Sri Palupi
Terkait hukuman pancung yang telah dijalani Ruyati, respons Presiden Yudhoyono dan para menteri kompak dan seragam. Semua menegaskan, pemerintah sudah berbuat maksimal. Hukuman pancung tidak dapat dielakkan karena ketiadaan maaf dari keluarga majikan.
Dengan argumen ini pemerintah meletakkan persoalan Ruyati sebagai persoalan personal Ruyati dengan keluarga majikan, dan negara tak bisa campur tangan. Presiden lupa bertanya di manakah negara saat Ruyati dianiaya majikan hingga ia terpaksa membunuh. Di manakah negara ketika Ruyati dijual PJTKI yang memalsukan umurnya agar ia bisa lolos ke Arab Saudi.
Dengan mengangkat pertanyaan itu kita bisa melihat betapa persoalan Ruyati adalah persoalan struktural yang melibatkan kejahatan negara. Bukan hanya pihak Arab Saudi yang memancung kepala Ruyati, melainkan Pemerintah Indonesia-lah yang pertama-tama mengirimkan Ruyati kepada algojo. Bukan hanya kepala Ruyati yang dipenggal, kita sebagai bangsa pun sudah kehilangan ”kepala”.
Dari mempelajari dokumen investigasi lembaga-lembaga internasional, saya menilai bahwa Arab Saudi termasuk negara yang sebenarnya tidak layak untuk menjadi negara tujuan TKI. Seperti Malaysia, Arab Saudi dikenal sebagai negara yang melegalkan perbudakan dan termasuk yang paling buruk dalam perlakuan terhadap buruh migran.
Arab Saudi memberlakukan sistem sponsor dalam perekrutan buruh migran. Buruh migran datang ke Arab Saudi atas undangan majikan yang bertindak sebagai sponsor. Sebagai sponsor, majikan punya hak penuh atas hidup matinya buruh migran. Buruh migran tidak bisa pindah majikan atau pindah kerja tanpa izin tertulis dari sponsor. Bahkan, buruh migran tidak bisa kembali ke negara asal tanpa izin tertulis dari sponsor. Nasib buruh migran sangat bergantung pada belas kasih majikan.
Sistem sponsor ini memungkinkan majikan jahat untuk sepenuhnya mengontrol dan mengeksploitasi buruh migran. Dampaknya adalah serangkaian pelanggaran HAM yang diderita para buruh migran di Arab Saudi dalam bentuk penahanan paspor oleh majikan, pembatasan kebebasan bergerak, ketiadaan peluang untuk pindah kerja atau berganti majikan, gaji tidak dibayarkan atau tidak sesuai kontrak, berbagai tindak kekerasan, dan ketiadaan akses untuk memperoleh keadilan.
Buruh migran yang tidak tahan dengan kondisi eksploitatif itu cenderung memilih untuk lari dari majikan dan menjadi buruh migran tak berdokumen. Agence France-Presse (AFP) mencatat, di Jeddah saja setiap bulan terdapat sedikitnya 200 buruh migran yang ditangkap karena lari dari majikan. Mereka yang ditangkap ini sering kali kehilangan hak untuk membela diri dan juga tidak mendapatkan akses ke konsulat atau kedutaan negara asal.
Mereka yang berhasil lari ke konsulat atau kedutaan pun condong akan dikembalikan lagi kepada sponsor. Mereka yang ditangkap itu sering kali ditahan tanpa tahu apa yang dituduhkan, dipaksa menandatangani pengakuan yang ditulis dalam bahasa Arab yang tidak mereka mengerti, ditahan dalam waktu lama, dan mendapat perlakuan sewenang-wenang.
Saya tidak yakin kita masih mengingat kasus Siti Zaenab binti Duhri Rupa, TKI yang dijatuhi hukuman mati di Arab Saudi karena membunuh majikannya. Ia dijatuhi hukuman mati tanpa ada pendampingan hukum. Bahkan, KBRI dan pengacara dari pihak keluarga juga tak diizinkan mengunjunginya di penjara.
Dalam sistem eksploitatif seperti itu, masihkah kita menempatkan kasus Ruyati sebagai kejahatan personal dan karena itu Presiden bisa dengan lantang mengatakan supremasi hukum di atas segalanya?
Pemerintahan algojo
Meskipun Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa supremasi hukum di atas segalanya, dalam instruksi yang diberikan Presiden terkait penanganan TKI di luar negeri tidak saya temukan adanya instruksi untuk penegakan hukum di dalam negeri. Padahal, ada lebih dari 30 peraturan perundang-undangan terkait perlindungan TKI yang selama ini tidak dijalankan.
Salah satunya adalah Pasal 27 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Dalam Ayat (1) ditegaskan, penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Meski aturannya sudah jelas, toh pemerintah selama ini menolak usulan untuk menghentikan penempatan TKI ke Arab Saudi dan negara pelanggar HAM lain.
Di mana supremasi hukum yang diagung-agungkan Presiden Yudhoyono ketika pemerintah sendiri telah melanggar hukum dengan mendorong dan memfasilitasi perdagangan TKI ke Arab Saudi, negara-negara Timur Tengah, dan negara-negara lain. Padahal, negara-negara itu tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI dan jelas-jelas melegalkan perbudakan.
Dalam instruksinya, Presiden juga tidak menyinggung soal ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Padahal, pemerintah sudah berjanji untuk melakukan ratifikasi konvensi yang urgen bagi peningkatan perlindungan TKI.
Saya juga tidak menemukan instruksi presiden untuk revisi sesegera mungkin UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Padahal, UU inilah yang menjadi sumber bencana dalam penanganan TKI karena menyerahkan urusan vital perlindungan TKI kepada PJTKI.
DPR sendiri sudah mengagendakan revisi UU No 39 Tahun 2004. Namun, tarik-menarik kepentingan antarlembaga pemerintah serta antara partai, lembaga pemerintah, dan PJTKI telah membuat kinerja DPR lemah dan keberpihakannya pada kepentingan perlindungan TKI diragukan. Sebab, bisnis perdagangan orang dengan modus penempatan TKI sungguh menggiurkan dan melibatkan banyak oknum di lembaga pemerintah, partai, dan DPR.
Tarik-menarik kepentingan ini membuktikan, kelemahan dan derita mereka (TKI) sesungguhnya adalah rezeki kita. Tidak mengherankan kalau kasus Ruyati direspons sebagai kejahatan personal. Sebab, meletakkan perkara Ruyati dalam koridor struktural akan menguak kejahatan pemerintah yang telah menjadi algojo bagi anak-anak bangsanya sendiri. Ketidakhadiran negara dalam banyak kasus TKI menegaskan, kita adalah bangsa tanpa kepala.
Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Sumber
Opini : Kompas, Edisi, 1 Juli 2011
No comments:
Post a Comment