Sekolah Tanpa Ruang Belajar
Oleh Acep Iwan Saidi
Di SD terjadi contek massal. Di SMP-SMA siswa acap berkelahi. Di perguruan tinggi mahasiswa kerap tawuran. Itulah potret muram sekolah kita.
Mengapa itu terjadi? Menurut hemat saya, salah satu sumber utama persoalan sekolah kita adalah kegagapan menyikapi dan melaksanakan sistem pendidikan modern yang diadopsi dari Barat. Dahulu, saat sistem modern ini mulai dipakai, sejarah mencatatnya sebagai titik awal pencerahan. Kini rupanya kita harus meninjau ulang. Bukankah modernisme sendiri kini banyak dipertanyakan? Saya ingin mulai dari tata kelola ruang kelas.
Desain modernisme
Berbeda dengan cara belajar tradisional yang umum berlangsung informal, seperti di pondok pesantren di desa-desa hingga kini, ruang belajar modern ditata khusus: siswa duduk rapi di atas bangku yang berjejer menghadap guru di depan ruang. Desain itu kiranya bisa dibaca sebagai metafora modernisme: progresif menatap ke depan.
Adolf Loos dalam Ornament and Crime mengatakan, ornamen sebagai ciri tradisi pada arsitektur adalah kriminal, siswa dipatok meraih kebaruan dari masa depan. Di samping itu, beranalogi pada strukturalisme Ferdinand de Saussure, tatanan ini juga menciptakan pasangan berlawanan, oposisi biner. Guru ordinat dan siswa subordinat. Guru adalah pembaru, pusat kuasa yang memiliki kebenaran final.
Tak berhenti sampai di situ. Dalam perkembangannya, bangku belajar yang awalnya didesain untuk tiga siswa bahkan lebih kian menyempit. Di perguruan tinggi mahasiswa malah duduk sendiri di sebuah kursi, tiada lagi meja. Kolektivitas yang di dalamnya terbangun komunikasi rasa antarsesama teman kiri-kanan terus dikikis. Siswa dan mahasiswa dituntut kian mengembangkan sikap individualistis.
Sejalan dengan itu, suasana belajar harus pula selalu tenang. Riuh di kelas adalah penanda kacau kelas. Kecuali suara guru, suara lain harus diminimalkan. Kebiasaan membaca buku bersuara harus dihentikan. Dari sinilah lantas dikenal kebiasaan membaca dalam hati.
Tatanan ruang dan suasana belajar demikian membuat hubungan guru-murid mekanis. Guru dan murid berada dalam mesin struktur: hanya mereka yang mengikuti permainan ini yang berhasil. Buktinya siswa yang mampu dengan cepat menangkap pengetahuan adalah siswa yang taat pada peraturan dan guru. Di kota besar dan di sekolah favorit yang didukung fasilitas memadai bisa disaksikan betapa banyak siswa pintar dan mampu menembus kompetisi berbagai disiplin ilmu di tingkat dunia. Mereka umumnya siswa taat.
Barangkali itu bisa dilihat sebagai aspek positif. Namun, di balik itu terlupakan satu hal besar: tertanggalkannya nilai-nilai positif kolektivitas sebagai roh yang mencipta dan menggerakkan perilaku masyarakat kita. Karakter kita tak berpijak pada kekuatan rasio, melainkan justru pada kecerdasan emosi yang dibangun dengan guyub.
Karena itu, saat hal ini ditanggalkan, yang muncul adalah individu pandai, tapi tak berkarakter. Sekolah sangat produktif menghasilkan lulusan brilian, tapi mereka selesai saat terjun ke masyarakat. Mereka akan jadi pekerja dan sebagian yang pandai bekerja di perusahaan asing yang beroperasi di sini.
Lebih parah
Kegagapan kita pada sistem pendidikan modern lebih parah ketika sekolah diharuskan juga mengajarkan moral. Lihatlah, pendidikan moral (Pancasila) juga dimodernisasi. Ia jadi bidang studi yang matematis. Moralitas dikuantifikasi melalui angka dan nilai mutu pada akhir tahun.
Ironisnya pendidikan moral menjadi demikian mudah sebab hafalan belaka. Soal ujian moral yang berupa pilihan ganda mudah dijawab karena biasanya pilihan terpanjang adalah jawabannya: di negeri ini moral sering dijelaskan berpanjang-panjang.
Karena moral diukur secara matematis, kita lantas salah kaprah terhadap nilai kolektif sebagai fondasi karakter bangsa seperti disinggung tadi. Kolektivitas direnggut dari nilai positif hubungan kemanusiaan: ia justru didekatkan pada rasionalitas. Akibatnya, jika di sekolah seorang teman berselisih dengan seseorang dari sekolah lain, siswa satu sekolah membelanya. Terjadilah tawuran antarsekolah.
Contek massal yang disarankan seorang guru di SDN Gadel, Surabaya, Jawa Timur, terjadi dalam situasi psikologis yang mirip. Guru merasa harus menyuruh murid pintar memberi contekan kepada temannya agar perolehan nilai (angka) kolektif menjadi tinggi. Moralitas kolektif lagi-lagi diukur matematis, diabdikan pada angka.
Barangkali inilah yang ingin dicapai kurikulum berbasis kompetensi, sesuatu yang kering dari moralitas sebagai perilaku (bukan angka). Kurikulum ini menjadikan sekolah bukan sebagai ruang belajar, yakni menjadikan siswa individu yang lebih baik, melainkan untuk menciptakan kecanggihan berpikir semata.
Jika begitu terus, kita tak bisa berharap sekolah melahirkan manusia berkarakter. Harus dipikirkan kurikulum berbasis budaya. Pendidikan harus diletakkan dalam kebudayaan sebagai ”ibunya” sehingga peserta didik dapat memahami dirinya sebagai individu dalam masyarakat berbangsa yang berkarakter. Ini berarti modernisme pendidikan harus dipertanyakan bahkan mulai dari desain dan tatanan ruang kelasnya!
Acep Iwan Saidi Dosen Pascasarjana ITB; Ketua Forum Studi Kebudayaan Seni Rupa ITB
(Kompas, 24 Juni 2011)
(Kompas, 24 Juni 2011)
No comments:
Post a Comment