02 July 2011
Kepala Ruyati, Kepala Kita
Sri Palupi
Terkait hukuman pancung yang telah dijalani Ruyati, respons Presiden Yudhoyono dan para menteri kompak dan seragam. Semua menegaskan, pemerintah sudah berbuat maksimal. Hukuman pancung tidak dapat dielakkan karena ketiadaan maaf dari keluarga majikan.
Dengan argumen ini pemerintah meletakkan persoalan Ruyati sebagai persoalan personal Ruyati dengan keluarga majikan, dan negara tak bisa campur tangan. Presiden lupa bertanya di manakah negara saat Ruyati dianiaya majikan hingga ia terpaksa membunuh. Di manakah negara ketika Ruyati dijual PJTKI yang memalsukan umurnya agar ia bisa lolos ke Arab Saudi.
Dengan mengangkat pertanyaan itu kita bisa melihat betapa persoalan Ruyati adalah persoalan struktural yang melibatkan kejahatan negara. Bukan hanya pihak Arab Saudi yang memancung kepala Ruyati, melainkan Pemerintah Indonesia-lah yang pertama-tama mengirimkan Ruyati kepada algojo. Bukan hanya kepala Ruyati yang dipenggal, kita sebagai bangsa pun sudah kehilangan ”kepala”.
Diposting oleh
chelluz
di
10:05 AM
0
komentar
24 June 2011
PENDIDIKAN
Sekolah Tanpa Ruang Belajar
Oleh Acep Iwan Saidi
Di SD terjadi contek massal. Di SMP-SMA siswa acap berkelahi. Di perguruan tinggi mahasiswa kerap tawuran. Itulah potret muram sekolah kita.
Mengapa itu terjadi? Menurut hemat saya, salah satu sumber utama persoalan sekolah kita adalah kegagapan menyikapi dan melaksanakan sistem pendidikan modern yang diadopsi dari Barat. Dahulu, saat sistem modern ini mulai dipakai, sejarah mencatatnya sebagai titik awal pencerahan. Kini rupanya kita harus meninjau ulang. Bukankah modernisme sendiri kini banyak dipertanyakan? Saya ingin mulai dari tata kelola ruang kelas.
Diposting oleh
chelluz
di
10:03 AM
0
komentar
DERITA TKI
Ketika Pemerintah Tak Bisa Diandalkan
Oleh Runik Sri Astuti
Ketika Ruyati membunuh majikannya, Pemerintah Arab Saudi dengan tegas menjatuhkan hukuman mati. Namun, ketika tenaga kerja Indonesia yang diperlakukan buruk oleh majikan, pemimpin bangsa ini asyik berwacana dan berpidato. Mereka tega membiarkan pekerja dan keluarganya berjuang sendiri.
Lebih dari setahun Sri pergi menghadap Sang Khalik. Namun, Yanto, suaminya, belum juga mampu melupakan peristiwa kelabu yang mengiringi kepergian ibunda dari tiga anaknya itu. Luka di hatinya teramat dalam sehingga sulit menghapus kenangan pahit saat ia harus berjuang sendiri menuntut keadilan.
Sri adalah tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur, yang berangkat Agustus 2009. Pekerja rumah tangga (PRT) ini tewas dibunuh majikannya dengan tuduhan berbuat kriminal. Ia meninggal pada 1 Januari 2010, tetapi keluarga baru mendapat kabar pada 26 Maret 2010.
Diposting oleh
chelluz
di
9:54 AM
0
komentar
Realitas Ruyati di Balik Pidato SBY
Oleh Anis Hidayah
Belum luruh sepenuhnya dalam pendengaran kita, delegasi Indonesia yang dipimpin Ketua BNP2TKI mengklaim adanya kesepahaman untuk perlindungan dengan Pemerintah Arab Saudi, datang kabar duka dari ”Negeri Onta” itu. Pada 18 Juni 2011, masyarakat Indonesia dikejutkan kabar eksekusi mati Ruyati binti Satubi, pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia asal Bekasi, Jabar, di Arab Saudi.
Ironisnya, Ruyati dieksekusi hanya berselang dua hari setelah Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengadopsi Konvensi Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi PRT di Geneva, Swiss, sebagai hasil Sidang Ke-100 ILO. Bagi masyarakat Indonesia, pemancungan Ruyati menegaskan realitas lain di balik yang tampak dari yang disampaikan oleh para pejabat publik negeri ini. Tak terkecuali apa yang telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perlindungan buruh migran yang didengar oleh masyarakat dunia.
