Oleh Anis Hidayah
Belum luruh sepenuhnya dalam pendengaran kita, delegasi Indonesia yang dipimpin Ketua BNP2TKI mengklaim adanya kesepahaman untuk perlindungan dengan Pemerintah Arab Saudi, datang kabar duka dari ”Negeri Onta” itu. Pada 18 Juni 2011, masyarakat Indonesia dikejutkan kabar eksekusi mati Ruyati binti Satubi, pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia asal Bekasi, Jabar, di Arab Saudi.
Ironisnya, Ruyati dieksekusi hanya berselang dua hari setelah Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengadopsi Konvensi Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi PRT di Geneva, Swiss, sebagai hasil Sidang Ke-100 ILO. Bagi masyarakat Indonesia, pemancungan Ruyati menegaskan realitas lain di balik yang tampak dari yang disampaikan oleh para pejabat publik negeri ini. Tak terkecuali apa yang telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perlindungan buruh migran yang didengar oleh masyarakat dunia.
Dalam rangkaian Sidang Ke-100 ILO, dalam pidatonya, Presiden SBY dengan sangat meyakinkan menyampaikan bahwa hak-hak buruh migran Indonesia telah dihormati dan terlindungi. Indonesia telah memiliki regulasi dan institusi yang melindungi pahlawan devisa tersebut. Sama sekali tak tergambar masalah serius yang dihadapi buruh migran Indonesia.
Padahal, menjelang keberangkatan SBY ke Geneva, Isti Komariah (asal Banyuwangi, Jatim) meninggal di Malaysia akibat disiksa majikannya. Ia diindikasikan tak diberi makan selama berbulan-bulan. Sementara di Singapura, Sulastri (asal Banyumas, Jateng) juga meninggal dunia karena mengalami kerusakan otak akibat percobaan bunuh diri.
Kegagalan pemerintah
Untuk itu, sesungguhnya pemancungan Ruyati adalah bukti nyata kegagalan Pemerintah Indonesia dalam membela dan melindungi warga negaranya. Apalagi, menurut keluarga Ruyati, mereka tak menerima informasi resmi apa pun dari pihak Pemerintah Indonesia menjelang eksekusi mati tersebut.
Informasi resmi baru diterima oleh keluarga setelah eksekusi dilakukan, yakni pada Minggu (19/6) pagi, dari Kementerian Luar Negeri. Informasi itu pertama kali datang kepada keluarga Ruyati justru dari Migrant Care, LSM yang selama ini sering tidak dianggap sebagai mitra strategis oleh pemerintah. Migrant Care menyampaikan informasi itu kepada keluarga pada Minggu pukul 01.00 setelah mengetahui perihal eksekusi Ruyati dari jejaring LSM dan media asing.
Kasus Ruyati sebenarnya telah diketahui oleh berbagai instansi pemerintah sejak Januari 2010. KJRI Jeddah telah mengirimkan informasi perihal ancaman hukuman mati terhadap Ruyati kepada Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kepala BNP2TKI pada 18 Januari 2010.
Semestinya berbagai instansi tersebut berkoordinasi dalam upaya pembelaan hukum untuk Ruyati. Namun, hingga eksekusi dilaksanakan, hal itu tak tampak. Justru para pemangku jabatan negara saling lempar tanggung jawab secara vulgar hingga kini.
Bisa dipahami jika keluarga Ruyati mengusir staf BNP2TKI yang mendatangi rumah Ruyati sebagai ekspresi kekesalan mereka atas ketidakpedulian pemerintah terhadap pihak keluarga yang berjuang mencari pembelaan dan perlindungan terhadap Ruyati. Sampai dua hari pascaeksekusi Ruyati, pemerintah juga belum bisa memberikan penjelasan mengenai kronologi pembelaan hukumnya: siapa pengacaranya dan kapan sebenarnya vonis tetap hukuman mati itu dijatuhkan.
Hal yang disesalkan Pemerintah Indonesia justru karena merasa kecolongan atas eksekusi mati Ruyati. Meskipun apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi dianggap melecehkan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan melanggar Mandatory Consuler Notification sebagaimana diatur dalam Konvensi Vienna, tampaknya kita juga tak akan melihat sikap tegas pemerintah apabila becermin pada kasus-kasus serupa sebelumnya.
Harus bisa melindungi
Di tengah situasi duka seperti saat ini, kita sangat menyesalkan pernyataan Kepala BNP2TKI yang menegaskan bahwa eksekusi mati terhadap Ruyati adalah peristiwa pidana dan bukan perselisihan perburuhan. Pernyataan itu tentu saja menunjukkan cara pandang pejabat publik yang hanya melihat persoalan ancaman hukuman mati dari sisi kriminalitas semata.
Padahal, sejak tiga hari bekerja, Ruyati telah mengalami penyiksaan fisik, tidak diberi makan secara cukup, kurang tidur, jam kerja tidak terbatas, tidak ada hari libur, tidak digaji selama tujuh bulan, dan tidak ada akses keluar rumah. Situasi kerja yang tidak layak seperti ini hampir dapat dipastikan akan memicu perselisihan dan berbagai masalah, yang ujung-ujungnya menyudutkan PRT migran. Situasi inilah sebenarnya gambaran umum yang dihadapi PRT migran Indonesia di Arab Saudi, termasuk Darsem. Saat ini dia tengah menanti vonis hukuman mati dengan tuduhan membunuh majikannya karena membela diri lantaran hendak diperkosa.
Saat ini tak ada gunanya lagi polemik di antara instansi pemerintah dan saling lempar tanggung jawab setelah Ruyati kehilangan nyawa. Hal prioritas yang mesti dilakukan adalah bagaimana meningkatkan keseriusan dalam memberikan pembelaan dan bantuan hukum bagi 23 buruh migran yang saat ini juga tengah menghadapi ancaman hukuman mati di Arab Saudi. Cukup sudah kegagalan membela Ruyati dan Yanti Iriyanti yang dieksekusi mati pada 2008.
Untuk itu, pemerintah perlu dan harus segera mengevaluasi pejabat dan mekanisme bantuan hukum yang dilakukan selama ini. Pengacara-pengacara yang selama ini terbukti tak bisa maksimal membela buruh migran sudah semestinya tak disewa lagi. Upaya pendampingan buruh migran yang menghadapi proses hukum juga perlu secara intensif dilakukan, termasuk memberikan konseling dan memfasilitasi komunikasi dengan keluarga.
Perlindungan untuk buruh migran Indonesia dengan berbagai problematiknya—termasuk kasus ancaman hukuman mati—tidak selesai dengan pidato, tetapi butuh langkah konkret. Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan dan KPK mengenai perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan kinerja instansi harus ditindaklanjuti segera. Juga moratorium dengan negara tujuan yang belum ada landasan MOU dengan Pemerintah Indonesia, termasuk dalam hal ini Arab Saudi.
Di samping itu, perbaikan perlindungan juga memerlukan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap pengambilan kebijakan dan penggunaan anggaran, baik yang bersumber dari APBN maupun pungutan dari buruh migran. Manajemen yang transparan akan memungkinkan keterlibatan dan peran aktif segenap komponen masyarakat dalam perlindungan buruh migran. Terakhir, kerentanan perempuan PRT migran terhadap berbagai bentuk kekerasan harus dijawab dengan segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi PRT yang baru disahkan dalam Sidang Ke-100 ILO, pekan lalu.
Anis Hidayah Direktur Eksekutif Migrant Care
Sumber, Opini Kompas Edisi 23 Juni 2011
Sumber, Opini Kompas Edisi 23 Juni 2011
No comments:
Post a Comment