Sulya |
“Sejak 2009 saya mengalami empat
kali perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan sawit. Dua kali perampasan
tanah dilakukan PT Bangkit Usaha Mandiri (BUM), masing-masing seluas 27 hektar kebun
karet dan 5 hektar kebun karet lainnya. Perampasan lahan yang dua lagi
dilakukan PT Bumi Hutan Lestari (BHL), masing-masing seluas 4 hektar kebun
buah-buahan yang di dalamnya ada tanaman karet dan 9 hektar ladang padi. Tanpa
sepengetahuan saya, perusahaan membakar dan merusak kebun dan ladang. Saya
sudah berulangkali menyampaikan protes ke pihak perusahaan dan mengadu ke
lembaga adat, pemerintah desa, kecamatan, dan kepolisian untuk meminta tanah saya
dikembalikan. Protes saya tak ditanggapi. Perusahaan membayar preman untuk mengancam
dan meneror saya. Saya dipaksa menerima ganti rugi sebesar Rp 13,5 juta untuk
27 hektar kebun yang berisi ribuan pohon karet dan Rp 20 juta untuk 4 hektar
kebun buah-buahan. Uang Rp. 13,5 juta yang saya dapat dari PT.BUM tak sebanding
dengan dana yang sudah saya keluarkan untuk menanam karet. Biaya pembersihan
lahan saja Rp 500 ribu per hektar, tidak termasuk biaya pembelian bibit,
penanaman dan perwatan. Bisa menghabiskan Rp 3 juta rupiah untuk setiap
hektarnya.” (Sulya, warga desa Mirah Kalanaman, kecamatan Katingan
Tengah, kabupaten Katingan)
Dampak langsung dari kehadiran dan ekspansi perkebunan sawit di wilayah Kalimantan Tengah adalah hilangnya hutan, tanah ulayat/tanah adat, tanah rawa, ladang, sawah, dan kebun warga yang kemudian berganti menjadi perkebunan sawit berpola monokultur. Komunitas-komunitas masyarakat adat kehilangan hak atas tanah ulayat/tanah adat yang selama ini dikelola secara komunal. Banyak warga juga kehilangan “hak pemilikan” ladang dan kebun. Bahkan di desa tertentu, seperti desa Mirah Kalanaman, 75 persen warga kehilangan lahan garapan, dengan luasan mencapai 40 sampai 74 persen dari total luas lahan sebelum dirampas perusahaan sawit. Kehilangan lahan garapan adalah fakta paling umum yang banyak dihadapi warga dan komunitas yang berada di sekitar area perkebunan sawit.
Perusahaan mengambil alih penguasaan/pengelolaan tanah dengan berbagai
pendekatan. Mulai dengan cara-cara halus, yaitu bujuk rayu, janji-janji, suap, skema kemitraan, sampai dengan cara kekerasan, seperti perusakan dan pembakaran lahan, membayar
preman, menggunakan strategi adu domba, dan lainnya. Untuk mempercepat proses
perampasan lahan, perusahaan cenderung menggunakan strategi ‘garap slonong’, yang berarti membabat
atau merusak dulu lahan-lahan warga dan tanah ulayat tanpa seijin dan sepengetahuan warga dan komunitas. Dengan cara
ini perusahaan mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama, mempercepat
pengambilalihan tanah. Setelah lahan mereka dibabat dan dirusak, warga akhirnya
terpaksa merelakan lahan mereka diambil alih perusahaan. Kedua, mempercepat
proses penyelesaian ganti rugi. Dengan mempertimbangkan lahan sudah terlanjur
dirusak dan dibabat, warga akhirnya memilih menerima ganti rugi daripada tidak
mendapatkan apa-apa. Apabila ada warga yang menuntut dan melakukan protes
terhadap tindakan perusahaan, perusahaan cenderung melakukan ‘tekanan’ untuk
menghentikan protes warga dengan berbagai cara, seperti adu domba antarwarga,
menggunakan preman bayaran, menggunakan aparat keamanan, dan lainnya. Tekanan
membuat warga ketakutan dan akhirnya memilih menyerah dan merelakan lahan
mereka diambilalih perusahaan daripada mereka terus menerus menghadapi orang-orang suruhan perusahaan.
Foto :@chelluz.ecosocrights.2012
Lokasi : Kampung Samba kecamatan katingan Tengah, Kab. katingan, Prop. Kalimantan Tengah
No comments:
Post a Comment