya, tahun 2006 paling sering terjadi peristiwa kekerasan tersebut yaitu 35,3 %. Tahun 2007 masih sedang berjalan, namun dari catatan ini bulan Januari saja telah menyumbangkan angka kekerasan sebanyak 16,5%. Kalau dilihat perkembangan jumlah dari tahun ke tahun tindakan kekerasan pada masyarakat miskin makin marak. Dikhawatirkan akan semakin lebih banyak lagi kekerasan terjadi di tahun-tahun mendatang. Perlu juga dicatat bahwa para korban itu sebenarnya sulit ditemukan, sehingga layak diduga bahwa tahun-tahun sebelum 2006 terjadi lebih banyak lagi kekerasan dibandingkan dengan data yang tersaji di sini.

Korban sering mengalami kekerasan berangkap. Kejadiannya bervariasi. Namun yang paling sering adalah kekerasan secara fisik disertai bentuk kekerasan lain (perampasan, kekerasan secara verbal, diancam, pelecehan seksual, pembakaran gubuk dan barang bahkan sempat ada yang dibuang ke tempat jauh). Sebanyak 66,1 % dari korban mengalami kekerasan secara fisik. Mulai dari ditendang, diseret, disundut rokok, dijambak, dicekik, diinjak, dipukul, bahkan dipaksa telanjang.

Perampasan barang dagangan juga sering terjadi. Barang milik dan uang dari sebanyak 38,9% para korban itu dirampas saat rasia maupun saat ditahan di lokasi rehabilitasi. **


Update:
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Bandung
Kekerasan terhadap Petani Meningkat Tajam: Januari-April 2007

Laporan Human Rights Watch, September 2006
Condemned Communities: Forced Eviction in Jakarta

Pendataan dilakukan oleh Jakarta Center for Street Children
dan diolah oleh Sri Maryanti

5 comments:

Anonymous said...

Salam,

Saya membaca summary mengenai kekerasan terhadap orang miskin di jakarta yang diterbitkan pada blog ecosoc. Bisakah saya mendapat laporan lengkapnya?

amelia_fauzia@..

Anonymous said...

Sungguh menyesakkan membaca ringkasan riset ini. Harus ada langkah politis dan populis untuk mengecam pihak yang melakukan kekerasan.
'Sungguh celaka dan sia-sia sembahyangnya orang yang mengaku beriman karena dia tidak peduli dan menganiaya anak2 miskin/yatim'

Bagaimana cara mendapat hasil survey lengkap?
Salam, Teguh Juwarno

The Institute for Ecosoc Rights said...

Ibu Amelia dan Pak Teguh,

Tulisan tersebut saya buat berdasarkan data mentah yang diperoleh dari pendataan awal yang dilakukan teman-teman JCSC. Kebetulan kawan-kawan pengamen dan anak jalanan melakukan pendataan di sekitar tempat mereka bekerja dan tempat-tempat lain yang mereka ketahui.

Pendataan tersebut sebenarnya belum selesai dan terhenti karena mereka harus menghadapi masalah banjir di tempat tinggal mereka. Saya mencoba mengolah data yang sudah ada dan mencoba sedikit mengintepretasikannya.

Jika anda menginginkan data mentahnya, mohon menghubungi JCSC, kontak person : Heru Suprapto HP 081382917852. Kalau menginginkan gambaran kekerasan aparat dengan lebih mendalam, kawan-kawan pengamen akan lebih banyak bercerita karena mereka mengalaminya sehari-hari.


Salam
yanti

Anonymous said...

Salam,

Dalam kriminologi itu yang dikenal dengan Crime in Capitalist Society. Kejahatan adalah perilaku yang didefinisikan oleh penguasa politik dan ekonomi. Negara hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan ekonomi. Dalam bentuk praktisnya, negara (berikut aparaturnya) hanya akan menjadi tukang pukul bagi orang miskin, pengamen, pemulung, anak jalanan, dll. Sementara mereka itu tengah berupaya melakukan perubahan dalam kehidupannya.

Jika kita lihat atau baca di media massa, lebih mudah bagi kita menemukan tertangkapnya pencuri ayam, kabel listrik, pipa besi, dan lainnya oleh polisi. Tetapi bagaimana dengan para pencuri uang rakyat dengan jumlah trilyunan. Mereka bahkan "diterima" dengan baik di Istana negara. Ironis!!!

Apa yang harus dilakukan dalam situasi ini. Bagi Marx, mungkin perlu revolusi!!. Ya, namun di tengah kuatnya Criminal Justice Industrial Complex, bagaimana "revolusi" itu dapat terjadi? minimal berharap ada orang yang masih kasihan dengan para orang-orang miskin tersebut. Saya termasuk yang buntu dalam memikirkan ini.

Salam,
Iqrak Sulhin
www.kriminologi1.wordpress.com

Anonymous said...

Komentar sdr Iqrak Sulhin sangat tepat. Kebuntuan yg dihadapi orang2 berhatinurani, sesungguhnya merupakan bahagian tak-terpisahkan dari penyanderaan sistematik oleh kerangkeng paradigma ekonomi-politik neo-klasik, yg dianut dan diajarkan di seluruh lembaga pengajaran di Indonesia. Paradigma tsb bahkan dianggap sebagai hal yg aksiomatik, tak terbantahkan. Proses penyanderaan memperoleh fasilitasi penuh penguasa Negara semenjak Orde Baru dimulai. Dan ia berlaku hingga saat ini.

Sekencang apa pun seluruh perangkat keuangan dan fiskal Negara digenjot untuk bergerak maju (mengejar indikator yg selalu berubah, karena yg dijadikan patokan pun bersifat dinamik dan terus mencari derajat kepuasan baru), ia tak akan pernah menyamai negara lain yg dijadikan "tauladan." Pertama karena ada banyak faktor yg tak akan pernah bisa diwujudkan lewat replikasi indikator2 ekonomik belaka, termasuk tingkat keberagaman sosio-ekologi, latarbelakang sejarah, dsb. Kedua, karena negeri ini terlalu besar luasannya utk dikelola secara terpusat atau lewat manipulasi2 desentralistik.

Tak perlu rasanya kita harus pontang-panting mencari teori2 rujukan utk merumuskan gagasan tanding (bukan gagasan alternatif). Yg jelas bagi saya solusinya tidak akan pernah bisa ditemukan di lingkup nasion, kecuali ada banyak prakarsa penemuan2 mazab2 dan praktik2 khas di lingkup warga/ komunitas sesuai potensi dan kemampuan wilayah bersangkutan. Hal ini yg seharusnya didorong dan diusung oleh organisasi masyarakat sipil. Sayangnya organisasi tersebut seringkali tidak ada sangkut-pautnya dg krisis yg setiap hari dihadapi warga kebanyakan...

Salam

Post a Comment