BAIK di Jakarta maupun di Bangkok, kaum miskin sama-sama menempati ruang-ruang marjinal, seperti pinggir kali, pinggir rel, trotoar bagi pedagang kaki lima (PKL) dan lahan-lahan kosong milik pemerintah, milik pribadi atau milik korporasi. Di kedua kota ini, akses masyarakat miskin atas ruang dan lahan kota sangat terbatas. Pemerintah Bangkok dan Jakarta sama-sama berorientasi pada terwujudnya kota yang bersih. Kebijakan membangun kota dengan paradigma kota yang bersih selama ini condong menempatkan kaum miskin sebagai sumber masalah. Sebab kemiskinan acapkali disejajarkan dengan kekumuhan. Membangun kota yang bersih berarti memerangi kekumuhan. Sampai pada titik ini, tak ada jarak berarti antara Jakarta – Bangkok. Keduanya sama-sama memerangi kekumuhan. Yang membedakan adalah caranya.
Cara memerangi kekumuhan disandarkan pada paradigma yang sangat berbeda antara Jakarta – Bangkok. Jakarta memerangi kekumuhan dengan mengusir kaum miskin, lewat beragam cara: mulai dari pengabaian, penggusuran, pembakaran, sampai operasi yustisi. Sebab bagi pemerintah Jakarta, kaum miskin dipandang sebagai yang tak punya andil bagi pengembangan kota. Bahkan lebih dari itu, kaum miskin diposisikan sebagai beban. Cara pandang demikian ini bisa kita baca dari sikap dan tindakan penguasa kota Jakarta, yang sedikit pun tak ada rasa peduli saat bicara soal kaum miskin di Jakarta:
Gubernur Sutiyoso:
Sebagai gubernur saya malu pada orang asing yang datang ke Jakarta. Setelah keluar dari bandara, mereka langsung disuguhi pemandangan kumuh di wilayah banjir kanal. Pemda DKI sendiri mengemban amanat untuk menciptakan ibukota yang tertib, aman, nyaman, bersih dan indah, sehingga Jakarta representatif sebagai ibukota. Namun Pemda DKI menghadapi kendala urbanisasi yang tak terbendung dan banyaknya PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial) yang melanggar Perda 11/1988. Untuk itu, Pemda memilih upaya penegakan hukum.
Pernyataan ini diujarkan dalam pertemuan dengan Komisi II DPR RI Sub Komisi Hukum dan HAM membahas masalah penggusuran pemukiman miskin, 7 Februari 2002.
Kasudin Trantib Jakarta Utara Toni Budiono:
Pembakaran atau bumi hangus merupakan salah satu taktik dalam operasi penertiban bangunan liar seperti bantaran kali. Dalam keadaan terpaksa, pembakaran bangunan ditempuh untuk memudahkan operasi membongkar.(Kompas, 21 Nopember 2001)
Walikota Jakarta Pusat Abdul Kahfi:
Program peremajaan lingkungan kumuh menjadi rumah susun, gedung pusat perkantoran dan sentra bisnis, telah berhasil mengurangi jumlah penduduk Jakarta Pusat dalam enam tahun terakhir.(Kompas, 29 April 1996)
Di Bangkok, kaum miskin punya pengalaman yang sangat lain. Pemerintah Bangkok melihat komunitas miskin sebagai aktor yang punya andil besar bagi pengembangan kota. Andai tidak ada kelompok miskin kota – yang selama ini menyediakan buruh murah dan makanan murah, biaya hidup di Bangkok akan sangatlah mahal. Kesadaran semacam inilah yang ada di kepala pemerintah Bangkok dan civil society-nya. Persoalan kekumuhan mereka pandang sebagai dampak dari minimnya infrastruktur, pelayanan dan jaminan keamanan di ruang-ruang marjinal yang menjadi hunian bagi komunitas miskin. Dengan sudut pandang seperti ini, solusi atas masalah kekumuhan tidak lagi menempatkan kaum miskin sebagai ”sumber masalah” atau ”sampah” yang pantas disingkirkan, melainkan sebagai bagian dari pengembangan kota. Selain itu, upaya mengatasi masalah kemiskinan di kota juga mereka padukan dengan upaya mengatasi kemiskinan di pedesaan. Dengan cara inilah pemerintah Thai menghindari atau setidaknya mengurangi urbanisasi.* (bersambung)
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (7) — Kekuatan Civil Society
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (6) — Penggusuran Jadi Masa Lalu
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (5) — Program Baan Mankong
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (4) — Kali dan Kaum Miskin
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (3) — Kaum Miskin sebagai Aktor
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (2) — City of Everything
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (1)
Lihat versi Inggris.
No comments:
Post a Comment