Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (5)
IN JANUARY 2003, the Thai government applied the policy to tackle housing problem for the city’s poor people with providing them secure houses amounting to 1 million households during five years. It is targetted with conducting two programs.
First, the Baan Ua Arthron Program (’We care about Thai’ program), in which the National Housing Authority designed, planned, sells houses and subsidied houses with a mortgage of 1,000 up to 1,500 baht (US$ 25-37) monthly. This program resembles to national housing program (perumnas) and low-cost apartment (rumah susun) in Indonesia.
Second, Baan Mankong Program (’secure housing program’), i.e. government’s fund disbursement in the form of subsidy and soft loan to plan and to repair houses, the surrounding environment and basic public facilities on a self-help scheme. With this kind of program the Thai government does not build the houses on its own in order to sell or to open them for the poor to rent, but the government lets the poor to build the houses themselves. In this program the government places the poor communities and their networks as important actors in a long-term constructing process. This way the government has properly responded the city land and housing problems in a comprehensive, sustainable and lost-cost fashion.
With this program, the government overhauls the conventional ways of understanding and resolving city and poverty problems. The poor are no longer the object of development but the subject or the actors. This understanding is mirrored in the many opportunities provided in the program. First of all, Baan Mankong has made the city poor as the owner of the national housing renovation process. The program enables the poor communities to handle the housing and environmental problems themselves. With the government’s support in subsidy and soft loan, the poor then design the plans themselves in tackling their problems along the involvement in the communities. In this program, the government only facilitates some funds —limited subsidy and soft loan— but the implementation and the management of the program are fully tackled by the communities.
Second, the Baan Mankong program has made the house and environment renovation program as the starting steps of the development process in a broader and comprehensive scope. This program has become the entry point into the improvement of the poor people’s capacity to collectively manage their own needs such as pertaining to housing, financial requirements like loan, the environment, income generating and welfare improvement. In fact this renovation program has driven the communities to collectively tackle their problems, because the program mainly calls and directly invites each community’s members to take part, and that this program does not allow only the leaders to take the role.
Third, the Baan Mankong program positions the housing issues for the city’s poor as structural problems that could only be overcome through a partnership among many parties engaged in the complex city problems. By creating space for the city’s poor, the government and local politicians, professionals and the NGOs have initiated, all along together, social changes in resolving the housing problems for the poor. The solution is no longer conducted in a charitable scheme or other procedure that induces the people to embarrass. Housing for the poor is placed in a resolvable structural context that directly links to city development as a whole.
Fourth, the Baan Mankong program creates spaces for poor communities to call again for the people’s participation in the city development, because public participation has been so far paralyzed for the economic liberalization. Once the poor reform themselves and all stakeholders of the city development recognize their works, the renovation program transforms into a process that legitimizes their important statuses in the city. At the same time it proves the poor’s capability to be the stakeholder of city along with the others in tackling serious problems that deeply affect the city. The problems do not only relates to housing but also the environment, water condition, waste and people’s social welfare. Economic liberalization and top-down government’s development approach has been perceived as silencing their voices. They have been denied the basic rights to living. Now, the Baan Mankong program has adopted bottom-up approach as an alternative to call for people’s participation in city development.* (to be continued)
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (4)
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (3)
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (2)
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (1)
Read the Indonesian version.
28 February 2007
The Baan Mankong Program
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 5:20 AM 0 komentar
Label: English-version, Indonesia, Kebijakan, Kemiskinan, Kota, Liberalisasi, pemerintah, Reform, Thailand
27 February 2007
Seharusnya Lebih Memerdekakan
MEREKA cukup membantu kita. Ada banyak hal yang mereka kerjakan. Persoalannya, dilihat dari besaran dana yang dikeluarkan dan hasil kongkritnya di masyarakat belum seimbang. Karena itu saya sering katakan orang menjual kemiskinan NTT untuk kepentingan tertentu.
PERNYATAAN itu disampaikan Gubernur untuk menyoroti kiprah NGO/lembaga/badan PBB/badan pemerintahan internasional yang bekerja di sejumlah kecamatan dan desa di NTT. Dengan alokasi dana masuk ke NTT sepanjang tahun 2004, misalnya, yang mencapai lebih dari Rp 119 miliar, belum tampak adanya perubahan berarti di NTT. Wabah diare, gizi buruk, busung lapar, kekurangan air bersih, malaria, dan kasus-kasus lain terus saja terjadi.
Padahal dalam catatan Bappeda Provinsi, sudah sejak 1983, NTT mendapat intervensi bantuan dari luar. Ada lebih dari 20 lembaga internasional yang menyalurkan dana ke NTT. Dalam kurun waktu 1994-2000, misalnya, bantuan disalurkan untuk banyak kegiatan, dengan prioritas pada penanganan masalah air dan sanitasi. Dalam kurun waktu 2001-2004, bantuan cenderung terkonsentrasi pada kegiatan yang mengarah ke pengembangan ekonomi. Sementara pada kurun waktu 2005-2006, arah bantuan mengalami sedikit pergeseran. Bidang kesehatan mendapat prioritas, dengan kegiatan condong terfokus pada pemberian makanan tambahan, sedikit menyentuh penanganan penyakit dan kesehatan reproduksi.