Diposting oleh
chelluz
di
9:50 AM
0
komentar
Ironi TKI dan Sapi
Oleh Hikmahanto Juwana
Dalam dua pekan ini, Indonesia didera oleh dua kejadian di luar negeri yang berdampak pada negeri ini.
Pertama adalah kebijakan Pemerintah Australia menghentikan selama enam bulan ekspor sapi ke Indonesia. Kedua, terkait dengan eksekusi hukuman mati berupa pemancungan atas tenaga kerja kita, Ruyati, di Arab Saudi.
Pemerintah pun mendapat berbagai kritik atas kebijakan dan pelaksanaan hubungan luar negeri. Pemerintah Indonesia seharusnya tegas bersikap ketika kepentingan nasional atau nasib warga negara menjadi taruhan. Ketidaktegasan pemerintah akan berakibat pada merebaknya kemarahan publik di dalam negeri.
Bila dianalisis, paling tidak ada tiga sumber ketidaktegasan pemerintah. Pertama adalah pencanangan kebijakan luar negeri ”seribu kawan dan tiada lawan”. Kebijakan ini seolah-olah membuat Indonesia tidak mau memciptakan musuh, sebaliknya menganggap semua negara adalah teman.
Diposting oleh
chelluz
di
9:47 AM
0
komentar
Label: Kebijakan
05 May 2011
Lamunan dan Mimpi Buruk
Sri Palupi
Tanggal 1 Mei diperingati secara internasional sebagai Hari Buruh. Hari itu menandai perjuangan buruh keluar dari sistem eksploitatif: jam kerja panjang, upah minim, dan kondisi kerja buruk. Meskipun berlangsung puluhan tahun, perjuangan kaum buruh belum mampu mengantar mereka sampai ke depan pintu gerbang kesejahteraan. Jangankan sejahtera, tetap bisa bekerja saja sudah berkah bagi buruh.
Visi tanpa eksekusi adalah lamunan dan eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk. Begitulah di sini. Meski visi pemerintah menyejahterakan rakyat, aturan dan kebijakan prorakyat condong jadi onggokan dokumen di laci birokrasi. Yang dijalankan justru aturan dan kebijakan yang tak punya visi menyejahterakan. Disadari atau tidak, negeri ini dikendalikan politisi yang mengelola republik ini dengan lamunan dan mimpi buruk.
Inflasi lamunan
Entah berapa banyak janji pemerintah mewujudkan visi pemerintahannya. Di sektor perburuhan, kita tengah mengalami inflasi aturan perundang-undangan. Kini terdapat lebih dari 30 aturan perundang-undangan yang terkait langsung atau tak langsung dengan perlindungan buruh. Sementara defisit komitmen menjadikan aturan perundang-undangan yang substansial berpihak pada kepentingan buruh hanya tumpukan dokumen. Ratifikasi berbagai instrumen hak asasi yang ditujukan bagi perlindungan hak buruh, misalnya, berhenti sebatas ratifikasi.
Salah satu aturan perundang-undangan yang terus ditagih pelaksanaannya oleh buruh adalah UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. UU ini seharusnya dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak diundangkan. Pemerintah belum menunjukkan itikad baik menjalankannya. Alasannya, pemerintah telah membuat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk warga miskin.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
2:54 PM
0
komentar
05 April 2011
Negara Terus Memainkan “Festival” Penggusuran
Cheluz Pahun
![]() | |
Foto, Kompas : Warga DKI hidup dibawah kolong jembatan |
Peristiwa Pengusuran masih saja terus terjadi. Tanggal 8 Maret 2011 lalu sedikitnya 200 lapak pedagang Kaki-5 di Pasar Ciampea Lama (PCL), di Jl. Letnan Sukarna, Kecamatan Ciampea, Selasa diobrak-abrik petgas Satpol PP Kabupaten Bogor. Sebelumnya Pemkab dan DPRD Kabupaten Bogor memberikan batas akhir Febuari untuk mereka mengosongkan PKL.
Tanpa ampun, para penegak perda Kabupaten Bogor ini membongkar puluhan lapak pedagang Kaki-5. Aksi saling dorong yang disertai perang mulut tak terhindarkan, namun sayang reaksi pedagang mempertahan lapaknya tak digubris Sat Pol PP. Lapak-lapak pedagang Kaki-5 dalam hitungan menit roboh dihantam alat berat.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
12:17 PM
1 komentar
Label: Kemiskinan, Penggusuran
Subscribe to:
Posts (Atom)
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA