08 March 2007

Kekuatan Civil Society

Berjuta Jarak antara Jakarta — Bangkok (7)

Pengakuan hak komunitas miskin atas kota yang semakin luas terjadi di Bangkok, tidak serta merta terwujud karena kebaikan atau kepedulian pemerintahnya. Pengakuan itu sedikit demi sedikit terjadi karena desakan dan perjuangan panjang komunitas-komunitas miskin yang mengorganisir diri, membangun jaringan dan mendapat dukungan luas dari NGO, akademisi dan kelompok profesi.

Nyaris tak ada jarak yang memisahkan antara komunitas miskin dengan kelas menengah yang ada di sana. Bukan hanya NGO yang mengorganisir komunitas miskin tetapi juga para akademisinya. Dosen dan profesor di sana tidak canggung berdiskusi dan bergaul dengan warga komunitas miskin. Sedikitnya 10% akademisi di sana terlibat dalam mendukung perjuangan komunitas miskin dalam memperoleh haknya. Seorang profesor dan dosen dari Universitas Tamasad yang saya temui, terlibat aktif dalam pengorganisasian 13 komunitas miskin. Seorang dosen lain dari universitas Silapakorn terlibat membantu komunitas Mahakan Fort yang sedang terancam digusur oleh komersialisasi lahan dan bangunan tua. Akademisi, NGO, kelompok profesi – seperti pengacara, arsitek, dll, bersama dengan komunitas miskin berjuang untuk mendesakkan pengakuan hak masyarakat miskin. Koalisi akademisi, progesi, NGO dan komunitas miskin ini sekaligus menjadi kekuatan pengontrol bagi arah pengembangan kota.

Kunjungan pada tiga komunitas yang terancam tergusur, yaitu komunitas ”Wang Lee”, ”Kratum Diew”, dan ”Mahakan Fort”, semakin menguatkan penilaian saya tentang betapa berdayanya civil society di Bangkok. Ketika komunitas Wang Lee yang terletak di Charoen Krung soi 52, sebuah gang (soi) dekat jembatan Saphan Taksin, terancam tergusur, perlawanan datang dari berbagai kalangan. Dari NGO, kelompok profesi (arsitek, jurnalis dan pengacara), akademisi (antropolog, sosiolog, budayawan dan sejarawan) dan organisasi komunitas miskin dari empat region di Bangkok. Komunitas kecil yang hanya beranggotakan 70 KK itu mendapat dukungan luas dari kelas menengah di Bangkok. Kepedulian atas kelangsungan hidup sebuah komunitas kecil dan dukungan luas dari kelas menengah mampu membuat isu penggusuran sebuah komunitas kecil di sebuah gang berkembang menjadi isu besar: penggusuran atas situs kebudayaan nasional. Mengapa? Sebab bangunan rumah tinggal komunitas itu dibangun oleh arsitek Perancis di awal abad 20. Gang yang menjadi habitat komunitas kecil itu juga adalah bagian dari sejarah perdagangan maritim dan industri transportasi di Bangkok. Gang itu juga tak bisa dipisahkan dari monumen berbentuk kapal pada vihara yang terletak bersebelahan dengan gang yang akan tergusur itu. Di gang itu pula dulu tinggal imigran pertama dari Cina. Isu penggusuran situs kebudayaan nasional itu diangkat di berbagai forum, termasuk forum diskusi di Universitas Thammasat. Ketika pihak penggusur hendak membongkar paksa bangunan tua yang dihuni komunitas Wang Lee itu, massa dari berbagai kalangan datang menghadang.

Hal senada terjadi pada komunitas Kratum Diew dan Mahakan Fort. Pada dua kasus ini, NGO, akademisi, profesi dan komunitas miskin bergandeng tangan melawan penggusuran. Kelompok profesi mendukung dengan alternatif rancang desain untuk merombak dan meremajakan komunitas miskin itu. Akademisi membangun argumen dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan sejarah, serta bergabung bersama NGO dalam mengorganisir komunitas miskin. Bersama komunitas miskin mereka melakukan dialog dan negosiasi dengan pemerintah atau pemilik tanah. Pendek kata, berbagai cara ditempuh untuk mencari solusi dan menggagalkan penggusuran.