Kini, efektivitas bantuan mulai dipertanyakan, tidak hanya oleh pemerintah lokal tetapi juga masyarakat di NTT. Tiga hal mendapat sorotan: (1) kinerja NGO/lembaga/badan internasional. Besaran dana yang disalurkan tidak sepadan dengan hasil yang tampak di masyarakat. Belum ada mekanisme evaluasi dan monitoring dari pihak pemerintah pusat dan daerah terhadap kinerja, pendekatan dan dampaknya dalam masyarakat. Belum ada transparansi; (2) problem koordinasi dan komunikasi antara lembaga/badan/NGO internasional dengan pemerintah dan lembaga lokal. Terjadi tumpang tindih program dan ketidakmerataan wilayah kerja sebagai konsekuensi dari lemahnya koordinasi dan komunikasi; (3) pendekatan dalam menyalurkan bantuan, yang cenderung berkerangka emergensi jangka pendek. Dalam penanggulangan gizi buruk-busung lapar di NTT, pendekatan yang dilakukan lembaga-lembaga internasional tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan pemerintah. Semua dijalankan dalam kerangka emergensi jangka pendek (jangka waktu rata-rata 1-2 tahun):
Program panti gizi (feeding centre). Ada lembaga internasional yang membangun panti gizi untuk menanggulangi masalah gizi buruk-busung lapar. Setelah satu tahun berjalan, panti gizi itu tidak jelas keberlanjutannya setelah pengelolaannya diserahkan pada dinas kesehatan setempat. Dinas kesehatan merasa kewalahan untuk menjalankan program ini karena belum memiliki persiapan matang, baik dalam hal pendanaan maupun manajerial pengelolaan. Penanggulangan anak gizi buruk-busung lapar dengan pendekatan panti gizi seperti ini memang diragukan efektivitas dan keberlanjutannya karena kerangka kerjanya yang emergensi.
Program pemberian makanan tambahan (PMT) dalam bentuk makanan kemasan dan instan. Ada juga lembaga internasional yang menyalurkan bantuan senilai milyaran rupiah dalam bentuk makanan instan dan makanan kemasan, yaitu mie, bubur, dan biskuit. Meski diperkaya dengan beragam zat gizi, namun bantuan semacam ini bukan hanya tidak berlanjut tetapi juga membawa dampak negatif dalam masyarakat. Bantuan ini membentuk sikap masyarakat yang menganggap makanan kemasan (mie) lebih bermutu dan bergengsi daripada makanan lokal. Di beberapa lokasi studi terlihat gejala, keluarga-keluarga lebih suka menjual hasil panennya untuk dibelikan mie atau bubur instan. Padahal tidak kurang makanan lokal yang bisa dijadikan sebagai bahan PMT. Sementara tak ada program lanjutan pasca pemberian PMT dengan makanan instan tersebut. Setelah mie, bubur instan dan biskuit dibagikan, selanjutnya apa? Ini yang belum terjawab.
Politik bantuan cenderung dikuasai semangat "proyekisme" dari berbagai pihak. Pendekatan ini berangkat dari pemahaman yang melihat kondisi alam NTT yang kering dan rawan bencana. Padahal kearifan dan penerapan khas sistem pertanian masyarakat NTT yang berciri agroforestri, campur-sari dan selaras alam adalah fakta sejarah dan pola budaya masyarakat yang terbentuk oleh kondisi alam itu sendiri. Sayangnya, kebijakan pembangunan yang berorientasi kepentingan jangka pendek dan tekanan pertumbuhan penduduk, cenderung menghancurkan kearifan dan penyesuaian lokal ini. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat NTT memang membutuhkan "intervensi" atau "bantuan" yang dapat mendukung kekuatan lokal dalam mengelola bencana (alam dan sosial). Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Bantuan cenderung melemahkan kapasitas komunitas untuk mengelola bencana. Lemahnya kapasitas sosial masyarakat NTT akibat pendekatan pembangunan dan politik bantuan yang bersemangat "proyekisme" ini cenderung dijadikan lahan subur bagi pemerintah dan berbagai pihak untuk terus menjalankan program yang emergensi sifatnya. Padahal pendekatan pembangunan dan politik bantuan yang bersemangat "proyekisme" ini sangat rentan terhadap persoalan korupsi.**
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:38 AM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur, pemerintah, Research
25 February 2007
Komite Penanggulangan Gizi Buruk: Dari Tingkat Desa sampai Pusat
Rekomendasi Riset Busung Lapar NTT: Apa yang Bisa Dilakukan?
BANYAK hal bisa dilakukan oleh banyak pihak untuk mengurai benang kusut persoalan gizi buruk-busung lapar. Meski berakar pada persoalan kemiskinan ekonomi, namun faktor non-ekonomi tak bisa diabaikan. Dari menelusuri persoalan di tingkat rumah tangga, komunitas dan kebijakan publik, bisa dipetakan apa yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan jutaan anak-anak yang terancam hilang itu. Di satu sisi, intervensi di tingkat rumah tangga mesti dijalankan secara terpadu dengan intervensi di level komunitas. Di sisi lain, kebijakan publik tak bisa lagi dirumuskan hanya berdasarkan orientasi pertumbuhan ekonomi tanpa perspektif keadilan dan hak asasi. Melawan gizi buruk-busung lapar tak bisa dilepaskan dari komitmen kuat untuk membuat kebijakan publik yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar warga, dengan prioritas pada kelompok miskin dan perempuan.
