Ketika Pemerintah Tak Bisa Diandalkan
Oleh Runik Sri Astuti
Ketika Ruyati membunuh majikannya, Pemerintah Arab Saudi dengan tegas menjatuhkan hukuman mati. Namun, ketika tenaga kerja Indonesia yang diperlakukan buruk oleh majikan, pemimpin bangsa ini asyik berwacana dan berpidato. Mereka tega membiarkan pekerja dan keluarganya berjuang sendiri.
Lebih dari setahun Sri pergi menghadap Sang Khalik. Namun, Yanto, suaminya, belum juga mampu melupakan peristiwa kelabu yang mengiringi kepergian ibunda dari tiga anaknya itu. Luka di hatinya teramat dalam sehingga sulit menghapus kenangan pahit saat ia harus berjuang sendiri menuntut keadilan.
Sri adalah tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur, yang berangkat Agustus 2009. Pekerja rumah tangga (PRT) ini tewas dibunuh majikannya dengan tuduhan berbuat kriminal. Ia meninggal pada 1 Januari 2010, tetapi keluarga baru mendapat kabar pada 26 Maret 2010.
Tidak terbilang berapa besar biaya, pikiran, dan tenaga yang dihabiskan, apalagi harus menyewa jasa pengacara untuk membantu selama persidangan di Arab Saudi. Dengan keterbatasan pengetahuan, uang, dan kekuasaan, terbayang bagaimana sulitnya perjuangan Yanto. Karena itu, pantas jika ia kesal terhadap pemerintah yang memiliki segalanya, tetapi tak berbuat apa-apa.
”Pemerintah kita sangat lamban, benar-benar mengecewakan. Tidak punya inisiatif, harus menunggu ada kejadian, baru melakukan tindakan. Mereka ini benar-benar tidak bisa diharapkan. Kalau bukan rakyat sendiri yang berusaha, tidak akan bisa,” katanya, Selasa (21/6).
Perjuangan yang tidak kalah hebat juga dilakukan oleh Bejo, suami Susianti, TKW asal Kabupaten Madiun yang bekerja di kota Abha, Arab Saudi. Hampir tiga tahun ayahanda Edi Santosa (6) ini mencari kejelasan nasib istrinya yang ditahan majikan sejak keberangkatannya pada 31 Desember 2007.
Susianti tak hanya tidak bisa pulang, tetapi juga tidak digaji selama bekerja. Kini, perempuan 25 tahun itu berstatus pekerja ilegal setelah masa kontrak kerjanya habis pada 31 Desember 2009. Jangankan pulang, keluar rumah majikan pun ia tak berani, takut ditangkap polisi.
”Katanya jika tidak ada halangan, istri saya dijanjikan pulang tanggal 20 Arab atau sekitar 4 Juli 2011. Semoga kali ini istri saya benar pulang. Jangan seperti sebelumnya, janji-janji pemulangan itu tidak pernah ditepati,” ujar Bejo di rumahnya.
Petani ini bercerita, istrinya berangkat melalui PJTKI di Jakarta, PT Sabrina Pramitha. Sesuai kontrak, Susianti dibeli sebagai budak oleh Saad Muhammad al-Syahroni. Namun, dalam perjalanannya, dia dipekerjakan di rumah adik Saad bernama Sofiah.
Tahun pertama bekerja, Susi tak bisa dikontak. Kiriman surat juga tak sampai. Saat itulah Bejo mulai gelisah dan mencari tahu lewat perusahaan. Bejo nekat ke Jakarta dengan modal uang Rp 3,5 juta hasil menjual sapinya. Namun, tanggapan yang didapat sungguh mengecewakan.
Tak mau menyerah, Bejo mengadu kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Apes, pengaduan Bejo hanya dicatat pada selembar kertas dan diminta bersabar karena ada ribuan TKI bermasalah yang lebih dulu mengadu.
Akhirnya, satu tahun berlalu tanpa kabar. Bejo nekat kembali ke Jakarta pada November 2010 dengan modal uang hasil menjual sapi milik keluarga mertua. Akan tetapi, uang Rp 4 juta itu pun habis tanpa hasil kecuali selembar formulir laporan yang kembali Bejo dapatkan dari petugas di BNP2TKI.
Sampai sekarang sudah empat sapi atau sekitar Rp 20 juta dihabiskan untuk mencari kejelasan nasib istrinya. Selama itu belum pernah sepeser uang pun terkirim dari Arab Saudi. Jangankan dapat rezeki, semua uangnya ludes, bahkan ia harus berutang.
Meminta bantuan ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga sudah dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil. Setelah usaha ke sana-sini, Bejo berhasil menghubungi istrinya pada 2009. Namun, bukannya merasa lega karena mengetahui keadaan Susi baik, Bejo malah sedih. Pasalnya, Susi tak bisa pulang karena gajinya masih ditahan. Setelah negosiasi dengan majikan, disepakati Susi dibayar 600 riyal (sekitar Rp 1, 4 juta) per bulan dari kontrak 800 riyal per bulan.
Setelah semua pengorbanan yang mereka lalui, Minggu (19/6), istrinya mengabarkan gajinya belum cair, bahkan diserahkan oleh majikannya kepada polisi. Alasannya, polisi akan memberikan uang itu kepada Susi setelah ia mengurus dokumen resmi. Alamak, masalah apa lagi ini?
Yanto dan Bejo hanya contoh kecil perjuangan keluarga pahlawan devisa ini demi menyelamatkan nyawa yang berada di ujung petaka serta mencari keadilan. Di negeri penghasil buruh migran ini terdapat ribuan, bahkan jutaan, keluarga yang melakukan perjuangan serupa.
Lily Pujiati, koordinator Peduli Buruh Migran, sebuah LSM advokasi hukum dan kesehatan buruh migran, mengatakan, hampir setiap hari pihaknya menerima pengaduan dari buruh migran atau keluarganya. Dalam sebulan ada lebih dari 30 kasus. Terbanyak masalah penyiksaan, gaji tidak dibayar, dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh majikan.
Pada hampir semua kasus, buruh migran dan keluarganya berjuang sendiri mencari keadilan. Peran pemerintah hampir tidak terasa. (sumber Kompas, 23 Juni 2011)
No comments:
Post a Comment