13 August 2009

Pertambangan vs Pertanian vs Buruh Migran?

Albert Bambang Buntoro

Baru-baru ini Kepala Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat (NTB) menyingkap fakta bahwa kendati masyarakat nyaris tak dapat apa-apa, kontras dan mirisnya, pertambangan ternyata menjadi ‘sektor unggulan’ yang diandalkan oleh para penguasa di NTB karena memberikan sumbangan terbesar terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Capaian begitu banyak duit yang sayangnya tak dirasakan rakyat itu berada satu tingkat di atas pertanian.

Kita lalu jadi bertanya-tanya, ke mana sebenarnyakebijakan ekonomi pembangunan daerah hendak diarahkan sementara rakyat tetap miskin tertindas?

Pada semester pertama 2009, NTB mendapatkan Rp4.886 triliun dari hasil pertambangan, sementara sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB di NTB sebesar 3.992 triliun. Padahal PDRB untuk keseluruhan lapangan usaha di NTB sebesar 18.096 triliun. Artinya jika diprosentasekan akan mencapai 27 persen untuk sektor pertambangan dan 22 persen untuk sektor pertanian.

Sementara, jika kita bikin upaya perbandingan sementara —tak sebanding antara NTB sebagai provinsi dan Banyumas sebagai kabupaten?—, coba lihat, di kabupaten yang terletak di Jawa Tengah itu, pertanian menjadi ‘bidang unggulan’ yang memberikan kontribusi besar terhadap PDRB pada kisaran 20-25 persen (rata-rata tahunan). Sementara untuk sektor penggalian (pertambangan) tidak mencapai dua persen pada 2006.

Barangkali sekarang sudah lazim diakui mengapa daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam melimpah berebut investor untuk dengan sengaja mengizinkan eksploitasi besar-besaran terhadap hasil bumi adalah karena tak lain memang dari sisi hasil pada galibnya ‘menguntungkan daerah tanpa harus kerja keras.’ Kalau dibandingkan dengan upaya untuk menjadikan pertanian sebagai ‘bidang andalan’ dalam kontribusi PDRB, ya jelas pertanian akan dinomorduakan bukan?

Apa persamaan di antara kedua area administratif pemerintahan itu? Mataram dan Banyumas, misalnya, adalah sama-sama di antara dua lokasi ‘sentra’ asal pengiriman buruh migran. Asuminya banyak uang hasil kerja mereka dikirimkan ke kedua daerah ini.


Pertanyaan selanjutnya, dalam konteks pembicaraan kita ini, bagaimana dengan remitansi buruh migran yang berasal dari para warga desa yang bekerja di luar negeri? Apakah masuk dalam PDRB, jika tidak mungkin dimasukkan dalam pendapatan asli daerah (PAD)? Atau kerja keras warga desa ini masuk sebagai devisa (cadangan) yang hanya tampak pada tampilan APBN, sehingga masuk ke daerah-daerah pengirim dalam rupa dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus (DAK)?

Sementara kami ingat pula bahwa para pejabat Depnakertrans mengisyaratkan bahwa remitansi buruh migran masuk ke dalam kas ‘cadangan devisa’ negara. Tapi, apa pula implikasi konkritnya? Kalau ‘cadangan devisa’ itu biasanya berwujud berkilo-kilo persediaan emas dan mata uang asing yang bernilai milyaran dollar yang dapat dicairkan kapan saja untuk transaksi dan pembayaran internasional, apakah remitansi bisa diperlakukan sama? Apakah itu artinya, secara ekonomi makro, kita izinkan begitu saja, tanpa reserve apa pun, misalnya tanpa suatu bentuk perlindungan kategoris pada buruh migran --seperti halnya emas dan uang asing tak perlu kebijakan perlindungan?--, lalu kita bisa melegitimasikan bisnis ekspor dan percaloan tenaga kerja? Walahu`alaam dan bisa sangat menyedihkan ..

Wuih.. semua ini sebuah perjalanan yang rumit untuk menelusuri ke mana, apa dan bagaimana kodrat dari remitansi buruh migran dan kerusakan lingkungan akibat bongkar tambang itu. Btw, mungkin data yang kami tunjukkan links-nya di bawah ini bisa menambah pemahaman kita tentang karut-marut alokasi penganggaran(an) yang memang masih harus dicari tahu benang merahnya. Tapi, mohon juga tanggapan jika ada di antara teman-teman yang memiliki pendapat yang mengurai karut-marut itu.

Lihat juga ya ..




1 comment:

Blog Watcher said...

DERITA KAUM BURUH



Melambung nya harga kebutuhan pokok menjelang ramadhan, membuat nasib buruh semakin kelimpungan. Gaji Rp.800.000-Rp.900.000 per bulan (rata-rata UMK Surabaya) hanya cukup untuk kebutuhan berbuka puasa dan makan sahur. Bayangkan bila buruh sudah berkeluarga dan memiliki anak, Untuk kebutuhan makan sehari-hari aja pas-pasan, belum lagi untuk kebutuhan anak, istri saat lebaran. Semua harga kebutuhan pokok naik hampir 50%, Betapa menderitanya nasib kaum buruh.

**********

Meminta kenaikan UMK pada saat-saat ini jelas suatu hal yang mustahil, berdemonstrasi, mogok kerja atau ngeluruk kantor dewan pasti hanya menimbulkan keributan tanpa hasil, atau bisa-bisa malah digebuki Satpol PP.

THR (Tunjangan Hari Raya) yang selama ini menjadi kado hiburan bagi buruh sengaja di kebiri pemerintah. UU No 14/1969 tentang pemberian THR telah di cabut oleh UU No 13/2003 yang tidak mengatur tentang pemberian THR. Undang-undang yang di buat sama sekali tidak memihak kepantingan kaum buruh. Atas dasar Undang-Undang inilah pengusaha selalu berkelit dalam pemberian THR.

Sedangkan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, lebih memihak kepentingan investor asing dan Bank Dunia. Landasan formal seluruh aturan perundangan ini memperlemah posisi tawar buruh di bidang upah, kepastian kerja tetap, tunjangan dan hak normatif, hilangnya kesempatan kerja, partisipasi demokratis Dewan Pengupahan, dan konflik hubungan industrial. Pada prinsipnya Undang-Undang ini merupakan kepanjangan dari kapitalisme (pengusaha).

Selain masalah gaji rendah, pemberian THR, Undang-Undang yang tidak memihak kepentingan kaum buruh, derita kaum buruh seakan bertambah lengkap kala dihadapan pada standar keselamatan kerja yg buruk. Dari data pada tahun 2001 hingga 2008, di Indonesia rata-rata terjadi 50.000 kecalakaan kerja pertahun. Dari data itu, 440 kecelakaan kerja terjadi tiap hari nya, 7 buruh tewas tiap 24jam, dan 43 lainnya cacat. Standar keselamatan kerja di Indonesia paling buruk di kawasan Asia Tenggara.

Tidak heran jika ada yang menyebut, kaum buruh hanyalah korban dosa terstuktur dari dari kapitalisme global.

“kesejahteraan kaum buruh Indonesia hanyalah impian kosong belaka”

Post a Comment