Masyarakat, betapapun masih dalam lingkup kecil, mulai mencari peluang-peluang alternatif dan menjalankan terobosan-terobosan untuk turut terlibat dalam mengatasi persoalan gizi buruk-busung lapar. Di NTT sendiri, berbagai pihak telah bekerja untuk menanggulangi masalah ini. Pemerintah daerah, NGO, komunitas agama, dan lembaga/badan/NGO internasional adalah pihak yang selama ini telah terlibat dalam kerja-kerja penanggulangan gizi buruk-busung lapar dengan dana ratusan milyar rupiah. Meski banyak pihak telah bekerja dengan dana yang tidak sedikit, namun banyak pihak juga menilai, belum tampak ada tanda-tanda NTT berubah ke arah lebih baik. Ini mengisyaratkan, ada yang salah dengan pendekatan yang selama ini dilakukan. Setidaknya ada tiga masalah mendasar yang teridentifikasi dalam studi ini, yang disadari atau tidak, telah berdampak pada lemahnya efektivitas penanggulangan gizi buruk: (1) Lemahnya kerjasama dan koordinasi di antara berbagai pihak yang terlibat; (2) Pendekatan yang condong emergensi-kuratif-jangka pendek tanpa disertai program-program strategis yang berorientasi preventif-jangka panjang; (3) Diabaikannya potensi dan sumber daya komunitas lokal.
Diskusi yang dilakukan para peneliti bersama para pemangku kepentingan di provinsi NTT dalam berbagai forum, berhasil merumuskan alternatif-alternatif intervensi yang mungkin dilakukan. Diskusi itu juga menyimpulkan, detil intervensi yang direkomendasikan dalam studi ini bisa dilakukan secara lebih efektif, efisien dan berkelanjutan apabila disertai atau didukung oleh sebuah sistem atau mekanisme kerja bersama. Forum akademisi, forum komunitas agama dan NGO di provinsi NTT yang terlibat dalam pembahasan rekomendasi mengajukan sebuah alternatif sistem kerja bersama dalam bentuk KOMITE penanggulangan gizi buruk. Komite ini direkomendasikan untuk dibentuk mulai dari level desa, kabupaten, provinsi dan pusat, dengan anggota-anggotanya mencakup berbagai pihak dalam masyarakat yang sudah atau potensial terlibat dalam kerja-kerja penanggulangan gizi buruk-busung lapar, seperti: pemerintah, NGO, komunitas agama dan pihak lain yang mendukung. Pemerintah, NGO, dan komunitas agama inilah yang telah dan sedang terlibat dalam penanggulangan gizi buruk di NTT, selain lembaga/badan internasional. Mereka ini memiliki kekuatan dan sumber daya yang bisa saling sinergis dan komplementer. Melalui KOMITE ini seluruh sumber daya yang ada bisa disatukan dan didayagunakan secara lebih efektif, efisien, berdampak luas dan berkelanjutan. Dalam KOMITE ini pula dapat dirumuskan sistem penanggulangan gizi buruk-busung lapar yang berorientasi tidak hanya kuratif-jangka pendek tetapi juga preventif-jangka panjang. Sistem kerja bersama dalam bentuk KOMITE atau apa pun namanya, dinilai berpeluang untuk mengatasi persoalan lemahnya koordinasi, lemahnya pendekatan dan diabaikannya potensi dan sumber daya komunitas lokal dalam mengatasi masalah. Dalam komite ini pula detil intervensi terpadu yang bisa dilakukan mulai dari level rumahtangga, komunitas, sampai dengan kebijakan publik bisa lebih diwujudkan.
Akhir kata, gizi buruk-busung lapar tidak lahir dari penyebab tunggal. Karenanya penyelesaian gizi buruk-busung lapar menuntut kerja bersama semua pihak dalam kerangka kerja jangka panjang. Kerja bersama ini bukanlah angan-angan yang jatuh begitu saja dari langit. Kerja bersama semacam ini pernah ada (dan di beberapa tempat masih berjalan) dan sudah terbukti membawa hasil. Sejarah keberhasilan NTT meraih kejayaan di masa silam dan dikenal dunia internasional karena kreativitasnya dalam mengembangkan sistem pertanian agroforestri, adalah sejarah kerja bersama antara pemerintah, NGO dan komunitas agama. Pengalaman mengajarkan, kerja sendiri-sendiri rawan korupsi. Entah korupsi material atau pun cara pandang. Di saat negeri ini dihadang oleh beragam persoalan dan keterbatasan, mempertahankan kerja sendiri-sendiri sama artinya dengan mempertahankan kebodohan.***
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 2:55 PM 1 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur, pemerintah, Research
Poor does not means hunger, famine
“Hunger and famine (in Indonesia) are first of all because of poverty. But being poor does not necessarily mean to suffer from hunger and famine.” This is one important finding out of grounded research conducted by the Institute for Ecosoc Rights, Jakarta, during March 2006 until February 2007 on the phenomenon of hunger and famine in East NusaTenggara of Indonesia. What is meaningful with this finding?
We found many poor households in this province have been able to keep their below-5-year children comparatively healthy. This positive fact has reminded us to take lesson learned and emphasize that there is no reason to take two common, prevailing assumptions that are very dangerous for children. First, strong tendency of the so many people give up in facing the natural condition that East Nusa Tenggara is dried areas and therefore such nature would not support people’s lives. Second, the phenomenon of acute malnutrition, many of whom eventually died, has been perceived as common incidences. Many people have become so numb.