Sulit dibayangkan bahwa di Jakarta ini akademisi bisa bekerjasama, bergaul dan tak segan turun ke jalan bersama dengan warga komunitas miskin. Jangankan terhadap persoalan komunitas miskin, terhadap persoalan kota yang menyangkut kepentingan publik, seperti kemacetan, kesemrawutan, pemagaran taman, penyelewengan tata ruang, komersialisasi lahan dan ruang, tak banyak akademisi dan kelompok profesi yang bersuara, apalagi membangun koalisi untuk perlawanan. Civil society di Jakarta ini demikian lemahnya, hingga bisa dipahami kalau Jakarta bisa menjadi seperti sekarang. Pengembangan kota Jakarta ini sepenuhnya berada di tangan penguasa (politik dan pemilik modal). Sebab warganya terfragmentasi, mudah diperdaya karena memang tak berdaya.

Lemahnya civil society di Jakarta, selain karena minimnya kesadaran dan kepedulian akan hidup bersama sebagai komunitas kota, sistem politik dan pemerintahannya juga membuat masyarakat warga tak berdaya dan terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial yang demikian berjarak satu dengan lainnya. Hal sebaliknya terjadi di Bangkok. Sistem politik dan pemerintahan Bangkok lebih memberi peluang dan bahkan mendorong warganya untuk mengorganisir diri. Ini setidaknya tampak dari adanya kebijakan untuk memberi fasilitas dana dukungan untuk pengembangan organisasi komunitas. Komunitas miskin yang telah mengorganisir diri, mendaftarkan komunitasnya pada pihak pemerintah Bangkok, dan memperoleh status sebagai komunitas yang formal, akan mendapat fasilitas dalam bentuk dana bantuan bagi pengembangan komunitas. Selain itu dari program Baan Mankong kita bisa lihat adanya peluang bagi komunitas miskin, akademisi, kelompok profesi dan pemerintah lokal untuk bertemu dan bersama-sama menyelesaikan masalah. Para politisinya pun tidak bisa dengan mudah mengobral janji dan menjadikan kaum miskin hanya sebagai alat untuk meraih suara. Sebab para politisi di sana terikat dengan komunitas. Mereka punya basis dan mengenal konstituennya, di samping konstituennya itu sendiri juga kritis dan tidak mudah dibodohi. Pada akhirnya kontrol terhadap pemerintah dan para politisinya berjalan karena civil society-nya memang berdaya. Kontrol ini pula yang sebenarnya menjatuhkan perdana menteri Taksin. Dari kaki lima, sopir taksi sampai akademisi menghendaki Taksin lengser karena korup. Padahal konon khabarnya Taksin populer di kalangan komunitas miskin.

Setelah melihat Bangkok dari sisi kota dan kaum miskinnya, mengalir di benak ini sebuah pertanyaan: mengapa Bangkok bisa seperti itu, sementara Jakarta tidak. Padahal Bangkok pernah belajar dari Jakarta. Bangkok juga pernah punya masalah kemacetan yang sama parahnya seperti Jakarta, namun dengan mengembangkan angkutan massal (skytrain) kemacetan di Bangkok mulai berkurang. Sementara begitu banyak masalah di Jakarta yang belum bisa diatasi: mulai dari kemacetan, kesemrawutan, banjir, polusi, kemiskinan, kerusuhan, sampai penggusuran. Sebagai kota metropolitan, masalah Jakarta rasanya bukannya semakin berkurang tapi malah bertambah. Padahal pada titik waktu tertentu Jakarta dan Bangkok punya masalah yang sama. Hebatnya, Bangkok bisa mengurai tali masalahnya, sementara Jakarta semakin terbelit masalah.

Apa yang salah dengan Jakarta? Barangkali perbedaan sejarah yang membuat jarak Jakarta – Bangkok sedemikian jauhnya. Bangkok tak pernah jadi negeri jajahan, sementara Indonesia belum pernah jadi bangsa yang sungguh-sungguh merdeka. Barangkali masalah kemerdekaan inilah yang melahirkan perbedaan mentalitas kedua bangsa. Barangkali. Pertanyaan pertama agaknya sulit dijawab. Mungkin kita harus beralih pada pertanyaan kedua: Apa yang masih bisa kita lakukan? Mari kita berpikir dan berbuat sesuatu untuk Jakarta. ***

Caption: Komunitas Wang Lee berada di sekitar kawasan business yang sibuk di kota Bangkok.

Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (7) Kekuatan Civil Society
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (6) — Penggusuran Jadi Masa Lalu
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (5) — Program Baan Mankong
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (4) Kali dan Kaum Miskin
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (3) Kaum Miskin sebagai Aktor
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (2) — City of Everything
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (1)


See the English version of this post.

No comments:

Post a Comment