10 June 2006

Emeritus, gizi buruk, ditinggal ibu jadi TKI di Malaysia

Emeritus Djangga Dewa, kelurahan Mauliru, Waingapu, Sumba Timur, lahir 20 Juni 2004, gizi sangat buruk, sakit-sakitan.






"Mama di mana?"








Anak malang dari pinggiran kota Waingapu, Sumba Timur ini sudah satu tahun ditinggal ibunya, bekerja di Malaysia. Ia terpaksa disapih sementara kondisi tubuhnya dan situasi ekonomi lemah dalam rumah tangga. Anak ini sudah tergolong berstatus gizi amat buruk. Bagaimana keadaannya sekarang?

Kini berat badan Emeritus hanya delapan kilo pada Mei 2006. Ia sering sakit-sakitan: demam, bantuk, pilek, diare. Perut Emeritus buncit. Memang tubuhnya tampak gemuk tapi lebih banyak isi air.

Ibunya, Sara Djangga Dewa, sayang, tak meninggalkan alamat sama sekali. Ia sekarang hidup bersama ayahnya saja, nDanung Nguli Wali. Tapi kedua orangtua Emeritus ini tak tamat sekolah dasar. Mereka kesulitan mendapatkan nafkah. Ayahnya juga tak punya tanah dalam ukuran kepemilikan di pulau Sumba. Memang ini agak aneh, karena bukankah pulau Sumba itu jarang penduduknya tapi luas areal tanahnya? Tapi statistik semakin langka kaitannya dengan kenyataan sosial yang sangat tak adil yang menimpa keluarga-keluarga miskin.

Luas tanah yang masih dikelola (hanya) 25 are (seperempat hektar) lahan kering. Tapi kecuali produksi amat rendah juga gagal panen. Penanaman jagung hanya menghasilkan 10 krandi (satu krandi ~ tiga kilo). Tanaman kacang hijau juga tak berbuah, karena musim hujan berlebih telah membuat daun-daunnya mengkerut. Untuk keperluan makan sehari-hari, masih bisa menjual pisang. Tapi ketika pisang belum berbuah, beberapa ekor ayamnya bisa ditukarkan dengan uang.

Situasi jadi lebih parah ketika Om nDanung harus membawa Emeritus ke rumah sakit. Lelaki ini harus menghutang pada tetangga. Beberapa kali terjadi ia juga harus mencari-cari hutang sampai tiga hari sementara Emeritus seharusnya sudah dibawa ke rumah sakit. Untuk opname singkat sudah bisa mengeluarkan biaya sampai Rp250.000. Kalau sedang tak ada uang, ya sang ayah menunda pembayaran dulu. Tapi nanti kalau sakit lagi? Bagaimana? Terpaksa Emeritus tak dibawa ke rumah sakit dulu. Cari utang-utang dulu. Tiga hari kemudian utang baru didapat. Tapi itu sudah terlambat.

Categories: [Busung Lapar_] [Nusa Tenggara Timur_] [Buruh Migran_]

2 comments:

Anonymous said...

Masa orang miskin di NTT manggil ibunya "mama"?

The Institute for Ecosoc Rights said...

Kata "mama" di Sumba (dan juga banyak tempat lain di Indonesia Timur) pada umumnya sudah banyak dikenal, terutama untuk keluarga-keluarga yang cukup 'rentan' pada perubahan. Untuk di pedesaan yang, misalnya, televisi saja masih jarang, seperti Kambatatana (kec Pandawai), anak-anak banyak terdengar memanggil ibunya "ina". Desa Mauliru, tempat dan asal bocah Emeritus itu, berada di pinggian ibukota kabupaten Sumba Timur, Waingapu. Listrik dan jalan beraspal sudah cukup lama dibangun. Dan Emeritus memang memanggil ibunya "mama". Masih ingat dengan mama Yosefa dari Timika, seorang ibu dari keluarga miskin suku Amungme yang gigih menggugat perusak lingkungan Freeport McMoran sampai di Amerika Serikat sana? Sejajar pada pengutamaan status sosial dalam berbagai kelompok masyarakat, sebutan "mama" juga dipandang mengangkat dan menghormat seorang ibu. Masih ingat nama lain dari pulau Seram di Maluku? Nusaina. Pulau itu dipandang sebagai "induk" asal dari penghuni-penghuni lain di pulau-pulau lain di Maluku.

Post a Comment