What has taken place is perhaps a kind of numb sensibility among us toward the phenomenon of malnutrition and famine that in fact continue to happen each year. We have not been sensitive enough to the so many children suffering from it until death. The real situation is actually worse but it is not immediate to our sight and understanding because they are not conspicuous, unless the media report them openly up to an unreasonable number of the suffering children. Many of them are alive but definitely not in a good condition. From the perspective of fulfilling their basic rights that are prescribed in the constitution of Indonesia (UUD 1945), what is happening in East Nusa Tenggara is actually a kind of crime of omission, that should have made up our public policies in development. Indeed, hunger and famine are the top tip of the iceberg of massive poverty in the country.
We are not aware that our future depends very heavily on and will be taken by our malnourished children. One may assume if it is indeed now very difficult to resolve the problems of structural injustice in our societies at the present, we should have taken the choice of preparing, fulfilling their needs to food and educate them that they may be more prepared to face the future that would be more unjust. The future is so close and we will soon face it anyway. However, for this last choice even we are unable to understanding it soundly. Our future is not clear at all.
It is then imperative that we have to advance our priority to keep our children healthy. To support this priority, it is very clear out of this research that the role of the community is in fact very crucial in tackling and preventing malnutrition and famine to happen in the province, either many rural that are very remote and unreachable by public transport or even in our nearby of urban areas. Therefore communities should be encouraged to gradually soften their rigid traditional stance and they should be helped to realize the importance of children health and wellbeing. The health drive activities (posyandu literally translated into “integrated service posts”, the inheritance of the New Order) tends to ignore the importance of building the community and to involve the community in tackling malnutrition and health problems. If the community is indeed developed, in its turn the improvement of the capacity and the integrity of the community members would very likely gradually push them to better manage local resources, at least starting from focusing their effort to suffice basic needs.
However, this research finds that even though we are aware of the importance of the community’s roles as the pillar support for our capacity to resolve famine and malnutrition, we also realize that local and international aid politics has been paralyzed those communities. The research also reveals that many communities are dormant when there is no aid fetching them. In fact they were before able to prevent and to tackle their own problems independently, including malnutrition and famine. Such paralysis is actually worst because it hit not only the communities but also the administration. The latter repeatedly attributes the malnutrition and famine as if (only) a “natural disaster” and thereby to tackle them the officials find it defiantly enough only with short-term and emergency approaches.
It is actually very difficult to tackle such paralysis without public policies that deliver people’s rights to local development. Without development policies that recognize people’s basic rights, the people as part of the communities would unlikely move to resolve their household and community problems. This kind of development policies would only be possibly implemented, only if the state is not burdened by international debt and corruption problems. Ironically, the existing project- and emergency-oriented approach to malnutrition and famine that is actually a structural problem is part of corruption problems in the country.
Such project-oriented tendency in tackling famine has made us realize about our limited awareness on state duty to help the communities, particularly their children and the poor, that is prescribed in the constitution. Categorizing malnutrition and famine as “natural disaster” is then baseless. We have been so far gone astray, lost in no where, disorientated in our way of understanding over our own way of life proceeding, personally and in the community. It is indeed a crime of omission against our rights, losing sense of duty, if we tackle the malnutrition and famine only after emergency (KLB) funds are granted from the national administration. Therefore, the government’s commitment either at the national or provincial and district levels is a crucial key that opens the communities’ drives to resolve malnutrition and famine.
It is therefore imperative to put back health, agriculture, social welfare, and other administration’s fields of work and the teamwork among stakeholders (the society, state, and business sectors) into their original functions and their balance. Health administration office has no legitimacy when their officials only work after the funds disbursed. Agriculture administration office has also no legitimacy when it does not strengthen the agricultural production of the peasants whose children suffer from malnutrition. And so on for other administration offices. It is difficult not to say that the so-called “sectoralism” (narrow-minded attitudes of each division within the administration) and the lack of commitment (that are more caused by corruption and lack of motivation) are not among the main reasons behind malnutrition and famine. It is therefore the effort to tackle malnutrition and famine would not be fruitful if the attitude and commitment of all related parties are not rapidly and gradually be returned into their original fashions in striving to build the society within the constitutional mandate of delivering public rights in this country, either for the government, the society (such as represented by the NGOs) and the communities themselves.
This research also confirms that household and community as the research units are the main parties who demand the state to resolve the malnutrition and famine problems in East Nusa Tenggara province. In this context, women play the strongest roles and opportunities in resolving the problems. Therefore, their roles should be advanced and encouraged by opening chances for them as many as large as possible, starting from basic requirements of education and trainings that they may develop by themselves, apart from the fulfillment of basic public health services. In this traditional context the very close relation between women and children in our culture support the definite preference of advancing women as the initiators of problem solving activities starting from lowest level in household up to the higher public engagement. Without their roles ever more basic and broader ranges, any effort to resolve malnutrition and famine would have low ranks of possible successes. The preference to advance women empowerment and the importance of education activities are the crucial point and testing stone as for whether we are serious and whether we do have the willing to resolve malnutrition and famine. Men are called to open doors and ways and their comforts over women.
Finally, we are called to get back to learning again the dignity and good traditional values that have been preserved by the many families in East Nusa Tenggara province, in the fact that even though many of them are officially sorted out in “under poverty line” categories, they are indeed able to prevent their children from malnutrition. From them we could learn the inspirations and wisdom of local communities. This research reveals that education, women empowerment and good, sufficient health services are the important success key to prevent children from malnutrition and the communities from famine.***
Kupang, East Nusa Tenggara, 14 February 2007
The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta
See photos: In the meeting with a group of academicians, religious leaders and NGO activists, supported by the research team from the Institute for Ecosoc Rights, at his working room, on 16 February 2007, the provincial governor of East Nusa Tenggara Piet A. Tallo has well accepted the research results on malnutrition and famine in the province and the group’s proposal to set up a committee on tackling and preventing the problems. He said he would follow up the proposal, commenting that during recent years a lot of funds has been poured down, particularly through international NGOs, into province, however he questioned what the impacts are for local people’s welfare. He confirms that local people were more ‘dependent’ on the aid, while having low achievement in resolving their own problems.
See Indonesian version.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:59 AM 1 komentar
Label: busung lapar, English-version, Indonesia, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur, pemerintah, Publikasi, Research
18 February 2007
Miskin Tak Harus Busung Lapar
“Busung lapar pertama-tama memang karena miskin. Tapi, miskin tak harus busung lapar.” Ungkapan ini adalah salah satu pesan penting yang dapat ditarik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta (2006-2007) tentang fenomena busung lapar dan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mengapa pesan ini sangat penting?
Sebab, ternyata tak sedikit keluarga-keluarga miskin di provinsi ini mampu memelihara anak-anak mereka tetap sehat. Fakta positif ini membuat kita bisa belajar dan semakin mempertegas tak adanya dasar untuk menerima dua hal yang sangat membahayakan nasib anak-anak. Pertama, kecondongan kuat bahwa siapa pun di NTT menyerah dalam menghadapi kenyataan keadaan alam yang kering dan dianggap sulit untuk menyanggga kehidupan warganya. Kedua, fenomena anak-anak menderita bahkan sampai meninggal karena gizi buruk—busung lapar sudah terlalu dipandang sebagai hal yang biasa.
Barangkali yang sudah dan terus sedang berlangsung adalah suatu jenis “mati rasa” di antara kita terhadap masalah gizi buruk—busung lapar yang dari tahun ke tahun terus terjadi. Kita sudah tidak peka lagi terhadap banyak korban anak-anak yang terus-menerus berjatuhan. Apalagi keadaan para korban gizi buruk—busung lapar itu tidak sebegitu langsung mencolok mata, karena banyak di antara mereka (masih) tetap hidup namun dalam keadaan yang tak manusiawi. Tapi jika digabungkan, jumlah anak-anak korban itu tidak akan dapat diterima akal sehat. Dari perspektif pemenuhan hak-hak dasar yang dituntutkan dari negara dalam UUD 1945, yang terjadi di NTT sesungguhnya adalah penelantaran, suatu wujud pelanggaran yang semestinya mendorong kita untuk sekarang ini juga serta-merta mengubah arah kebijakan publik.
Kita tak sadar lagi bahwa masa depan kita sangat bergantung pada dan akan diteruskan oleh generasi anak-anak kita. Jika ternyata kita merasa sangat kesulitan menangani tantangan-tantangan ketakadilan struktural nyata pada masa sekarang ini, semestinya kita lebih baik mengambil pilihan menyiapkan, mencukupi kebutuhan fisik (makan) dan mencerdaskan anak-anak kita sekarang ini juga agar lebih siap menghadapi ketakadilan yang lebih parah lagi di masa depan yang tak lama lagi pasti akan menghadang jalan kita maju ke depan. Namun, untuk pilihan terakhir ini pun kita tak mampu memikirkannya dengan jelas. Masa depan kita jadi suram.
Untuk mendukung pengutamaan pada anak-anak kita ini, sangatlah jelas dari penelitian ini bahwa peranan komunitas ternyata merupakan kunci pokok penanganan dan pencegahan gizi buruk—busung lapar di berbagai lokasi di provinsi ini, baik di pelosok-pelosok desa yang sulit dicapai maupun di lokasi-lokasi perkotaan. Karenanya komunitas-komunitas haruslah didorong agar kebekuan-kebekuan di dalamnya terus-menerus dikikis dan mereka haruslah dibantu sekuat tenaga kita agar menyadari pentingnya kesejahteraan dan kesehatan anak-anak para warganya. Pelayanan posyandu condong mengabaikan pentingnya faktor pembentukan kehidupan komunitas dalam mengatasi gizi buruk. Sebab, pada gilirannya semakin meningkatnya kemampuan dan kemerdekaan sikap dari para warga komunitas akan mendorong pengelolaan sumber-sumber daya setempat secara bertahap, setidaknya berangkat dari fokus upaya mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar.
Namun, dari penelitian ini ditemukan bahwa sekalipun kita sadar bahwa komunitas itu sesungguhnya merupakan tulang punggung atau pilar yang menyangga kemampuan kita menyelesaikan busung lapar, kita pun sadar bahwa komunitas-komunitas itu kini telah sedemikian dilumpuhkan oleh politik bantuan —lokal, nasional dan oleh pihak-pihak internasional. Dari penelitian ini kami dapati pula banyak komunitas yang kehidupannya seolah-olah terhenti bila tidak ada bantuan dari luar. Padahal sebelumnya mereka mampu mencegah dan mengatasi masalah-masalahnya sendiri secara swadaya, termasuk gizi buruk—busung lapar. Kelumpuhan ini pada kenyataannya tidak hanya dialami oleh komunitas-komunitas, tapi juga dihadapi oleh birokrasi pemerintah yang terus-menerus meletakkan masalah gizi buruk—busung lapar dalam kerangka “bencana alam” yang cukup ditanggapi hanya dengan pendekatan emergensi berjangka pendek.
Kelumpuhan masyarakat dan pemerintah ini sulit ditangani tanpa ada kebijakan publik negara yang memberikan hak-hak masyarakat atas pembangunan. Tanpa pembangunan berperspektif hak-hak dasar, masyarakat sebagai bagian dari kehidupan bersama dalam negara ini tidak akan mungkin bergerak menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga dan komunitas mereka. Pembangunan berperspektif hak-hak dasar ini hanya mungkin dilaksanakan, bila negara tidak terus-menerus dibebani oleh persoalan hutang dan korupsi. Ironisnya, pendekatan penyelesaian gizi buruk—busung lapar yang sesungguhnya adalah masalah struktural dengan model emergensi atau proyekisme ini sendiri adalah juga bagian dari korupsi.
Kecondongan proyekisme dalam penanganan busung lapar menyadarkan kita akan jauhnya kesadaran kita terhadap tugas negara terhadap masyarakat, terutama anak-anak dan warga miskin, yang diamanatkan oleh UUD 1945. Memandang busung lapar sebagai “bencana” pun menjadi tak berdasar lagi. Kita bagaikan sudah tersesat entah di mana dan mengalami disorientasi dalam cara pandang kita terhadap cara hidup kita sendiri dan kehidupan bersama dalam masyarakat ini. Adalah suatu penelantaran hak dan tak bertanggung jawab, jika kita hanya menangani busung lapar setelah kucuran dana “kejadian luar biasa” (KLB) datang. Karenanya, komitmen pemerintah baik tingkat daerah maupun pusat merupakan kunci penting yang mampu mendorong masyarakat bergerak menyelesaikan masalah gizi buruk—busung lapar.
Baik dari sisi konsep yang terkait dengan bidang-bidang kerja dalam masyarakat (kesehatan, pertanian, kesejahteraan sosial, dan bidang/dinas lain) dan hubungan di antara para pemangku kepentingan (masyarakat, pemerintah, swasta) kini harus dikembalikan pada fungsi dan perimbangannya. Dinas kesehatan tidak memiliki legitimasi untuk sekedar bertindak menangani busung lapar hanya ketika kucuran dana KLB datang. Dinas Pertanian pun tidak memiliki legitimasi ketika tidak menjalankan program penguatan produksi pertanian dari para petani yang anak-anaknya menderita gizi buruk—busung lapar. Demikian pula dengan dinas-dinas lainnya. Sektoralisme dan rendahnya komitmen yang lebih dilatarbelakangi oleh korupsi dan keengganan bekerja seperti diamanatkan negara sebagai tugas dasar pemerintah dalam melayani masyarakat sulit tidak dikatakan telah ikut banyak menyebabkan timbulnya busung lapar. Karenanya penanganan gizi buruk—busung lapar ini sesungguhnya hanya dapat ditangani jika sikap dan komitmen semua pihak secara cepat dan bertahap dikembalikan kepada jatidiri tugas kita dalam hidup dalam masyarakat dan dan dalam mandat menyelenggarakan kepentingan publik yang baik dalam negara ini, baik oleh pemerintah, para NGO maupun komunitas-komunitas itu sendiri.
Penelitian ini juga mengkonfirmasikan bahwa rumah tangga dan komunitas yang diangkat menjadi unit observasi merupakan penuntut utama dalam penyelesaian berbagai fenomena gizi buruk—busung lapar di NTT. Dalam konteks ini perempuan menduduki peranan dan memiliki peluang paling kuat untuk menyelesaikan masalah gizi buruk—busung lapar. Karenanya, dalam konteks ini pula peranan perempuan hendaknya diutamakan dan didorong dengan membuka peluang-peluang selebar-lebarnya mulai dari bentuk-bentuk yang paling dasar seperti pendidikan dan pelatihan agar mereka mampu berperan sendiri, di samping pemenuhan kebutuhan dasar akan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini ketakterpisahan perempuan dengan anak dalam kondisi budaya kita mengimplikasikan mutlak perlunya pengutamaan pada perempuan sebagai inisiator-inisiator penyelesaian dari tingkat terendah sampai ke tingkat-tingkat lebih tinggi. Tanpa peranan mereka secara mendasar dan meluas, upaya-upaya apa pun untuk menyelesaikan gizi buruk—busung lapar sangat kecil peluang keberhasilannya. Pengutamaan pada pemberdayaan perempuan dan pendidikan merupakan titik putar dan ujian terhadap sikap kita semua apakah kita bersungguh-sungguh dan memang berkehendak menyelesaikan masalah gizi buruk—busung lapar. Kaum bapak, laki-laki, pria dan pemuda perlu membuka jalan dan menyerahkan bagian kesenangan hatinya kepada kaum perempuan.
Akhirul kalam, kita perlu kembali lagi belajar dari hakikat dan nilai-nilai yang dipertahankan secara tradisional oleh keluarga-keluarga di NTT yang sekalipun miskin tetapi mampu mencegah anak-anak mereka menderita gizi buruk—busung lapar. Dari merekalah dapat kita timba inspirasi dan kebijaksanaan komunitas-komunitas setempat. Penelitian ini menyingkap bahwa faktor pendidikan, pemberdayaan perempuan dan kesehatan merupakan kunci penting ‘keberhasilan’ mereka sehingga anak-anak terhindar dari gizi buruk.***
Kupang, 14 Februari 2007
The Institute for Ecosoc Rights
Caption foto: Dalam audiensi dengan forum warga NTT (akademisi, tokoh-tokoh agama, dan kalangan NGO) serta didukung oleh tim peneliti The Institute for Ecosoc Rights di ruang kerja gubernur di Kupang, NTT, 16 Februari 2007, Gubernur NTT Piet A. Tallo menyambut baik hasil penelitian tentang fenomena gizi buruk—busung lapar dan usulan dari forum untuk membentuk komite penanganan dan pencegahan gizi buruk-busung lapar. Gubernur menyatakan hendak menindaklanjuti usul itu dan menyerahkan pertimbangannya kepada pejabat Asisten III provinsi NTT. Gubernur berkomentar bahwa telah banyak sekali dana terkucur lewat LSM Internasional tapi tak jelas manfaat positifnya untuk pedesaan di provinsi kepulauan itu. Malah masyarakat jadi semakin bersikap "tergantung".
See English version.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 9:52 PM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur, pemerintah, Research
11 February 2007
Rivers and the Poor
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (4)
FROM how they tackle poor people’s dwelling along the riverbanks in the city, at least I can see the attitude and the way of how the Bangkok administration perceives the problem of poverty and the slum areas. They do not take eviction as the first option as compared to Jakarta administration but renovation. The Bangkok administration offers aids to repair houses and their environments including to build the artificial terraces along the rivers.
It is no surprise then that the rivers running through Bangkok are tidily mantained and organized, although the poor live along the banks. Even you can find a river, along the banks of which are decorated with nice lamps and benches for passerbies. They do not treat only the physical aspects of the river but also its social aspects. The communities are facilitated that they may organize themselves in order to design and to plan the renovation of their dwelling places and of the surrounding physical environments.
How do they renovate the poor dwelling along the rivers? I would like to tell you here the experiences of the Samakkee community at Ramkhamhaeng Soi 39 district, one of nine poor people communities in Bangkok that I recently visited. They have completed the renovation process. This dwelling that was a slump has now changed into clean and organized area. There are 124 households occupying 0.8 hectar plot of land owned by the Crown Property Biro (CPB). The renovation started from the people’s struggle to be recognized as a legal, formal community. They needed such a recognition in order to prolong the rent of the land they dwelt on.
After being granted formal status of the community and reached an agreement on the land rent for 30 years with the CPB in May 2003, they designed a renovation plan for the community. Being helped by a young architect, they drew the building design of two-storey small housing. The plan was then proposed to the government that was tackled by the Community Organizations Development Institute (CODI), a government institution under the Ministry of Social Development and Human Security.
Caption: Ruam Samakkee in Bangkok, Thailand, before and after 2003 community renovation.
Based on the proposed plan, the government granted aids of, first, soft loan to repair or to build small houses to the community, second, offered financial grant to build infrastructural means like water and electricity facilities, sanitation means, streets and health center, etc. and third, another grant to help develop people organization including for developing a cooperative that they had earlier set up. From those experiences I can see how the renovation of poor people communities has become a real alternative instead of evicting them away. These experiences have also proved that development projects without evicting the poor are indeed possible to do.
Not all communities in Bangkok have similar experience. There is a community to which the government only helped building certain infrastructure like street and other parties participated in other projects in the communities. While the communities themselves did the rest on their own effort. Other communities are still struggling in obtaining other plot of land to replace their earlier dwelling place. Othera are currently under stress as they are about to be evicted while negotiating other solutions.
The interesting thing that I found from the poor community areas in Bangkok is that they have very different facilities as compared to Jakarta. I was strucked by the fact that even in a such dense population among the poor communities, they still have public spaces such as meeting halls, open spaces for common activities in which they put benches for public uses, playing ground for children and fire extinguisher tubes that are always kept in their homes. It is surprising for me that in a very poor life condition they still can think about public spaces and playing grounds for children. Such a situation is indeed difficult to imagine in Jakarta. You will hardly find public spaces or playing ground for children. You will not find fire extinguisher tubes in poor communities in Jakarta.
Even if you find the same poor condition in both cities, security and protection are stronger felft in Bangkok than in Jakarta. In Jakarta, the poor are almost always charged as scapegoat of the city problems such for the flood or traffic jam. Yearly flood that hit Jakarta is said to be caused by poor people who live along river banks. Traffic jams are said to be created by street hawkers or street vendors. It is not surprising that the Jakarta administration tends to be arbitrary against the poor. Instead of protecting people from fire, the government even uses arson as an effective mean to evict the poor, as it was admitted by Security and Order division head of the North Jakarta administration. (continued)*
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (5)
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (3)
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (2)
Millions of miles away between Jakarta and Bangkok (1)
See Indonesian version.
External Comments:
* Harry Adinegara
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:46 PM 0 komentar
Label: English-version, Indonesia, Kemiskinan, Kota, Liberalisasi, pemerintah, Thailand
Kali dan Kaum Miskin
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (4)
SIKAP dan cara pandang pemerintah Bangkok terhadap persoalan kemiskinan dan kekumuhan itu setidaknya bisa saya lihat dari cara mereka menangani masalah pemukiman miskin yang ada di bantaran kali. Terhadap pemukiman seperti ini bukan penggusuran yang mereka kedepankan – seperti yang selama ini dilakukan pemerintah Jakarta, melainkan peremajaan. Komunitas miskin penghuni bantaran kali itu difasilitasi dengan bantuan untuk memperbaiki rumah dan lingkungan fisik mereka, termasuk untuk terasering kali.
Tidak mengherankan kalau kali di Bangkok tertata rapi, meski di kanan kirinya dihuni komunitas miskin. Bahkan ada kali yang tepiannya dihias dengan lampu dan bangku-bangku tempat istirahat bagi para pejalan kaki. Bukan hanya fisik kalinya yang menjadi perhatian mereka, tetapi juga kehidupan sosialnya. Komunitas miskin penghuni bantaran kali itu difasilitasi agar dapat mengorganisir diri, merancang dan menyusun rencana peremajaan pemukiman dan lingkungan fisiknya sendiri.
Bagaimana peremajaan pemukiman miskin pinggir kali itu mereka jalankan? Saya akan gambarkan dari apa yang dialami komunitas Ruam Samakkee di daerah Ramkhamhaeng Soi 39, satu dari sembilan komunitas miskin yang sempat saya kunjungi. Komunitas ini adalah komunitas pinggir kali yang sudah selesai menjalani proses peremajaan. Pemukiman yang semula kumuh itu kini telah berubah menjadi bersih dan tertata. Komunitas yang terdiri dari 124 KK ini menempati lahan seluas 0,8 hektar milik Crown Properti Biro (CPB). Proses peremajaan ini berawal dari perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan sebagai komunitas legal/formal. Pengakuan ini mereka butuhkan untuk dapat memperpanjang masa sewa lahan yang mereka tempati.
Setelah perubahan status dari komunitas informal menjadi komunitas formal mereka dapatkan dan perjanjian sewa lahan dalam jangka waktu 30 tahun pun telah disetujui pihak CPB sebagai pemilik lahan, pada Mei 2003, mereka merancang sebuah rencana peremajaan komunitas. Dengan dibantu seorang arsitek muda, mereka merancang desain pembangunan rumah berlantai dua. Rencana ini kemudian diajukan ke pihak pemerintah, yang dalam hal ini ditangani oleh Community Organizations Development Institute (CODI) – lembaga pemerintah di bawah kementrian pembangunan sosial dan keamanan manusia (Ministry of Social Development and Human Security).
Atas dasar rencana yang diajukan komunitas Ruam Samakkee itu, pemerintah memberi bantuan dalam bentuk: 1) bantuan pinjaman lunak untuk perbaikan atau pembangunan rumah; 2) bantuan dalam bentuk hibah dana untuk pembangunan infrastruktur, seperti air, listrik, sanitasi, jalan, sarana kesehatan, dll; 3) dana hibah bagi pengembangan organisasi, termasuk untuk pengembangan koperasi (simpan pinjam) yang sudah mereka miliki. Dari pengalaman komunitas-komunitas miskin yang saya kunjungi, saya bisa melihat bagaimana proses peremajaan komunitas miskin benar-benar menjadi alternatif bagi penggusuran. Pengalaman itu sekaligus membuktikan bahwa pembangunan tanpa menggusur itu sangat mungkin diwujudkan.
Tidak semua komunitas di Bangkok punya pengalaman yang sama. Ada komunitas-komunitas yang pemerintahnya hanya memfasilitasi pembangunan infrastruktur tertentu, seperti jalan dan selebihnya disediakan oleh pihak lain atau diadakan sendiri secara swadaya. Ada juga komunitas yang masih memperjuangkan untuk mendapatkan lahan pengganti atau yang sedang terancam digusur dan kini sedang bernegosiasi untuk mencari solusi.
Yang menarik dari pemukiman-pemukiman miskin di Bangkok adalah, adanya fasilitas yang jauh berbeda dari yang saya temukan di Jakarta. Yang menarik perhatian saya adalah di tengah padatnya pemukiman miskin itu masih terdapat ruang publik (dalam bentuk balai pertemuan, lahan kosong untuk acara bersama atau lahan kosong yang diisi dengan bangku-bangku untuk bersantai), tempat bermain anak dan alat pemadam kebakaran (yang ada hampir di setiap rumah). Mengherankan bahwa di tengah kemiskinan warga masih bisa berpikir tentang ruang publik dan tempat bermain anak. Hal seperti ini sulit dibayangkan bisa terjadi di Jakarta. Jangankan ruang publik atau tempat bermain anak, alat pemadam kebakaran saja tak bakal bisa ditemukan di tengah komunitas miskin di Jakarta.
Betapapun sama miskinnya, rasa aman dan terlindungi ternyata lebih banyak dirasakan oleh kaum miskin di Bangkok ketimbang di Jakarta. Di Jakarta, yang namanya kaum miskin tak pernah lepas dari posisi sebagai kambing hitam dari segala persoalan kota. Mulai dari banjir sampai kemacetan. Banjir tahunan disebut sebagai ulah kaum miskin pinggir kali, kemacetan dilihat sebagai yang terlahir dari tingkah para PKL dan asongan. Tidak mengherankan kalau pemerintah kota Jakarta cenderung sewenang-wenang terhadap kelompok miskin. Alih-alih menjamin rasa aman dari kebakaran, pemerintah Jakarta justru menggunakan pembakaran sebagai cara paling efektif untuk mengusir orang miskin, seperti diakui oleh Kasudin Trantib Jakarta Utara Toni Budiono.**
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (7) — Kekuatan Civil Society
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (6) — Penggusuran Jadi Masa Lalu
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (5) — Program Baan Mankong
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (4) — Kali dan Kaum Miskin
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (3) — Kaum Miskin sebagai Aktor
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (2) — City of Everything
Berjuta Jarak Jakarta-Bangkok (1)
Lihat versi Inggris.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:00 AM 0 komentar
Label: Indonesia, Kemiskinan, Kota, Liberalisasi, pemerintah, Penggusuran, Thailand
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA